Oleh: Diday Tea
Menyesuaikan diri dengan makanan setempat adalah salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh para perantau di negeri orang seperti saya.
Secara umum ada empat kuliner utama di Qatar:
Arab, Turki, India dan Filipina.
Masakan Arab dan Turki kurang lebih sama.
Kebanyakan adalah daging-daging yang dipanggang, ditemani dengan semacam roti hangat yang baru dipanggang.
Masakan Arab favorit kami namanya Lamb Mandi Rice. Nasinya mirip dengan nasi kuning di Indonesia.
Sama-sama berwarna kuning. Hehehe.
Disajikan dengan daging kambing muda yang sama sekali tidak ada bau prengus kambingnya. Anak-anak malah sering menganggap daging itu adalah daging ayam.
Kalau masakan Turki, favorit kami adalah Lamb Chop.
Lamb chop adalah potongan daging kambing yang dibuat dengan memotong pada sudut tegak lurus dengan tulang belakang, menjadi hidangan tunggal daging yang secara tradisi dimasak dan dihidangkan dengan tulang. (Dikutip dari http://www.stikdagingkambing.wordpress.com).
Dimasak dengan cara dipanggang seperti sate, dan ditemani dengan roti tebal yang juga masih hangat dikeluarkan dari panggangan, dan semacam salad sayuran.
Kalau masakan India, kebanyakan berupa kari yang sangat kental dan berbagai macam menu karbohidrat yang berbentuk lembaran. Dosa, Porota, Roti (ya, roti seperti roti dalam bahasa Indonesia), Nan, dan ada beberapa lagi yang saya tidak tahu namanya.
Masakan India sangat cocok dengan lidah penggemar masakan pedas.
Menu standar yang kami suka sih Porota dan Chicken Kari.
Nah, yang bisa dibilang 90% mirip dengan masakan Indonesia adalah masakan Filipina.
Ada beberapa masakan yang mirip dengan masakan Indonesia seperti Sayur Asem, Rendang, Pecel Ayam dan beberapa menu lainnya. Bedanya hanya di rasa yang kurang nendang, dan masakan Filipina cenderung manis dan kurang terasa bumbunya.
Banyak kuliner yang belum saya sebutkan, seperti waralaba-waralaba dari Portugal, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat atau Amerika Selatan, karena kami juga jarang berkunjung ke tempat-tempat itu.
Lidah dan citarasa kami sekeluarga sudah terlatih untuk menyesuaikan dengan menu-menu dari berbagai macam negara.
Tapi apa sih menu favorit saya di Qatar?
Tentunya adalah Semur Jengkol.
Loh, kok bisa?
Tentu saja bisa!
Karena ternyata di Doha ada beberapa restoran yang menyajikan masakan Indonesia.
Tahu dan Tempe juga dijual di salah satu restoran Indonesia.
Pete yang masih berada di dalam sangkar saja dijual di Supermarket umum.
Jengkol juga sudah bisa dibilang bukan barang langka dan barang idaman lagi buat kami orang Indonesia yang merantau di Qatar.
Belum lagi Nasi Timbel, Batagor, Kupat Tahu, Pecel Lele, Masakan Padang, Mie Aceh, Tumis Cumi, Asin Cabe Hijau, dan nama-nama masakan yang pastinya segera memicu produksi air liur mendadak di dalam mulut anda, semuanya ada.
Eh, ada satu yang belum bisa saya temukan di sini.
Nasi Tutug Oncom.
Tapi tidak apa-apa, pertemuan dengannya selalu istimewa karena hanya setahun sekali.
Sejauh apapun kita merantau dari tanah kelahiran kita, jangan pernah merasa tidak betah atau bosan.
Karena pasti selalu ada cara untuk beradaptasi, selalu ada mitigasi, agar diri tidak menangisi rasa rindu kepada tanah Ibu Pertiwi.
Di mana langit dijunjung, di situlah Jengkol berada.
Hidup Jengkol!
Doha, 12 November 2018