“Seringkali orang yang kita remehkan pada kesan pertama, adalah orang yang sesungguhnya luar biasa, dan berprestasi jauh melebihi orang yang meremehkan”
Ruangan kelas berisi 40 orang murid berseragam Putih- Merah yang riuh rendah oleh teriakan, tawa, cekikikan, canda dan obrolan itu tiba- tiba sunyi senyap, ketika pintu kelas itu terbuka perlahan- lahan, dan memperlihatkan bayangan seorang perempuan dewasa dan bayangan seorang anak kecil.
Tak lama kemudian, Ibu Wali Kelas yang kami takuti karena beliau galak luar biasa, melangkah masuk perlahan sambil menuntun murid yang mukanya tidak pernah kami lihat sebelumnya di sekolah ini. Pagi ini ada yang berbeda. Beliau memasuki kelas tidak sendirian. Ada seorang anak kecil, dan dia benar- benar kecil. Maksudku, dia memang lebih pendek dan kecil disbanding teman- temanku di kelas.
Dia diperkenalkan sebagai seorang murid baru, pindahan dari sebuah Sekolah Dasar yang tidak terlalu terkenal di Bandung. Kata temanku yang lain sih, Sekolah Dasar tempat dia berasal adalah “SD Kampung”. Iya lah, dibandingkan dengan sekolah kami yang berada tepat di tengah kota Bandung, Sekolah dasar mana pun pasti akan terlihat seperti berada di kampung.
Tidak ada yang istimewa dari si anak baru ini. Hanya saja dia terlihat agak lusuh dan kurang terurus, walau pun seragam Putih- Merahnya terlihat masih baru. Dan juga, wajahnya juga tidak terlihat terlalu pintar, setidaknya menurut kami. Malahan, dia terkesan culun dan tidak mau bergaul. Mungkin dia malu dan gugup, sehingga mulutnya terlihat bergetar dan suaranya pun sedikit tergagap- gagap ketika berusaha memperkenalkan dirinya kepada kami.
“Assalaamu’alaikum teman- teman, nama saya Deni, sss, saya, pi, ppi, pin, pindahan dari Sekolah Dasar Leuwigoong!” Katanya dengan sedikit tergagap dan menundukkan wajahnya.
Seisi kelas langsung tertawa lepas, karena mendengar nama sekolahnya yang terdengar sangat lucu, Leuwigoong.
Dia pindah ke sekolah kami di tengah- tengah ujian Catur Wulan. Ternyata materi- materi pelajaran yang sedang kami pelajari waktu itu belum diajarkan di sekolahnya. Kami lihat dia harus bekerja keras untuk mengejar ketertinggalan pelajaran.
Ada yang aneh di dalam diri si Deni ini, dia tidak pernah mau diajak bergabung di acara belajar bersama yang diadakan setiap minggu di rumah ibu Walik Kelas. Ketika orang lain sibuk mendaftar ke tempat bimbingan belajar di luar sekolah, atau mengikuti les khusus dengan guru di sekolah.
Ada yang unik dari si Deni ini, entah kenapa, ketika orang lain berebut ingin duduk di belakang, dia malah aneh sendirian dengan selalu memilih tempat duduk di barisan paling depan, tepat di depan meja guru yang mengajar.
Setiap kali ada ulangan pun, kami tidak pernah tahu berapa nilai yang dia dapat. Entah jelek atau bagus, karena air mukanya selalu terlihat biasa.
Suatu hari kami melihatnya baru turun dengan susah payah dari sebuah Bis Damri yang penuh sesak oleh penumpang. Sekolah kami memang berdekatan dengan terminal terbesar di Bandung. Sehingga semua jurusan angkutan kota dan bis dalam kota dan bis luar kota pasti akan melewati jalan raya di depan sekolah kami.
Ternyata itu penyebabnya dia selalu terlihat kelelahan dan lusuh, walau pun dia baru datang di pagi hari. Bagaimana tidak, dia bilang, dia harus berangkat dari rumahnya paling lambat jam 05:40, kalau tidak dia akan ketinggalan bis.
Walau pun setelah beberapa minggu ini dia mulai bisa berbaur dengan kami, tapi kami masih belum bisa menerka- nerka bagaimana kemampuan belajar dia yang sebenarnya. Kami tak pernah tahu nilai- nilai ulangannya. Dia tidak pernah mau berbagi jawaban dengan orang lain, apalagi mencontek. Padahal seringkali kesempatan itu datang ketika guru meninggalkan ruangan. Dan dia pun tidak pernah bertanya kepada orang lain. Selain para guru membagikan hasil ulangan tersebut secara individu, dia juga tidak pernah mau dan berminat untuk membahasnya.
Dia lumayan aktif di kelas, mau bertanya dan tidak malu untuk menjawab pertanyaan dari guru yang sedang mengajar, walau pun tentunya tidak selalu benar. Tidak jauh berbeda lah dengan murid- murid lain di kelas kami.
Bahkan ketika ulangan umum.
Seminggu menjelang ulangan umum, kami sih biasanya berebut dan saling “membooking” teman sekelas yang kami anggap pintar, terutama dua murid perempuan yang menjadi langganan juara di kelas kami, Intan dan Mirza.
Mereka berdua, sejak kelas satu dan kelas empat, selalu menguasai ranking satu dan dua . Sisa murid yang lain hanya memperebutkan posisi tiga dan seterusnya saja.
Mereka memang cerdas. Apalagi Intan, tiga saudaranya juga “bertabiat” sama. Kakaknya yang sudah kelas enam, dan adiknya yang sekarang masih kelas dua pun seperti itu. Sama- sama selalu menjadi juara kelas.
Si Deni ini, aneh sendirian, dia tidak ikut “berebut” duduk bersama dengan para juara kelas. Di hari pertama ujian, dia memilih untuk duduk di posisi favoritnya, tepat di depan meja guru.
Tidak ada seorang pun yang mau duduk bersamanya. Iya lah, siapa yang tidak segan duduk di depan meja guru pengawas di saat Ulangan Umum? Apalagi yang sudah berniat jahat untuk mencontek atau berusaha mencuri kesempatan untuk bekerja sama dengan murid yang lain.
Selama satu minggu Ulangan Umum berlangsung, si Deni ini tetap duduk di posisi yang sama.
Anehnya, dia tidak pernah berusaha untuk mencontek atau bekerja sama dengan murid yang lainnya. Dia selalu bersikap tenang dan cuek, bahkan ketika mata pelajaran Matematika dan IPA yang susahnya luar biasa. Sangat susah, sampai- sampai Intan dan Mirza, duet penguasa ranking satu dan dua pun harus mencuri- curi kesempatan untuk bisa bekerja sama mengerjakan soal- soal tersebut.
Seminggu setelah Ulangan Umum berlalu, seperti biasa adalah pembagian raport di kelas kami. Ibu Wali Kelas seperti biasa juga akan memberikan wejangan dan petuahnya sebelum raport dibagikan.
Seperti biasa , nasehat agar belajar lebih baik. Beliau juga menyebutkan data- data nilai siswa di kelas kami. Nilai rata- rata, nilai paling tinggi, dan nilai paling rendah untuk setiap pelajaran dengan lengkap beliau sebutkan.
Acara intinya sih adalah penyebutan ranking di kelas kami. Biasanya beliau menyebutkan nama murid- murid dari ranking ke- satu sampai ke- sepuluh.
Kami pada awalnya sih tidak terlalu antusias, karena kami menduga pasti hasilnya akan seperti biasa, Intan dan Mirza pasti akan menguasai posisi satu dan dua di kelas kami.
Tapi alangkah terkejutnya kami ketika ibu Wali Kelas mengumumkan bahwa Catur Wulan ini ada kejutan. Ada tiga orang siswa yang memiliki nilai rata- rata tertinggi sama perssis.
Sehingga untuk pertama kalinya dalam sejarah, di kelas kami akan ada tiga orang yang menduduki ranking satu!
Suasana kelas yang tadinya sunyi dan membosankan pun tiba- tiba menjadi gaduh dan ribut. Semua orang bertanya- tanya siapakah orang ke- tiga yang bisa menyamai nilai Intan dan Mirza, yang notabene sudah menguasai posisi tertinggi di kelas kami sejak kelas satu.
Alangkah terkejutnya kami ketika Ibu Wali Kelas mengumumkan nama ke- tiga murid tersebut:
“Catur Wulan ini, ada tiga orang yang menduduki ranking satu, karena mereka memiliki nilai rata- rata yang sama. Siapakah mereka?” Tanya beliau, seakan sengaja mengulur waktu untuk membuat kami penasaran.
“Ibu sangat bangga dengan prestasi ketiga anak ini, karena kejadian ini adalah baru pertama kalinya dalam sejarah sekolah kita, ada tiga orang yang menduduki ranking satu!” Si Ibu menambahkan dengan penuh semangat.
“Mari kita ucapkan selamat dan beri tepuk tangan kepada Intan Nurita!” Tepuk tangan yang sangat meriah pun membahana menyambut nama yang sudah tidak asing lagi.
“Mirza Mahardia..!” Sebut si Ibu lagi.
Kali ini tepuk tangannya tidak semeriah tadi, karena kami semua sudah menduga nama yang akan disebut pasti si Mirza.
“Dan, Ibu sangat bangga, luar biasa bangga dengan murid ranking satu yang ketiga ini, karena Ibu tidak pernah menduga bahwa dia akan berprestasi setinggi ini. Di kelas ini, kelas favorit di sekolah kita. Kelas yang selalu meraih nilai rata- rata tertinggi di sekolah kita!” Si Ibu terus berbicara, seakan sengaja akan membuat kami semua penasaran.
“Mari kita ucapkan selamat dan beri tepuk tangan yang sangat meriah kepada Deni Sucipta…!” Nama yang keluar dari mulut ibu Wali Kelas kami itu bagaikan geledek yang menyambar di siang bolong.
Seisi kelas bukannya menyambut ajakan untuk bertepuk tangan, tapi malah terdiam sunyi beberapa saat.
Tidak ada yang mempercayai, bahwa murid culun pindahan dari SD kampung itu, yang bahkan baru masuk di tengah- tengah Catur Wulan bisa menyamai Intan dan bahkan melewati Mirza, yang sudah sejak kelas satu selalu menduduki peringkat tertinggi di kelas kami. Luar biasa!
Tapi keheningan itu tidak bertahan lama, tak lama kemudian teriakan, siulan, dan tepuk tangan langsung membahana menggetarkan ruangan kelas kami.
Semua memberi selamat kepada sang Underdog yang sejak awal kami tidak perhitungkan akan ikut dalam persaingan yang sangat ketat di kelas kami ini.