Oleh: Diday Tea
Walaupun saya sudah menerbitkan dua buku solo dari penerbit mayor, tapi empat tahun berlalu begitu saja tanpa ada satu karyapun yang diterbitkan, sudah terlalu lama.
Selama itu pula saya bersembunyi di balik alasan yang paling keren sebagai alibi, untuk berhentinya produksi tulisan yang lahir dari tarian jari jemari saya di atas keyboard: “Writer’s Block”.
Padahal sih, alasan aslinya memang sayanya yang belum bisa mengatur waktu, meluangkan waktu khusus untuk rutin menulis.
Sehingga, puluhan draft novel, dan draft buku non fiksi di dalam folder “Proyek Buku Diday Tea” statusnya begitu-begitu saja.
Masih saja sebagai draft.
Tentunya saya tidak akan menyebutkan kalau game FIFA 15, FIFA 16, dan FIFA 17, serta FIFA 18 di Playstation 4 adalah salah satu penyita terbesar jatah waktu menulis saya. Karena sejujurnya itu memalukan dan memilukan.
Sudah beranak tiga kok masih main FIFA, apa kata dunia? Hehehe.
Ketika keasyikan menerima tantangan bermain online dari teman-teman selama berjam-jam, hilang lenyap sudah kekhawatiran saya yang masih belum menghasilkan tulisan “serius” untuk buku saya yang ketiga.
Saya bisa betah memegang Dual Shock Controller tanpa jeda selama hampir semalaman tanpa pegal ataupun diserang rasa ngantuk.
Lelahpun tak saya hiraukan demi meraih kemenangan demi kemenangan.
Itupun, kemenangan yang sebenarnya jarang terjadi, karena level permainan saya masih belum bisa mengejar teman-teman saya yang sudah lebih jago.
Hadeuh. Parah ya?
Tapi, ketika akan menulis, sepuluh menit pun mata sudah terasa berat, pinggang sudah pegal, kepala langsung terasa berat, jari jemari pun serasa mau lepas dari sendinya.
Tulisan yang lahir dari tarian jari jemari saya dengan penuh perjuangan, masih sekedar status-status singkat di Facebook, atau caption-caption pendek di desain poster dakwah saya di Instagram @didaytea.
Nah, pada akhirnya pucuk dicinta ulam tiba, yang dinanti telah tiba, yang ditunggu akhirnya malah dilamar orang, eh, maaf. Tetiba saya teringat video klip kepedihan seorang tamu undangan yang menyanyi lagu “Menjaga Jodoh Orang” di pernikahan kekasihnya.
Kasihan ya?
Maksud saya tadi, titik balik yang ditunggu selama bertahun-tahun itu akhirnya tiba ketika saya dengan sengaja “mencemplungkan” diri saya ke dalam sebuah tantangan bernama 30 Days Writing Challenge.
Saya tadinya Nothing to Lose, alias tanpa beban.
Karena kalaupun saya pada akhirnya tidak bisa menyelesaikan tantangan itu, toh biayanya juga tidak terlalu mahal.
Dan hari ini saya berhasil membuktikan bahwa saya bisa mendobrak kemalasan di dalam diri saya.
Saya bisa memaksa diri untuk menulis selama tiga puluh hari tanpa berhenti!
Tidak ada lagi dinding belenggu lelah, malas, pusing, ide mentok, atau tidak ada waktu.
Saya dobrak itu semua dengan menulis kapan saja, di mana saja dengan media apa saja.
Di dalam perjalanan menuju tempat bekerja, di mall ketika sedang menemani anak-anak bermain.
Menulis hanya dengan dua jari, jempol kiri dan telunjuk kanan, di atas handphone android jadul saya ketika bersantai di taman-taman yang indah di Qatar, sambil melihat anak-anak gembira memacu sepeda baru mereka di seantero area taman yang luasnya seperti hutan dan bukit di serial televisi Telle Tubbies itu, kini terasa jauh lebih mudah.
Saya bisa menulis ketika saya ingin menulis dan ketika saya harus menulis.
Tulisan ini pun hanya saya tulis dalam waktu tidak lebih sambil mengawasi pemasangan pengantar rak buku dan rak sepatu yang saya pesan kemarin.
Dan yang lebih ajaib lagi, naskah buku non fiksi ketiga saya yang sudah mangkrak dan teronggok pasrah tak terjamah di dalam folder-folder yang tidak kalah terbengkalai juga, akhirnya bisa saya selesaikan.
Draft itu kini sudah menjadi naskah mentah yang tinggal dipoles, dijahit, digosok, dan dipermak agar segera memendarkan pesonanya untuk segera dikirim ke penerbit terbesar di Indonesia.
Insyaallah Best Seller tahun depan!
Terimakasih 30 Days Writing Challenge!
Doha, 19 November 2018