Keindahan Cinta Helen dan Ukan


Sebuah resensi untuk Novel Helen dan Sukanta
 
Oleh: Diday Tea
 
Saya melihat sampul yang sangat indah dari buku Helen dan Sukanta ini di channel Youtube GolagongTV.
 
Sampul yang benar-benar menarik perhatian dengan keindahan dan kesederhanaanya. Hanya ilustrasi seorang wanita yang berdiri membelakangi sedang memandangi jalan yang di atasnya dilewati oleh pesawat-pesawat tempur.
 
Dengan judul yang tertulis dengan font klasik, sampulnya menjadi semakin indah dengan kutipan: “Dia yang ada di dalam hatiku maka itu adalah keabadian. Meskipun dia pergi, kenangan tidak akan pernah benar-benar meninggalkan.”
Bagi saya sungguh sulit dipercaya kalau yang menulis kisah cinta seindah ini adalah orang yang sama dengan yang menulis Dilan Series.
 
Karena gaya bahasanya sangat berbeda.
 
Kisah cinta yang indah ini mengambil seting waktu masa penjajahan Belanda, dan setting lokasi kebanyakan di Ciwidey, Lembang, dan Bandung.
 
Seperti biasa tema cinta akan selalu abadi, dan cinta terlarang selalu menjadi magnet kuat untuk diramu menjadi suatu kisah cinta.
 
Secara garis besar, kisah ini sangat mirip dengan film Titanic. Kisah cinta antara dua insan yang berbeda yang diramu dengan bentuk flashback cerita dari penutur aslinya.
 
Ya, kisah ini diadaptasi dari kisah nyata yang penulis dapatkan ketika berbincang dengan nyonya Helen Maria Elnora di Amsterdam.
 
Perbedaan Helen dan Sukanta di novel ini sangatlah kompleks. Perbedaan ras, perbedaan status sosial, perbedaan agama. Perbedaan kelas pada zaman itu yang sangat kentara.
 
Penjajah Belanda menganggap orang pribumi hampir seperti binatang.
 
Ada juga beberapa dari mereka yang bisa lebih menghargai, dan bahkan bisa berbaur dan menikahi pribumi pada zaman itu.
 
Pidi Baiq sangat pintar meramu kisah yang dia dengar menjadi sebuah kisah yang membuat saya, yang sebenarnya kurang suka membaca kisah cinta, dan novel-novel sejenisnya terpana.
 
Kisah ini dibangun dengan sangat rapi dan runtut, tapi tidak tergesa-gesa. Saya rasa semua tokoh utama mendapatkan porsi yang pas. Tapi di novel ini yang menjadi cream on the topnya tentunya adalah Helen. Sedangkan tokoh Ukan, menurut saya malah tidak terlalu banyak muncul.
 
Sebetulnya kisah yang sangat text book. Pola pertemuan Helen dengan Sukanta, perjuangan mereka memperjuangkan cintanya, sampai beberapa turning point yang sesungguhnya bisa pembaca tebak dengan mudah.
 
Saya beli bukunya secara digital di Google Play Books.
 
Tadinya hanya sekedar membaca 74 halaman trialnya yang gratis.
 
Saya lalap habis novel ini hanya dalam waktu kurang lebih 5 jam saja, karena benar-benar tidak bisa berhenti.
 
Sensasi romantisme yang dulu mungkin saya bisa rasakan seperti kisah Fahri dan Aisha di novel Ayat-Ayat Cinta.
 
Ada beberapa adegan dewasa yang terjadi di dalam novel ini, walaupun tidak seindah frase “tasbih mengiring desah”nya Ayat-Ayat Cinta, tapi tidak juga sevulgar adegan dewasa yang menjurus cabul.
 
Banyak hal yang sangat informatif, terutama beberapa ungkapan dalam bahasa Belanda, dan informasi seputar sejarah datangnya Jepang ke Indonesia pada tahun 1942.
Dengan kisah cinta yang sangat indah ini, entah berapa kali saya sudah menuliskannya, saya dengar novel ini akan dibuat filmnya, tapi karena terkena dampak Covid-19 akhirnya tertunda.
 
Tapi, saya sudah berniat tidak akan menonton filmnya.
Biarlah gambaran keindahan kisah cinta Helen dan Sukanta selalu terlukis hanya di dalam pikiran saya.
 
Doha, Qatar
Menjelang sahur 19 Mei 2020 01:20
 
cc Golagong Penulis PIDI BAIQ
sampulhelen

Tinggalkan komentar