Anugerah Terindah

Aku minta istri yang cantik

Aku diberi wanita yang membuatku selalu jatuh cinta ketika melihat wajahnya di awal hari

Aku minta istri yang tidak matre

Aku diberi wanita yang merasa mahar yang kuberikan sudah terlalu banyak untuknya

Aku minta istri yang pandai memasak

Aku diberi wanita yang memasak tongseng paling enak sedunia hanya dengan berbekal resep dari mang Google

Aku minta istri yang cerdas

Aku diberi wanita yang tidak pernah mengeluh bagaimana ruwetnya mengurus rumah, suami dan anak-anaknya

Aku minta istri yang menurut kepada suami

Aku diberi wanita yang bisa melupakan betapa sakitnya luka operasi demi menyiapkan sarapan untuk suaminya

Aku minta istri yang sholehah

Aku diberi wanita yang tidak pernah membangunkan aku, walaupun dia harus menahan kantuk yang luar biasa untuk memberi ASI, menyiapkan susu, dan mengganti popok anak-anakku.

Istriku sayang,

maafkan aku jika aku belum menjadi suami yang kau harapkan pada saat kamu adalah istri yang jauh lebih baik dari harapan tertinggiku dari seorang wanita

I Will Be The Last For You!

Iklan

The Fabulous Asem Pedes of Korean Garden


Sebelum pindah ke Qatar, paling banter saya makan masakan Jepang di Bandung atau Cilegon, seringnya sih Hok-Ben(Hoka- hoka Bento), walaupun ternyata Hok-Ben ternyata sama sekali tidak berasal dari Jepang.

Lalu ada juga Midori, di daerah Bojong, Anyer, Banten. Kalau ini sih agak sedikit elit, karena menjadi langganan para Manajer expat Jepang di tempat saya bekerja. Beberapa dari mereka hanya mau makan makanan Jepang. 

Di Qatar juga sempat saya kunjungi beberapa restoran yang menyajikan masakan Jepang. Tapi ya begitu- begitu saja, masakan Jepang tidak akan jauh dari Sushi, Tempura, Wasabi, Miso Sup, dan teman- temannya.

Karena alasan itu pula saya pikir nih…masakan Korea tidak akan jauh berbeda dengan masakan Jepang, secara, mereka kan tetanggaan dan kualitas LG, Samsung pun tidak begitu berbeda dengan Sony dan Toshiba. Bahkan harga Kia Cadenza pun sekarang sudah lebih mahal dari Toyota Camry 😀

Saya pun akhirnya tidak begitu tertarik ketika dua tahun lalu, di daerah Ramada signal ada restoran baru bernama Korean Garden. Dan lagi pula restoran ini terletak di jalan utama, hampir mustahil kita bisa mendapatkan parkir tepat di depannya.

Walau pun dalam sehari minimal saya melewati jalan di depan restoran ini dua kali, tapi tidak pernah terbersit sedikit pun keinginan untuk barang sekali saja berkunjung, untuk sekedar mencicipi bagaimana sih rasanya masakan Korea itu.

Sampai pada suatu siang satu minggu sebelum Ramadhan, saya dan istri entah kenapa tiba- tiba terkena sindrom “Bosen Masakan Indonesia”, dan semakin meluas ke area yang lebih luas. Tidak ada maskan apa pun yang bisa menerbitkan selera makan kami di siang itu. Walau pun sudah kami bayangkan Sukiyaki, Tom Yam, Lamb Chop dan Chicken Barbequenya Antakiya, Ayam Panggang Rotana, Chicken Biryaninya Tandoor, dan bahkan rendang jengkol yang masih tersisa pun harus menerima nasibnya yang sangat tragis; tidak kami tengok sama sekali.

Ah, akhirnya kami putuskan untuk keluar rumah saja mencari makanan yang enak. 

Eh, selepas melewati perempatan Ramada, tak sengaja kami lihat ada satu slot parkir kosong di sebelah kanan. Ya! Parkiran yang kosong itu tepat berada di depan Korean Garden. 

Tanpa ragu lagi, langsung saja kuparkir mobilku di sana. Dan dengan agak setengah hati kami langkahkan kaki ke dalam restoran itu. 

” Yaa setidaknya kali ini kami makan makanan yang berbeda lah dari biasanya.” Dalam pikiran kami.


Begitu memasuki pintu gerbang, hati kami yang sudah tinggal setengah itu malah berkurang jadi seperempat. Iya lah, alangkah kagetnya kami, karena yang  membuka pintu ternyata bewokan (tipis sih) dan berkulit coklat. Katanya restoran Korea, kenapa yang nunggu orang India…??? Hehehe..

Ternyata kekagetan kami tidak bertahan terlalu lama karena ternyata di dalam akhirnya kami lihat ada chef aslinya, kali ini asli bertampang Korea, walau pun tidak mirip Rain atau pun Won Bin, apalagi Wonder Girls (mereka cowo semua..hehehe..).

Enough with the Talking, langsung saja kita tayangkan menu pembuka:
 

Kesan pertama: luar biasa. Yang berwarna oranye di kolom kiri, seperti mie goreng, tapi rasanya asem pedes. Kalau yang di atasnya juga sih sepertinya sawi putih yang walaupun tampilan dan warnanya hampir sama, ternyata rasanya juga tidak jauh beda, asem pedes. Ternyata ini namanya Kimchi.

Yang di tengah bawah, ini  apetizer yang paling berkesan menurut saya, tampak seperti bala-bala (bakwan in Sundanese Language). Tapi memiliki rasa layaknya perkedel jagung. Saya tahu namanya sih karena tidak ada di dalam menu. Tapi yang jelas namanya tidak mungkin Bagong (Bala- bala Jagong) kan… hehehe..

Asem dan pedesnya Kimchi memang membangkitkan selera makan dan menyebabkan air liur pun mengalir deras.. Persis seperti kalau kita mengambil sebuah jeruk nipis yang kecil, lalu kita belah dua dan kita peras perlahan si jeruk nipis yang tinggal setengah itu sampai keluar satu tetes air jeruk nipisnya. Lalu kita jatuhkan tetesan air jeruk nipis yang super asem itu tepat di ujung lidah kita..Dan sreettt dah…air liur pun pasti terbit dari mulut kita..hehehe..

Silahkan telan dulu air liurnya sebelum saya menayangkan gambar dari menu utama…:D
 
 
 
 
 

Ada sedikit kecelakaan nih. Kami berdua tidak pernah menyangka bahwa menu utama di atas, Mie Seafood akan datang dengan ukuran dengan mangkok hampir sebesar baskom. Jadi kami memesan juga Ikan asam manis (posisi arah jam 1). Itu ternyata menu yang cukup untuk empat orang. Tapi kami yakin, pasti si penjaga restoran sudah menduga bahwa kami adalah penduduk RW06 (rewog= rakus, Sundanese), karena cuma berdua+ bayi tapi mesen 3 main course sekaligus.

Yang di bawah dengan nasi, itu adalah Nasi Goreng Kimchi. Rasanya sangat-sangat lezat, dan coba tebak rasanya seperti apa? 

Betul sekali! Rasanya asem pedes..hehehe…Ini display setelah dibuka.Display sebelumnyasi telor dadar tipis digunakan sebagai kuli pembungkus nasi goreng.

Di sebelah nasi goreng, itu adalah Kimchi, ya rasanya juga asem pedes. Yang di kanan atas, ini agak berbeda dari yang lainnya, kalau ini bercita rasa asam manis, tapi tentu saja, ternyata ada sedikit bersembunyi rasa asem pedes khas Korea.

Di arah jam sebelas, ada masakan Jepang yang nyempil. Rasanya sih ya standar saja, sama seperti Tempura pada umumnya.


Karena kekenyangan-iya lah menu buat empat orang diembat berdua, :D-kami pun tidak memesan makanan penutup.

Kami hanya memesan Teh Ginseng yang rasanya sangat luar biasa, persis seperti teh Ginseng pada umumnya. Hehehe

Panasnya lidah dan kerongkongan yang beberapa kali dilewati oleh asem dan pedasnya Kimchi dari menu- menu yang kami santap, seketika hilang oleh sepet, pahit manisnya aliran Teh Ginseng yang kami teguk perlahan dari cangkir (yang terlihat seperti) keramik.


Jika suatu saat anda dan keluarga terkena sindrom “Bosen Masakan Indonesia dan India”, boleh lah restoran ini menjadi alternatip.


O iya, total damage di dompet 270 QAR= IDR640000.




16102011

Bekerja di Luar Negeri: Pecundang atau Pemenang?

 “Do What You Love, and Love What You Do!”

 (Penyiar Sebuah Stasiun Radio di Bandung)

 

Pernahkan anda menyesal telah memilih sesuatu?

Saya rasa kita semua pernah mengalami penyesalan dan menyesali sesuatu. Atau menyesali pilihan yang sudah kita ambil.

Menyesal karena salah memilih pekerjaan.

Menyesal karena salah memilih sekolahan.

 

Menyesal karena salah memilih kendaraan.

Menyesal karena salah memilih karyawan.

Menyesal karena telah salah memilih rumah, atau secara global, karena salah memilih langkah hidup.

Bahkan, mungkin ada yang sampai menyesal, karena telah salah memilih pasangan hidup.

 

Sama sekali tidak salah sih, karena itu wajar dan sangat manusiawi. Akan tetapi wajar hanya untuk kesan pertama saja, dan jika tidak sampai terlarut dengan penyesalan yang sangat dramatis sehingga mengganggu pikiran kita.

 

Jika sampai terlarut, biasanya sih akan membuat kinerja kita sebagai manusia yang berhubungan dengan hal yang kita sesali tersebut akan menjadi buruk.

 

Kinerja kita di tempat kerja, sekolah akan asal- asalan. Asal dapet gaji, asal lulus. Kita akan menjalani hidup yang membosankan dan tanpa tantangan. Karena kita menganggap sudah tidak ada nilai tambah lagi yang bisa kita dapatkan.

Kita akan memperlakukan pilihan yang kita sesali ini dengan sangat buruk.

 

Kalau kata orang Prancis bilang, eh, orang Sunda bilang, “Nya dipoyok,nya dilebok”, Artinya kurang lebih: “Ya diejek, tapi tetep dimakan juga”. Selalu mengeluhkan kondisi (yang dianggap) buruk yang dialami walau pun itu terjadi semata- mata karena pilihannya sendiri.

 

 

Ada yang merasa pindah ke luar negeri ini sebagai pecundang, orang buangan, orang yang gagal, orang yang kalah bersaing dengan tenaga kerja di dalam negeri, sehingga ada semacam “have-to” atau keterpaksaan selama bekerja di luar negeri. Tidak salah sih, karena memang banyak yang seperti itu. Akan menjadi salah jika keterpaksaan itu membuat kita tidak bekerja dengan baik, dan tidak membuat kita manusia yang lebih baik.

 

 

Tetapi, ada juga yang menjadikan kerja di luar negeri sebagai sebuah impian besar, dengan iming-iming gaji puluhan kali lipat dan puluhan kemudahan dan hal- hal yang belum tentu bisa didapat di tanah air. Rumah,mobil, modal usaha, hutang dengan bunga kecil, haji lebih mudah, umroh bisa dua kali setahun, bisa beramal lebih banyak, dll.

 

Adalah sebuah kebanggaan yang sangat luar biasa ketika berhasil mengeliminasi puluhan, ratusan, bahkan ribuan saingan dari seluruh Indonesia untuk mendapatkan sebuah status sosial baru: “Bekerja di Luar Negeri”.

 

 

Untuk kondisi pertama, tidak ada pilihan lain lagi untuk kita untuk menikmati saja apa- pun yang kita alami sekarang. Karena itu adalah pilihan kita, walaupun sekedar terpaksa. Setidaknya kita bisa menjalani dengan wajar, dan perlahan- lahan mulai menghilangkan penyesalan yang mungkin masih tersisa di dalam hati dan pikiran.

 

Untuk kondisi yang kedua, sih saya rasa tidak akan ada isu yang negatif dengan masalah, karena ya itu memang impian mereka. Mereka adalah juara dari kompetisi yang super ketat untuk bisa menyisihkan puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang yang melamar kerja ke luar negeri. Mereka adalah pemenang.

 

Sejujurnya, pada awalnya saya terpaksa harus memilih untuk ke luar negeri, saya sudah tidak punya pilihan lain lagi untuk bisa survive secara finansial. Saya sama sekali tidak berminat untuk bekerja di luar negeri,karena sering mendengar cerita tidak enak. Saya terpaksa harus mengambil resiko untuk pulang dengan status pengangguran jika gagal di tes kesehatan tahap ke dua. Karena ketika itu saya langsung resign dari perusahaan yang lama, bukan mengambil cuti.

 

Tapi pada pada akhirnya, saya merasa sungguh beruntung karena telah ditakdirkan untuk bisa bekerja di luar negeri seperti sekarang. Sehingga saya bisa meraih banyak hal yang sebelumnya tidak pernah saya mimpikan. Saya bisa menjadi jalan untuk membantu banyak orang di sekitar saya.

 

Kembali ke masalah pilih memilih, sejak bangun tidur hingga tidur lagi, hidup kita ini kan selalu dihadapkan pada pilihan- pilihan. Bangun atau tidak, mandi atau tidak, sarapan atau tidak, mau pake baju yang mana, celana yang mana, naik mobil atau jalan kaki, sarapan nasi atau roti, minumnya susu atau air putih. Hampir setiap langkah kehidupan kita adalah piilihan- pilihan.

 

Kalau misalnya anda ternyata merasa salah memilih jalan hidup, yaa tinggal memilih lagi jalan lain. Kalau pun belum ada jalan lain, ya kita tinggal menyesuaikan diri kita dengan jalan yang kita pilih. Coba untuk menikmati, atau setidaknya memproduksi hormon kenyamanan dalam melakukan peran yang kita jalani sekarang.

 

Selama membuat kita mendekat ke arah kebaikan, sekarang dan nanti, bekerja dan tinggal di mana pun akan selalu menjadi pilihan yang baik.

 

Kata penyiar salah satu stasiun radio di Bandung sih: “Do What You Love, and Love What You Do!”

 

 

didaytea.com

021020111109

 

 

Cara Untuk Bahagia Setiap Saat

Perspektif  Ideal Terhadap Waktu

“If happines is always in the future, then you’ll never be happy”(Dr. Philip Zimbardo)

 

Seorang psikolog bernama Philip Zimbardo membuat wacana tentang bagaimana perspektif kita terhadap waktu akan mempengaruhi keputusan kita dalam kehidupan.

Waktu yang dimaksud beliau adalah waktu relatif yang berada di dalam pikiran manusia, bukan waktu yang ditunjukan oleh jam di sekeliling kita.

Perspektif terhadap waktu akan mempengaruhi kebiasaan seorang manusia dalam menjalani hidup mereka.

Beliau mengatakan ada enam jenis perspektif waktu: dua di masa lalu(past), dua di masa kini(present), dan dua di masa depan (future).

Sebagian orang selalu mengenang bagaimana indah dan suksesnya masa lalu mereka, sering sekali mengungkit- ngungkit kesuksesan masa lalu yang belum tentu adalah kesuksesannya di masa kini. Ini adalah golongan orang dengan perspektif waktu Past Positive.

Sebagian orang hanya fokus pada kegagalan di masa lalu, masa lalu yang kelam. Dia akan hidup di masa lalunya yang negatif dan terlarut di dalamnya, sehingga melupakan fakta bahwa dsemua itu sudah berlalu dan tidak akan ada yang bisa dilakukan lagi untuk merubah masa lalu tersebut. Ini adalah golongan Past Negative.

Ada orang yang menginginkan kesenangan saat ini juga, mereka menikmati hari- harinya dengan enjoy, menikmati hidup, dan berprinsip bahwa mereka harus menikmati hidup sepuas- puasnya. Ini adalah golongan Present Hedonistic.

Ada juga orang yang membenci perencanaan. Mereka menjalani hidup dengan metode “mengalir seperti air”. It doesn’t pay to plan, my live is fated by the condition that I am living under. Kehidupan saya sudah ditakdirkan seperti ini, tidak akan bisa dirubah lagi walau apa pun yang saya lakukan.  Ini adalah golongan Present Fatalistic.

Ada juga orang yang selalu memiliki perencanaan dalam hidup mereka. Mereka berorientasi masa depan, berorientasi tujuan. Mereka memlih untuk belajar dan bekerja daripada menikmati hidup. Mereka lebih memilih untuk hidup menderita hari ini demi kebahagiaan di masa depan. Bagi mereka kebahagiaan selalu ada di masa depan. Ini adalah golongan Future Oriented.

Golongan terakhir menurut beliau adalah Future: Trancendental-Life after death of the human body. Kehidupan sesungguhnya adalak kehidupan setelah kematian. Untuk yang muslim, ini adalah akhirat kita.

Lalu, seperti apakah perspektif kita terhadap waktu yang ideal untuk dijalani?

Kita tidak bisa menanggalkan masa lalu kita walau pun itu hanya ada berada di dalam pikiran kita. Kita juga tidak bisa melupakan fakta bahwa masa depan itu ada dan kematian itu pasti akan datang. Secara fisik, kita sedang hidup di masa kini, The Present.

Ini adalah profil ideal menurut Dr. Zimbardo:

Past Negative

Low

Past Positive

High

Present Hedonism

Selected, self-rewarding, not impulsive

Present Fatalism

Low

Future

Moderately high, not a workaholic

Lupakanlah masa lalu yang negatif, hapus sama sekali dari memori anda. Kalau pun sampai harus diingat, jadikan sebagai pelajaran yang sangat berharga agar kita tidak mengulangi dan mengalaminya lagi.

Ingatlah kisah positif di masa lalu, untuk memotivasi diri kita ketika sedang terpuruk.

Jangan jadi orang yang terlalu gila kerja, selalu sempatkan waktu anda untuk menikmati kebahagiaan di masa kini. Luangkan waktu untuk keluarga, berekreasi. Jangan biarkan diri anda menderita dan memilih untuk menjalani hidup serba hemat dan serba sulit, demi untuk “kebahagiaan” di masa depan. Memang sih, porsi untuk itu selalu ada. Tapi jika semua kebahagiaan itu berada di masa depan, maka kita pasti tidak akan pernah bisa bahagia. Dengan terlalu sering melihat ke masa depan, berarti anda tidak menghargai masa kini, anda tidak menghargai hari- hari anda yang seharusnya dihiasi oleh kebahagiaan- kebahagiaan.

Bisa saja kita puluhan tahun untuk mengejar karir yang tinggi, tapi pada akhirnya malah menghadapi kenyataan bahwa posisi itu ternyata tidak cokcok dengan kita.

Past gives you root-to connect to your identity & family, to be grounded

Future give you wings- To soar to new destination and challenges

Present gives you energy- to explore people, places, self and sensuality

Manusia hanya bisa berusaha dan bertawakkal, tetap pada akhirnya Allah yang menentukan segalanya.

Nikmatilah sukses kecil di masa sekarang untuk bayangan sukses di masa depan bahkan sampai akherat kelak.

Diekstrak dari video Professor Philip Zimbardo: The Perspective of Time dan berbagai sumber di Internet.Thank you for Professor Philip Zimbardo for his permission to translate his presentation.  www.theTimeParadox.com

www.didaytea.com

13102011

Pusing Tujuh Keliling Forever

“Manusia memang aneh, suka memikirkan yang tidak perlu dipikirkan tapi tidak memikirkan yang seharusnya dipikirkan”

 

“Pussiiiinnggggg…!” Teriak si Fulan dari teras depan rumahnya.

“Pusing tujuh keliling nih!” Si Fulan menambah variasi tujuh keliling untuk mendramatisir keadaan. Sambil memasang pose standar orang yang sedang pusing tujuh keliling: setengah jongkok, tangan kiri berkacak pinggang, tangan kanan memegang jidat, dan kepala digeleng- geleng.

“Pusing kenapa Mas Bro? Kok sampai tujuh keliling begitu” Tanya si Mamang Tukang Sayur langganan si Fulan yang tiba- tiba hinggap, eh, mampir di depan rumah si Fulan karena terkaget- kaget mendengar teriakan si Fulan.

“Ngga pusing gimana Mang…..” Kata si Fulan sambil menarik nafas panjang.

“Hutang makin banyak, kosan belum bayar, cicilan motor nunggak dua bulan, nilai kuliah jelek- jelek, pacar minta dinikahi secepatnya, orang tua telat ngirim..!” Kata si Fulan, persis seperti burung Cangkurileung yang baru dilepasan dari kandang.

“Hutang, keuangan, masalah keluarga, sekolah, kerjaan mah ya masalah biasa atuh Mas Bro, tiap manusia pasti punya masalah yang berkaitan dengan hal- hal itu…” Jawab Mas Bro, eh, Mamang Tukang Sayur dengan suara bariton yang lembut layaknya penyiar radio yang baru- baru ini mendadak beken di Youtube.

“Iya saya tahu Mang, tapi saya tetep pusing nih mikirin gimana solusinya!” Jawab Si Fulan dengan pose yang masih persis sama seperti tadi, hanya kali ini tangan kirinya yang hinggap di atas jidat. Kepalanya tentu saja tetap menggeleng- geleng.

Eh, tiba- tiba si Mamang malah ngaji dengan suara yang berat tapi lembut, mirip- mirp dengan Syaikh Mishary Al Efasy. Secara, dia kan emang imam di mushola deket rumah si Fulan.

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)”. QS Hud ayat 6

 

            “Yee..si Mamang kenapa malah ngaji sih? Bukannya ngehibur!” Si Fulan menanggapi dengan sedikit kesal.

“Saya butuh solusi buat masalah saya, bukan pengen didengerin orang ngaji!” Tambahnya lagi.Sambil terduduk lesu, iya lah, masang pose orang pusing tujuh keliling gitu pasti pegel bukan main.

“Mas Bro beneran pusing nih, mikirin masalah- masalah Mas Bro?” Tanya si Mamang dengan lembut, seperti seorang ayah kepada anaknya.

“Iya lah, masa ngga keliatan dari tadi saya pasang pose seperti ini?!” Kata si Fulan yang tiba- tiab tersadar bahwa posisinya sudah berubah, dan memasang pose pusing tujuh keliling lagi.

“Mas Bro, masalah rejeki, uang, jodoh, maut, sudah dijamin oleh Allah. Itu janji-Nya!” Ucap si Mamang.

“Tugas kita bukan untuk memikirkan hal- hal itu.”

“Mas Bro sudah sholat zhuhur belum nih?” Tiba- tiba si Mamang bertanya.

“Masih pusing gini mas, nanti aja lah bentar lagi!” Jawab si Fulan sekenanya.

“Saya mau nanya boleh ngga Mas Bro?” Si Mamang pun tetap menanggapi dengan santai.

“Mau nanya apa?” Jawab si Fulan.

“Mas Bro yakin kalau Allah Maha Pencipta?” Tanya si Mamang.

“Yakin dong, saya kan orang Islam!” Jawab si Fulan.

“Yakin kalau Allah pemilik segala sesuatu di dunia ini?”

“Hmm.itu juga yakin dong! Intinya mau nanya apa nih, kok malah nanya yang aneh- aneh kaya gini!” Si Fulan mulai terlihat kesal.

“Yakin kalau Allah Maha Kuasa atas segala kejadian di dunia ini?

Si Fulan sekarang hanya sekedar menganggukkan kepalanya.

“Nah, itu cukup!” Kata si Mamang dengan muka sumringah.

“Cukup apanya?” Jawab si Fulan yang terlihat agak bingung.

“Di ayat yang tadi Mamang bacakan tercantum jelas bahwa Allah berkata:“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya”

            “Allah sudah menjamin rejeki setiap makhluk yang melata di muka bumi ini, dan itu termasuk manusia” Si mamang meneruskan obrolannya.

“Kita seharusnya tidak usah khawatir tidak dapet makan, tidak usah khawatir tidak bisa pake baju, tidak usah khawatir tidak dapet jodoh, tidak usah khawatir tidak dapet kerjaan, pokoknya mah urusan dunia mah Allah sudah jamin deh” Si Mamang mulai bersemangat menjelaskan.

Si Fulan sepertinya sudah lelah berpose pusing tujuh keliling, dan dia pun duduk ke posisi semula, di sebelah si Mamang sayur. Sambil mendengar si Mamang sayur dia pun menganggukkan kepalanya pelan- pelan, entah karena ngantuk atau karena memang sedang berusaha mengerti si Mamang.

“Cecak aja makanannya nyamuk, tapi mereka tidak pernah pusing!”

“Mas Bro, ada hal- hal yang seharusnya lebih kita khawatirkan dibanding hanya sekedar urusan hutang, keuangan,keluarga, jodoh.” Si Mamang menjelaskan lagi.

“Apa itu mas? Saya sudah cukup pusing nih memikirkan masalah- masalah saya, tolong jangan ditambah pusing!” Jawab si Fulan.

“Tugas kita diciptakan sebagai manusia semata- mata untuk beribadah kepada Allah”

“Mas Bro Sholat, puasa, zakat? Tanya Si Mamang.

“ Ya Iya lah, saya kan Islam Mang, masa ngga sholat, puasa ama zakat?” Jawab si Fulan dengan setengah melotot.

“Tapi Mas Bro yakin 100 persen ngga kalau  ibadah- ibadah Mas Bro itu bakal diterima oleh Allah?” Si Mamang masih bertanya lagi.

“Hmm…” Si Fulan mulai terdiam.

“Gimana ya….? Kalau ini sih sejujurnya saya tidak yakin. Sholat saya masih sering telat, ngga khusyu- khusyu amat, puasa juga ya gitu- gitu aja sih ngga ada yang istimewa, zakat mah pasti lah, minimal zakat fitrah.” Si Fulan menjawab dengan perlahan.

“Nahh..Apakah tiap sehabis sholat Mas Bro suka memikirkan bahwa sholat Mas Bro diterima atau tidak?” Tanya Si Mamang.

“Ngga sih, sholat ya sholat aja…Palingan ya itu, saya berdoa minta solusi untuk masalah- masalah saya” Jawab si Fulan.

“Lalu gimana Allah mau mengabulkan do’anya Mas Bro kalau ternyata sholatnya Mas Bro asal sholat aja, asal sah saja. Sah belum tentu diterima lho!” Si Mamang langsung menanggapi.

“Mas Bro pernah mikirin ngga apakah bacaan Al Qur’an Mas Bro sudah bener atau ngga? Apakah Mas Bro mbaca surat yang itu- itu saja, klo ngga Al Ikhlas ya Al Kautsar? Apakah Mas Bro abis sholat dzikir dulu ngga? Apakah Mas Bro sholat sunah rawatib ngga setelah sholat? Apakah Mas Bro ngerti bacaan sholat dari Takbir sampai Salam? Pertanyaan yang bertubi- tubi berhamburan dari mulut si Mamang, seolah- olah menohok dada si Fulan.

Si Fulan hanya terdiam. Pandangannya langsung kosong seperti sedang memikirkan jawaban untuk pertanyaan pertanyaan si Mamang.

“Ngga pernah Mang…” Jawab Si Fulan dengan lesu.

            “Tuh kan…Hal yang sudah jadi kewajiban ternyata malah Mas Bro ngga pikirin.”

“Ngga usah khawatir mikirin masalah rejeki and jodoh mas, atau masalah- masalah lainnya. Allah mah Maha Kuasa Atas Segala Sesuatu. Kalau ibadah kita sudah benar, dan diterima oleh Allah, Allah pasti akan dekat dengan kita. Kalau Allah sudah deket sama kita, kita pasti dimudahkan dan diberi jalan dari jalan yang tidak di duga- duga selama kita beikhtiar sekuat tenaga dengan benar dan dengan niat yang lurus.” Si Mamang menjelaskan lagi dengan perlahan.”

“Iya juga Mang, eh..Iya ya Mang..” Si Fulan menjawab.

“Selama ini saya selalu ruwet mikirin urusan dan masalah hidup saya, tapi malah sama sekali ngga pernah mikirin gimana kualitas ibadah saya. Padahal sudah puluhan tahun saya sholat, puasa, zakat. Tapi saya ngga pernah kepikiran untuk mikirin kalau ibadah saya itu sudah benar atau tidak, bakalan diterima oleh Allah atau tidak…” Ucap si Fulan dengan sedikit terisak.

“Astaghfirullohal’azhiim…ampun ya Allah” Si Fulan beristighfar dengan lirih..

“Tidak pernah ada kata terlambat untuk tobat Mas Bro” Kata si Mamang.

“Alhamdulillah kalau Mas Bro sudah sadar mah, ini juga sebagai koreksi untuk diri saya gar bisa memperbaiki kualitas ibadah saya lebih baik lagi” Si Mamang menambahkan lagi.

“Saya pamit dulu ya Mas Bro…semoga sukses! Saya tunggu di mesjid Ashar nanti Ya!” Ucap si Mamang Tukang Sayur sambil berlalu dengan motor yang sudah dimodifikasi dengan keranjang sayurnya.

“Wa’alaikumsalaam. Terima kasih Mang, sudah mengingatkan..” Jawab si Fulan yang mulai terisak lagi.

Tak lama kemudian si Fulan pun bergegas mengambil wudhu.

Kali ini dia merasa wudhunya terasa sangat berbeda. Dia sangat menikmati setiap bilasan air dingin yang mengalir dari keran plastik di kamar mandinya. Tanpa terasa air matanya pun mengalir pelan, terbilas oleh air wudhu yang membasuh mukanya. Hatinya pun berdetak kencang, tak sabar ingin segera mendirikan sholat, agar dia bisa taubat sepuasnya.

     لا إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحانَكَ إِنّى‏ كُنْتُ مِنَ الظَّالِمينَ

Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.”

 

www.didaytea.com

131011