Jalan Banda, itu adalah cabang pusat dari studio photo yang paling terkenal di Bandung. Tadinya mau kusebutkan Jonas Photo, tapi ngga enak lah, takut malah jadi promosi.
Baru saja kami keluar dari studio itu, setelah penantian yang sangat lama untuk mewujudkan mimpi keluargaku untuk bisa berfoto bersama.
Eh, ternyata hujan sodara- sodara! Tiba- tiba ngagebret kata orang Sunda mah.
Yah, apa daya, kami hanya bisa menunggu. Tempat parkir mobil lumayan jauh dari tempat itu, dan kami lupa meminta nomer hp supir pula. Lengkap sudah deh. Kami mau tidak mau harus nagog di pinggir jalan.
Setelah beberapa puluh menit menunggu, akhirnya…. hujan pun tetap tidak mereda..hehehe..
Ya, akhirnya terpaksa kukeluarkan payung yang baru saja kubeli di dalam, dan minta tolong salah seorang dari kami untuk memanggil supir.
Alkisah dan walhasil, kami semua akhirnya sudah berada di dalam mobil.
Tujuan kami selanjutnya sih ke BIP, untuk mencari makan. Maklum lah, setelah hampir tiga jam mengantri untuk difoto, perut kami semua sudah keroncongan dan bertalu- talu, meminta untuk segera diisi.
Aku check GPS , ternyata BIP hanya berjarak 1,5 kilo meter saja dari Jalan Banda. Harusnya aman dong, paling lambat sepuluh atau lima belas menit pasti kita sudah berada di depan meja D’Cost untuk menyantap menu makanan yang luar biasa murah tapi mak nyos itu (katanya sih itu juga…).
Dasar perut kita memang kurang beruntung, ternyata baru saja keluar dari perempatan, bukannya lancar, yang terhampar di depan mata malah kemacetan (hampir) total.
Duh! Hampir setengah jam keluar dari perempatan Jalan Banda, kami masih saja terjebak di tengah ratusan mobil yang seolah sedang bernyanyi, membunyikan klakson bersahut-sahutan.
Apalagi di pinggir jalan hampir semuanya kafe, makanan, warung, kios Klappertart, tukang Gehu Jeletot, Seripik Kingkong dan teman-temannya yang malah membuat air kita terus terbit ke atas bibir, walaupun tidak sampai mengalir ke samping pipi. Dan lantunan musik keroncong di perut kami semua pun semakin dahsyat. 😀
“Pak, tolong nyalain radionya dong!” Adikku setengah berteriak ke supir.
“Siap Neng!” Jawab si Bapak Supir sambil dengan sigap memijat, eh, memijit, aduhhh, memencet tombol on di tape mobil.
Dasar kamu kepiting laut
Banyak cewek bertekuk lutut
Guk Angguk Angguuk
Gut Manggut Mangguut
Semua kepincut
Waduh, ternyata begitu radio menyala, langsung deh terlantun lagu dangdut yang belum pernah kudengar sebelumnya. Dari warnanya sih, yaa sejenis “Basah- Basah”-nya Hesti Damara atau “SMS” gitu lah.
“Pindahin aja Pak, lagu kieu kok didengerin sih!” Kataku kepada supir.
Malah kedua adikku yang heboh.
“Jangan dipindahih A, itu enakeun geura, Judulnya Kepiting Laut!” Teriak kedua adikku dengan semu rada histeris tea geningan.
Risih juga lah dengernya, lha wong musik jedak jedug, dan sedikit tidak puguh gitu. Langsung kupindah lagi ke saluran sebelumnya deh. Dan juga entah kenapa, si kembar malah suka lagu semacam itu.
Selama perjalanan 1.5 kilo meter yang rasa-rasanya perjalanan terpanjang dan terlama di Bandung itu, si Kepiting Laut itu terus saja mengiang- ngiang di telingaku.
Dasar kamu kepiting laut
Banyak cewek bertekuk lutut
Guk Angguk Angguuk
Gut Manggut Mangguut
Semua kepincut
Duh, kenapa Bandung semakin macet dan lagu- lagu kaya gitu malah semakin laku aja ya?
Didaytea
130720111627
Yang masih merasa ada di Bandung