Strawberry Man

Strawberry Man
Cerpen oleh Diday Tea

Sejak masih berseragam Putih-Biru, sampai sekarang aku bekerja di kota yang berjarak hampir tiga ratus kilometer dari kota kelahiranku, ada kebiasaan yang oleh sebagian besar orang di sekitarku adalah kebiasaan yang aneh.

Aku sangat menggemari makanan yang berperisa Strawberry.

Biskuit, Minuman Bersoda, susu Strawberry selalu masuk daftar belanja bulananku. Tentunya sangat tidak pantas kalau saya harus menyebutkan Selai Olai, Fanta Strawberry, Susu Ultra Jaya Strawberry, atau Nyam Nyam Strawberry, karena tulisan ini adalah cerita pendek, bukan endorse atau pun Paid Promotion seperti selebgram zaman now.

Begitu pula ketika sudah menikah.

Ketika momen bersejarah ketika aku dan istriku pertama kali berbelanja untuk keperluan dapur.

Di antara puluhan barang yang kami masukkan ke dalam trolli belanjaan, beberapa kali istriku bertanya dengan alis dan kening di atas wajahnya yang kuning bercahaya seperti selebgram Korea yang berjilbab itu.

“Pah, ini siapa yang masukkin? Ngga salah? Ini kan makanan anak kecil? Buat para keponakan ya?” Dia bertanya sambil kedua tangannya menggenggam dua kemasan berisi dua lusin biskuit yang berasa Strawberry. Dan tak lupa matanya yang sipit itu tiba-tiba berdelik disudut rongga mata.

Kalau di sinetron yang berseason-season itu, adegannya kurang lebih ketika wajah setiap tokoh di close up dan kamera bergerak ke depan dan ke belakang diirini musik dramatis yang agak menyeramkan. Jreng jreng jreeeng.

Sejenak kemudian adegan dramatis terjadi ketika pandanganku, istriku dan Mba- mba kasir berkemeja Kuning dan bercelana Biru, tentunya tidak sampai lama mencapai sepeminuman teh seperti skala waktu yang sering diungkapkan di novel silat zaman dahulu.

Saya tidak mungkin menyebutkan jka judul novel tersebut adalah Wiro Sableng, karena para pembaca cerpen ini tentunya akan mengetahui dan mengira-ngira setua apa penulis cerpen ini.

“Iya Mah, itu Papah yang masukkin. Bukan buat keponakan-keponakan, tapi buat cemilan Papah!” Aku menjawab dengan nada datar dan tanpa sedikit pun merasa ada yang aneh.

“Udah Mah, lanjutin ngitung belanjaannya, kasian di belakang sudah ada yang ngantri” kataku lagi sambil membantu dia memindahkan belanjaan kami dari troli belanjaan ke atas conveyor di atas meja kasir untuk dihitung.
Istriku tidak menjawab apa-apa. Dia hanya terdiam.

Kira-kira dua puluh detik kemudian, dia bertanya lagi. Adegannya kurang lebih seperti tiga paragraf di atas. Yang berbeda hanya yang dia genggam kali ini adalah Fanta Strawberry, Selai Olai Strawberry, Susu Ultra Strawberry,dan Nyam Nyam.

Kita semua tentunya sudah tahu bahwa Nyam Nyamnya pasti rasa Strawberry bukan?

Ternyata bukan.

Saya sudah cari di sepanjang rak cemilan itu, ternyata rasa Strawberry sedang kosong. Jadi yang saya ambil yang rasa coklat saja.

Pokoknya setiap ada sesuatu yang berbau Strawberry, adegan di tiga paragraf di atas akan terulang lagi deh. Setiap itu pula aku menjawab bahwa itu memang aku yang mengambil, bukan salah ambil atau barang orang lain yang ada di troli belanjaan kami.

Tenang para pembaca, cerpen ini masih panjang. Hehehe.

Tetap stay tune.

Singkat cerita, eh tidak terlalu singkat, karena perjalanan dari Supermarket ke rumah mungil yang kami yang baru berisi kulkas, tempat tidur dan karpet itu lumayan jauh, sekitar tiga puluh menit.

Mobil kantor yang kukendarai selama tiga puluh menit itu melaju mulus seperti di atles ski yang sedang meluncur di atas es.

Nyaris tak terdengar.

Tapi di dalamnya terdengar dialog yang sangat sengit di antara pasangan suami istri. Dialog yang seru. Kira- kira seperti pertandingan terakhir Persib melawan Persebaya.

Walau pun terjadi banyak gol, tapi hanya ada satu kartu kuning dan tidak banyak pelanggaran yang terjadi.

Tidak ada yang tersakiti.
Kira-kira ada enam puluh tujuh pertanyaan yang terhambur dari bibir mungil istriku. Untung suaranya merdu bak penyanyi dari Malaysia yang baru lahiran itu.

Pertanyaanya ya tidak jauh dari kejadian di Supermarket tadi.
Seputar Strawberry.

Intinya dia kurang nyaman karena selera cemilanku itu.
Kenapa pria yang menjadi suaminya ternyata punya kegemaran yang menurut dia aneh.

Ya aku jelaskan saja bahwa itu kegemaranku sejak masih SMP.
Ya, karena kami hanya bertemu dua kali sebelum menikah.

Ketika dikenalkan oleh temanku. Dan ketika aku melamarnya satu minggu kemudian. Jadi pacarannya ya dimulai sejak ijab kabul itu.

Akhirnya sesi tanya jawab seru seperti di acaranya mas Deddy Corbuzier, diselingi oleh candaan seperti Kang Sule di Ini TalkShow pun berakhir damai tanpa ada pertikaian yang berarti,tepat ketika kami tiba di parkiran.

Dan rutininas berumah tangga pun berlanjut seperti biasa.
Tapi cerita ini belum berakhir. Masih ada satu bagian lagi!
Semua orang punya rahasia.
Sebenarnya ada kisah yang sangat pilu di balik betapa aku tergila-gila kepada apa pun yang berrasa Strawberry.

Jauh di masa kecilku, dua tahun sebelum aku pindah rumah dan pindah sekolah ke Bandung, aku punya sahabat dekat.

Tadinya kami berempat, hanya aku yang laki-laki. Kami bersahabat karena kami satu tim Cerdas Cermat yang mewakili sekolah untuk mengikuti lomba Cerdas Cermat seprovinsi Jawa barat.

Tapi yang tersisa sampai kami hampir lulus hanya aku dan Maya. Tapi waktu itu bukan hal yang aneh. Karena anak SD zaman tahun 90an tidak seperti anak SD zaman Now yang baru kelas 3 SD sudah bisa membuat video viral patah hati sambil bercucuran air mata, karena dikhianati pacarnya dengan diiringi lagu Asal Kau Bahagia.
Hadeuh pokoknya dramatis dan tragis tapi sangat miris.

Setiap hari Minggu pagi kami punya kegiatan rutin. Aku akan bersepeda sampai rumahnya dan dari rumahnya kami akan bersepeda bersama ke area taman di perumahan elit tempat dia tinggal.

Lalu kami akan bermain Bulutangkis sampai kelelahan.
Walau pun rumah kami berdekatan tapi berbeda kelas. Dipisahkan oleh sungai besar di daerah Karasak, Selatan. Ruang tamunya saja sudah lebih besar dari luas rumahku.

Rumahku hanya rumah di area penduduk biasa yang mobil pun tidak masuk, sedangkan dia tinggal di perumahan elit.

Setelah puas bermain Bulutangkis, aku akan selalu diundang mampir olehnya.

Naah, ini bagian yang mulai mengungkap kenapa aku menjadi “Strawberry Man”.

Tak lama setelah kami menyenderkan sepeda kami ke tembok dekat parkiran yang berisi tiga mobil mewah milik ayahnya, kami akan ngobrol seru di teras rumahnya sambil melepas lelah sehabis bersepedah dan bermain Bulutangkis tadi.

Tak sampai lima belas menit kemudian, jurus masak keluarga Maya keluar membawa trolli kecil seperti di restoran.
Horang kaya mah bebas. Hehehe.
Ayahnya Maya adalah dan pengusaha sukses. Dia membuat dan menjual ayunan mewah untuk diekspor ke luar negeri.

Waktu itu saja satu buah ayunannya sudah berharga dua setengah juta Rupiah.

Jadi ya wajar saja kalau sampai ada juru masak khusus di rumahnya.

Sambil duduk mensejajarkan pandangannya dengan kami berdua yang masih bertubuh mungil itu, dengan sopan Mba Mar-panggilan keluarga Maya kepada juru masak itu-berkata:
“Mba Maya, Mas Deni , Mie Gorengnya sudah siap, dan Susu Strawberrynya sudah dingin juga. Kalau sudah selesai Fanta Strawberry, dan Nyam Nyam Strawbery kesukaan Mba Maya juga sudah Mba Mar beli, tinggal panggil saya saja nani Ya!” Mba Mar berkata sambil dengan cekatan menyajikan Mie Goreng di depanku dan Maya. Lalu segelas besar susu Strawberry dingin dia turunkan dari trolli kecil yang tadi dia dorong dari dalam.

Selama dua tahun, hampir tidak ada hari Minggu pagi yang terlewatkan dengan rutinitas yang sama.

Bersepeda, Bulutangkis, ditutup dengan sajian Mie Goreng dan Susu Strawberry,dan teman-temannya.

Sampai suatu Minggu pagi itu datang.

Pagi yang paling menyedihkan selama hidupku.

Ketika aku tiba, ada dua truk besar yang sedang parkir di depan rumahnya. Ada beberapa orang yang sedang sibuk mengangkut perabotan rumah dari dalam rumah yang sangat besar itu.

“Deni ya?” Suara berat terdengar dari samping kananku. Ternyata Mas Tomi, kakaknya Maya yang bertanya sambil menepuk pelan pundakku.

“Kemarin Maya menitip pesan, dia minta maaf katanya tidak sempat untuk berpamitan.”
Dia berkata perlahan.

“Kami akan pindah rumah ke Surabaya, karena Ayahnya Maya harus memindahkan pabrik perajinan ayunannya ke sana. Dan Maya akan dikirim ke Pondok Pesantren di Sidoarjo. Seharusnya Minggu depan Maya baru berangkat ke Pondok Pesantrennya, tapi mendadak ada perubahan jadwal. Santri baru ternyata harus datang satu minggu lebih awal.”
“Jadi semalam Ayah, Ibu dan Maya sudah terbang ke Surabaya” Kata Mas Tomi lagi.
Mas Tomi terus menjelaskan sambil sesekali mengatur pekerja yang mengangkut perabotan dari dalam rumah.
“Maya juga minta maaf kalau dia tidak pernah bercerita kalau dia akan langsung Ayah kirim ke Pondok Pesantren. Dia tidak ingin Deni sedih. Dia yakin pasti Deni akan punya sahabat yang lebih baik dari Maya.”

“Semalam sebelum berangkat, Maya juga sempat memaksa ingin ke rumah Deni untuk pamitan, tapi ternyata Maya belum pernah dan tidak tahu rumah Deni ada di mana walau pun hanya di seberang sungai Karasak itu.”

“Dan ternyata di rumah Deni juga belum ada telepon rumah. Jadi tidak ada cara untuk menghubungi Deni semalam.”
Selama Mas Tomi menjelaskan dan menyampaikan pesan dari Maya, aku tidak bisa berkata apa-apa. Otakku masih mencerna dan memutuskan aku harus bersikap bagaimana.

Akhirnya aku hanya meraih tangan mas Tomi untuk bersalaman dan segera berpamitan tanpa menengok lagi ke belakang. Sama sekali tidak terpikirkan untukku untuk meminta alamt rumahnya di Surabaya atau alamat Pondok Pesantren.

Aku kayuh sepedaku kencang-kencang menjauh dari rumah itu agar setiap tetesan air mata yang jatuh dari sudut mataku segera terbang menjauh dan musnah dan tidak ada orang yang tahu.

Perasaan sedih dan kehilangan yang aneh, tapi sungguh dahsyat membuat dadaku sungguh sesak seperti dihimpit oleh dua tembok besar.

“Selamat tinggal Maya, semoga di masa depan kita bisa bertemu lagi!” Aku berbisik kepada diriku sendiri sambil sesekali mengusap aliran air mata kehilangan dan kesedihan yang sangat mendalam.

“Apakah perasaan ini adalah kesedihan dan derita karena cinta seperti yang sering aku dengar, aku baca dan aku tonton? Aku kan masih kelas 6 SD?” Aku bergumam sambil membayangkan wajah tokoh di serial Kera Sakti yang berkata:
“Beginilah cinta, derita tiada akhir”.

“Paaaah!” Tiba-tibaTerdengar suara yang aku kenal dari kejauhan.

“Papaaaaahhhh!” Suara itu terdengar semakin jelas.
“Papaaah, ngelamun aja ih! Sampe melongo gitu. Lagi mikirin apa sih?” Ternyata istriku dengan senyum manis seribu wattnya sudah berada di depanku. Membuyarkan flashback lamunanku yang sedang seru-serunya itu.

“Ini makan siang sudah siap sesuai pesanan tadi:Mie goreng dan minumnya Susu Strawberry kan?”

Selesai.

Doha, 29 July 2018