CINTA DERITA

Oleh: Diday Tea

 

Cinta itu jorok. Datang kapan saja, di mana saja, dan sering jatuh tiba-tiba.

Sekolahku berseberangan dengan SMK Kejuruan jurusan per-Tata-an. Tata Boga dan Tata Busana, dan Tatabeuhan (Seni Tari). Walau pun di sekolahku memang lebih banyak perempuan dibanding laki- laki, tetap saja ketika sepulang sekolah, tetap saja jantung ini agak sedikit berdebar melihat ratusan siswi SMK itu keluar dari gerbang sekolah sebelah bersama- sama.

Walau pun tak bisa kulihat satu persatu wajah mereka, tetap saja secara otomatis mataku hanya tertuju kepada mereka yang memakai jilbab. Ya karena seperti itulah aku bertekad  memilih calon istri.

Jilbab mereka saja sudah seperti berkilauan tertimpa oleh cahaya matahari di tengah hari bolong, apalagi ditambah oleh wajah- wajah ayu nan segar yang terbalut oleh jilbab- jilbab putih itu.

Secara, di sekolahku hanya ada sekitar tiga puluh orang dalam satu kelas. Dan satu angkatan pun hanya ada dua kelas. Di dalam kelas yang sudah sedikit orang itu pun, kami kaum lelaki menjadi kaum minoritas, hanya sepertiganya.

Tapi sekolah sebelah itu, ada beberapa jurusan. Dan satu angkatan bisa memiliki sembilan kelas. Dan satu kelas bisa berisi empat puluhan siswa yang kebanyakan siswi.

Bayangkan saja, bagaimana perasaan kami remaja laki- laki yang sedang puber- pubernya yang sudah merupakan makhluk langka di sekolah, hanya sepertiganya kaum wanita, jika melihat lawan jenis sebaya dengan kami sebanyak itu.

Dan itu terjadi hampir setiap hari.

Tapi..di antara ratusan wajah yang hampir setiap hari kulihat, ada satu yang menarik perhatianku.

Jantungku berdegup lebih kencang ketika melihatnya.

Dia tidak cantik luar biasa seperti siswi primadona di sekolahku, yang jadi rebutan laki- laki hampir di semua angkatan. Dia tidak putih-kurus-tinggi-langsing, seperti kecantikan yang digambarkan oleh iklan- iklan di televisi, seolah- olah jika wanita tidak seperti itu  adalah wanita yang tidak cantik.

Tingginya hampir sama denganku. Tapi dia terlihat jauh lebih kecil. Mungkin karena dia terlalu kurus. Wajahnya tidak terlalu putih merona seperti iklan pemutih wajah yang muncul hampir setiap ada jeda iklan di acara sinetron itu. Atau putih mengkilat seperti model iklan pemutih dari Jepang yang menggunakan model yang sebenarnya sudah putih dari orok.

Penipuan.

Tubuhnya pun tidak putih semampai seperti model- model yang sering muncul di majalah.

Ada yang membedakan dia dari ratusan siswa perempuan yang kulihat hampir setiap hari.

Ada tahi lalat kecil di tengah pipi kirinya yang sedikit Chubby (padahal dia kurus ya?).

Ah, entah kenapa, tahi lalat ini yang menjadi POI (Point of Interest).

Dalam seminggu, paling sering aku melihat dia hari Kamis dan Sabtu. Hari di mana jadwal sekolahku seperti sekolah lain, sampai jam satu atau setengah dua siang. Karena di hari- hari yang lain, paling cepat kami bisa keluar dengan selamat walau pun penuh peluh dan lelah tak tertahan dari gerbang sekolah hampir jam setengah lima sore.

Beberapa bulan dari pertama kali melihatnya, aku tidak pernah tahu namanya siapa rumahnya di mana, dia naik angkot apa ke jurusan mana.

Aku sih berpikir,mungkin dia pulang ke arah yang berlawanan.

Pada suatu hari, di tengah rintik gerimis di bulan Mei, aku bisa pulang lebih awal. Hari itu ada ujian praktek, dan aku sangat beruntung. Aku kebagian jatah tugas ujian praktek yang sangat mudah, sehingga ujian bisa kuselesaikan kurang dari satu jam.

Aku memutuskan untuk pulang.

Biasanya sih, aku naik bis kota dari sekolahku. Memang sih, ongkosnya jauh lebih murah. Tapi resiko berdesak- desakan dan terpapar dengan berbagai aroma keringat dari berbagai profesi dan juga berbagai tingkatan umur sangat besar. Aku harus langsung berganti seragam di keesokan harinya.

Ketika betisku sudah terasa panas karena terlalu lama berdiri, tiba- tiba di seberang jalan ada sosok tubuh berseragam abu- abu sedang berjalan seorang diri dari dalam gerbang sekolah sebelah.

Pucuk dicinta ulam tiba.

Mataku tak bisa berkedip menapaki langkah demi langkah gemulainya. Sebenarnya sih dia tidak gemulai- gemulai amat, malah cenderung gontai. Aku sempat tidak percaya sih, tapi setelah dia betul- betul menyeberangi dua jalur jalan aspal yang sangat lebar di depan sekolah kami itu, barulah aku yakin bahwa dia adalah si dia.

Aku kenal betul tahi lalat di pipi kiri itu.

Ternyata dia satu arah denganku!”

            Entah apa yang dia tunggu, angkot atau bis.

Tapi aku sudah bertekad, aku akan naik juga bersama dia, apa pun itu, dan ke jurusan mana pun. Dia berdiri kira- kira sepuluh meter di sebelah kananku. Jadi angkot atau bis yang akan dia naiki masih bisa kukejar.

Aku harus bisa kenalan!”

Ternyata dia memegat (memberhentikan) angkot berwarna hijau muda sedikit kekuningan, jurusan Gedebage- Stasiun Hall.

Aseekkk…Ini kesempatan emas!” Gumamku dalam hati, mensyukuri kondisi yang mempertemukan kami berdua di dalam satu angkot.

Segera kukejar angkot berwarna hijau muda -bukan-koneng-engga itu, dan sukses duduk di sebelah bapak supir angkot yang sama sekali tidak kelihatan seperti bapak- bapak, karena dia tidak berkumis.

Walau pun aku di sebalah supir dan dia di belakang, tapi sesekali bisa kulirikkan mataku membidik wajahnya yang manis dan tahi lalat yang seolah menari di atas pipi kanannya itu.

“Kiri..!” Tiba- tiba suaranya yang ternyata sangat lembut terdengar memecah kesunyian dan keasyikanku memandang wajahnya.

Aku sempat tertegun dan melihat sekeliling.

Dasar! Saking khusyunya melirik si Dia , sampai lupa ada di mana.

Ternyata dia memberhentikan angkot itu di perempatan Buah-batu.

Dengan cepat otakku bekerja, dan memerintahkan tanganku yang sigap langsung merogoh saku, dan memberikan ongkos untuk dua orang kepada si supir angkot.

“Dua Pa, saya sama si teteh yang lagi turun” Kataku sambil mengulurkan empat lembar uang ribuan.

Ketika dia hendak menyodorkan tangannya untuk membayar, aku membuka pintu sambil turun, dan berusaha sedikit menghalanginya sambil berkata:

“Sudah dari saya Teh!”

Sekilas terlihat bordiran nama di atas jilbabnya yang terurai menutupi dadanya: Cinta.

Nama yang sungguh puitis.

“Eh..kenapa??” Dia bertanya.

“Engga..engga usah..!” Dia menolak dan wajahnya terlihat memerah dengan mata yang bingung dan memandangku dengan penuh kecurigaan.

Tapi terlambat, angkotnya sudah berangkat.

“Ini ongkosnya, ambil atuh! Saya ngga mau diongkosin begitu saja tanpa alasan!” Bibirnya  yang merah merona berbicara sambil menyodorkan uang ribuan yang sudah dari tadi dia genggam. Katanya sambil setengah menghadang langkahku.

“Ngga apa- apa Teh, beneran, saya ikhlas. Lagian ngga seberapa kok!” Jawabku lagi.

“Nanti saya jelasin deh, kenapa saya ngongkosin Teteh!” Ucapku lagi sambil mulai memasang kuda- kuda dan mencari cara bagaimana caranya agar bisa berkenalan dengannya.

Tadinya sih aku niatnya hanya menjadi pria misterius yang membayari ongkosnya dan pergi begitu saja. Tapi kuurungkan saja niatku, karena hari ini kesempatan emas untuk bisa berbicara dengannya.

Kan, siapa tahu dia berjodoh denganku?

Dan pula, aku sudah menandatangani kontrak kerja dengan sebuah perusahaan di Banten.

Dua bulan lagi aku sudah akan bekerja di sebuah perusahaan elit.

Aku kan bisa langsung melamar dia beberapa bulan setelah aku bekerja di sana.

“Maaf ya, saya lancang tiba- tiba ngebayarin angkot tadi” Kataku sambil membalikkan tubuhku ke arahnya. Dan ikut berjalan dari arah perempatan ke arah buah batu.

“Ya kaget aja, tiba- tiba ada yang ngebayarin kaya gitu!” Kata dia dengan sedikit ketus.

“Sekali lagi maafin saya, ya!” Kataku lagi dengan nada memelas.

“Begini Teh, kayanya saya pernah ngeliat Teteh beberapa kali di mesjid Daarut Tauhiid, waktu Kajian Minggu” Aku mulai menjelaskan.

“Saya ikut program Santri Mingguan Teh, jadi tiap Sabtu dan Minggu rutin ”

“Wajah Teteh sangat sering saya lihat. Tadinya sih sempet bingung di mana. Tapi tenyata di DT” Aku terus menjelaskan walau tak ada satu patah kata pun keluar dari mulutnya.

“Oooo…jadi hanya karena itu kamu ngongkosin saya?” Tanyanya dengan wajah datar.

“Sejujurnya engga juga sih. Sebenernya saya pengen kenalan juga.” Jawabku sambil tertunduk malu dan tangan ini tak terkendali menggaruk- garuk kepalaku yang tidak gatal.

Dia hanya terdiam.

“O gitu ya?” Dia bertanya seolah memintaku melihat wajahnya.

“Ihh..wioss…! Sapertos ka saha wae…” (Ihh Biarin=Ngga apa apa sih, kaya sama siapa aja)  Jawabku dengan nada bercanda untuk memecah suasana yang masih kaku.

“O iya. Saya di SMK sebelah sekolah Teteh, kelas empat” Kataku mencoba memancing.

“Saya kelas tiga, jadi jangan nyebut Teteh dong!” Dia menjawab. Kali ini mulai terbit senyum di bibir merahnya.

“O iya, saya memang rutin ikut kajian Minggu pagi di Daarut Tauhiid. Kamu memang ngga salah liat” Dia akhirnya memberikan konfirmasinya.

“Tuh kan, saya ngga salah!” Aku menjawab dengan super antusias seperti pasukan perang yang baru saja mendapat ransum dari langit.

“Ya Udah deh kalau gitu mah, makasih ya tadi sudah ngongkosin!” Katanya sambil melemparkan senyumnya yang luar biasa manis, semanis tahi lalat yang menghiasi pipinya.

“Saya mah mau ke arah Ciwastra” Kata dia lagi, sambil bersiap- siap untuk menyeberang.

“Oh..saya mah naek yang ke arah Leuwipanjang” Aku menjawab perlahan.

“Semoga kita bisa ketemu di Kajian besok pagi!” Kataku sambil setengah berteriak, karena dia sudah mulai menyeberangi jalan yang siang itu tidak terlalu padat oleh angkot yang berlalu lalang.

“Insyaallah! Assalaamu’alaikum!” Dia menengok lagi sambil menjawab pertanyaanku.

“Wa’alaikumsalaam!” Aku menjawab lirih sambil berjalan ke arah tempat angkot yang menuju rumahku mangkal.

Eh, ternyata takdir Allah mempertemukan kami lagi di tempat yang sangat tepat.

Besoknya, hari Minggu, ketika baru saja aku selesai pelatihan, dan sedang melangkahkan kaki keluar dari ruangan aula, kulihat sebuah mobil sedan berwarna biru parkir tepat di depanku.

Sesosok tubuh berbalut gamis satin dan berjilbab sewarna, merah muda,  melangkah turun dari mobil itu.

Ketika membalikkan wajahnya, wajah yang sangat ku kenal. Lengkap dengan tahi lalat di tengah pipi kirinya.

“Si Cinta..!” Gumamku sambil bergegas mengayunkan kedua kakiku menuju ke tempat si Dia.

“Alhamdulillah, jangan- jangan dia memang jodohku nih!” Aku mulai kegeeran deh.

            “Assalaamu’alaikum!” Sapaku dari kejauhan, tidak ingin dia berlalu ke arah mesjid dulu.

“Wa’alaikumsalaam! Eh, ada di sini ya?” Jawabnya sambil menghentikan langkahnya.

“Iya, kan sudah bilang, jadwal latihannya dari kemarin malem” Jawabku sambil merapikan seragam latihan berwarna biru dongker yang sudah kupakai dari semalam.

Dia terlihat sangat berbeda dengan dibalut gamis seperti itu. Terlihat jauh lebih dewasa dibanding dia yang mengenakan seragam putih abu-abu.

Ketika kami berdua terikat di dalam keheningan, tiba- tiba suara berat seorang laki- laki memecahkan keheningan di dala pikiranku yang sedang terpesona.

“Neng, ayo cepetan atuh, kita ke mesjid, takut keburu mulai!” Dia mengajak lagi, tanpa sama sekali menghiraukan kehadiranku di situ.

Kuamati sejenak laki- laki yang memakai baju koko glossy berwarna hijau toska itu, pastinya sih mahal. Ganteng sih memang, mirip Sahrul Gunawan. Aku? Yaa dibilang jelek sih engga lah, tapi dibilang ganteng juga agak susah. Hehehe.

“Aa duluan deh, mau beli dulu pulsa. Nanti aa tunggu di depan supermarket ya!” Kata laki- laki itu tanpa memandang sedikit pun aku yang berdiri terpaku.

“O iya, ayo atuh!” Dia langsung mengiyakan ajakan laki- laki itu. Sambil berjalan menyusul laki- laki itu.

“Eh, sebentar. Itu siapa? Kakak kamu ya?” Tanyaku penasaran.

“Oh, bukan. Itu teh calon suami saya, insyaallah kami akan menikah dua bulan lagi, setelah aku diwisuda. Minta do’anya ya!” Ucapnya sambil melambaikan tangan dan berlalu sambil melempar senyumnya, yang kali ini kurasa tidak indah lagi.

Cinta seringkali berbuah derita.

Doha, 04052013

http://www.didaytea.com