KURANG DUA SENTI

Kurang Dua Senti

“Terkadang, kita harus mengesampingkan ego pribadi dan mimpi kita untuk memenuhi keinginan orang tua. Sangat mungkin bahwa itu adalah jalan dari Allah untuk masa depan kita yang lebih baik”  

 

Sebelum aku sekolah, aku ingat sekali beberapa kali ayah mengajakku ikut bekerja ke kantornya, Nurtanio, atau sekarang sudah berubah menjadi PT Dirgantara Indonesia. Di sana ayah selalu membopong tubuh kecilku untuk diajak berkeliling ke atas pesawat atau helikopter yang sedang ayahku kerjakan.

Tubuh mungilku itu terkadang didudukkan di kursi pilot dan ayahku menirukan bunyi mesin helikopter dan pesawat.

Sejak kecil aku sudah terbiasa naik pesawat dan helikopter, walau pun tidak pernah benar- benar terbang dan bahkan belum jadi. Ya setidaknya aku bisa sedikit menyombongkan diriku di depan teman- teman, bahwa aku pernah naek pesawat dan helikopter.

Sejak itu pula aku sangat kagum dengan profesi ayahku yang berkecimpung di dunia perpesawatan.

Di samping mimpi untuk bisa duduk di pesawat dan terbang ke luar negeri, akhirnya juga aku bermimpi agar bisa mempunyai pekerjaan seperti ayahku.

Sejak aku berseragam putih-merah juga akhirnya aku bermimpi untuk bisa sekolah di STM Penerbangan.

Ketika menjelang kulepas seragam kebesaran putih- biru SMPku, aku dan teman- teman sudah kasak- kusuk untuk memilih sekolah. Pilihannya ya tidak jauh- jauh antara SMA atau SMK. Seperti mimpi awalku tentu saja ku memilih akan bersekolah di STM Penerbangan. Alhamdulillah ketika itu NEMku lumayan tinggi, layak untuk mendaftar ke SMS atau SMK favorit mana pun di Bandung.

 

Kurang Dua Senti

Eh, entah kenapa, terjadi perubahan keinginan dan mimpi yang signifikan.

Entah apa yang terjadi kepada orang tuaku dan  dengan siapa mereka berbicara, tiba- tiba mereka memintaku untuk mendaftar ke SMA Taruna Nusantara.

Alasan mereka, menjadi tentara bisa menjadi jalan pintas menuju kesuksesan. Mereka ingin aku seperti pamanku yang sukses setelah menjadi perwira TNI Angkatan Laut. Di usianya yang masih muda, pamanku sudah bisa menunaikan ibadah haji dan sekarang dia sudah duduk manis bekerja di dalam kantor, sudah tidak berjibaku dan bersimbah pelu di lapangan, atau hanya sekedar menjadi pasukan penjaga perbatasan.

Dan, kalau tidak salah sih, di kala itu, di TVRI sedang ditayangkan semacam miniseri yang menceritakan kehidupan para siswa SMA Taruna Nusantara. Memang keren sih, karena sekolah itu memang salah satu sekolah yang terbaik di Indonesia.

Aku mati- matian menolak keinginan mereka. Aku tetap bersikukuh ingin melanjutkan sekolah ke STM Penerbangan, sekolah impianku sejak kecil.

Setelah melalui beberapa hari yang tegang karena kami terus bertukar argumen dan saling keukeuh dengan pendapat masing- masing.

Akhirnya dengan pertimbangan bahwa orang tua jauh lebih berpengalaman, dan argumenku masih sebatas mimpi, aku pun menyerah.

Dengan dokumen- dokumen yang ternyata sudah disiapkan oleh orang tuaku, aku pun melangkah dengan gontai diantar salah satu pamanku ke Koramil Bandung, temat pendaftaran resmi SMA Taruna Nusantara.

Ah, ternyata Allah punya rencana lain, ternyata waktu pendaftaran di bandung sudah habis. Dan juga ketika seleksi awal, tinggi badanku juga ternyata kurang dua senti. Sudah dipastikan bahwa aku tidak akan lulus, bahkan di syarat awal tinggi badan.

Tentunya aku sangat gembira karena tidak lolos seleksi awal. Pulang dari koramil, aku bukannya kecewa, malah jingrak- jingkrak dan cengar-cengir sepanjang perjalanan pulang.

Plan B

Ternyata, orang tuaku sudah punya plan B, yang tetap saja berbeda dengan mimpiku.

Diam- diam, mereka juga sudah menyiapkan dokumen- dokumen untuk mendaftarkanku ke sebuah SMK yang tidak pernah kudengar dan tidak pernah mampir sekali pun di dalam pikiranku.  Nama sekolah itu Sekolah Analis Kimia, keren kan?

Katanya sih, ini adalah turunan dari Sekolah Analis Kimia ITB, yang kata teman Ibuku sudah terkenal di dunia industri sebagai penyuplai tenaga kerja yang handal. Dan seratus persen lulusannya akan cepat bekerja, bahkan sebelum lulus sekolah.

Analis Kimia? Ah sudah terbayang nanti jika aku bekerja di laboratorium, memakai jas lab berwarna putih, memakai kaca mata, berambut gondrong a la Einstein dan sedang mencampur cairan- cairan yang berwarna- warni.

Sungguh di luar dugaanku.

Dan diam- diam pula mereka sudah mendaftarkanku ke sekolah itu.

Dengan NEMku yang lumayan tinggi, ternyata aku dengan lancar diterima di sekolah itu. Walaupun sekolah itu katanya sih memasang passing grade tertinggi kedua di Bandung, setelah STM Pembangunan. Dua sekolah ini memakai sistem pembobotan, ada faktor pengali yang berbeda untuk tiap mata pelajaran di dalam NEM.

Tadinya sih, aku sempat kesal, bahkan marah kepada orangtuaku, karena tindakan mereka yang diam-diam seperti itu. Mereka beralasan bahwa waktu pendaftaran sudah sangat mepet.

Mereka akhirnya meluluhkan hatiku dengan cerita bahwa mereka sudah berkonsultasi dengan banyak teman- teman mereka yang bekerja di industri, di sekolah- sekolah. Mereka kebanyakan merekomendasikan sekolah ini. Ibu berani menjamin, bahwa masa depan ku akan lebih cerah jika mau bersekolah di situ.

Akhirnya kukubur mimpiku dalam- dalam untuk menjadi “montir” pesawat terbang seperti ayahku.

 

Ridha Allah=Ridha Ortu

Terkadang, kita harus mengesampingkan ego pribadi dan mimpi kita untuk memenuhi keinginan orang tua. Sangat mungkin bahwa itu adalah jalan dari Allah untuk masa depan kita yang lebih baik. Bukankah ridha Allah ada bersama ridha orang tua?

Hal tersebut terbukti pada diriku.

Walau pun sempat tinggal kelas dan lima tahun bersekolah di sekolah itu, tapi Alhamdulillah, pada akhirnya aku yang sekarang, sudah mencapai kondisi yang bahkan jauh lebih baik dari harapanku ketika aku masih bermimpi untuk bersekolah di STM Penerbangan.

Utamakan ridha orang tua kita, karena ridha mereka adalah ridho Allah!

 

RIIDHO ORTU