Tragedi Sate Padang

Ketika cuaca panas, makanan pedas selalu menjadi favoritku.

Selain rendang, sate padang juga salah satu yang jadi andalan untuk disantap, demi menetralisir dan “menyegarkan”, diri, (padahal yang ada malah keringat mengucur deras, tapi puass..:))

Pada suatu hari, tiba-tiba rasa rindu sate Padang datang tak diundang dan tak diduga. Beberapa kali sempat sih, kutemukan sate Padang a la Qatar, tapi ya begitulah, paling mantap kualitasnya hanya KW4.. 😀 Sama sekali jauh dari Sate Padang Pariaman di depan kompleks Pondok Cilegon Indah, atau di depan Kimia Farma Cilegon.

Berhubung (ternyata) tidak ada yang menjual sate Padang yang enak, minimal KW1 lah..akhirnya kuputuskan bersama istriku untuk berusaha membuatnya sendiri.

Mas bro Google menjadi sumber utama resep pembuatan si Sate Padang ini. Proses memasak pun sangat mendebarka, karena  mungkin belum pernah terjadi sebelumnya, ada orang Sunda yang membuat Sate Padang.

Sebetulnya ada sih, temen SMA adikku di Bandung. Ada Rumah Makan Padang, makanannya asli Masakan Padang, tapi alangkah kagetnya ketika kalimat yang terucap dari (kelihatannya) sang Pemilik: “Mangga linggih Kang, bade calik di palih mana?”(silahkan kang, mau duduk di mana?) Jiaahh..Kunaha Rumah Makan Padang able to speak Sundanese ini teh???

Singhoreng, eh, ternyata, si Bapa emang asli Bandung, orang Kiara Condong. Tapi beliau menikah dengan orang Padang Asli.. 😀 Ternyata nama anaknya aja Neneng….hehehe…

Kembali ke Sate Padang a la Diday dan istri…

Setelah memasukkan bahan bahan, dan mengikuti SOP yang didapat dari mas bro Google, akhirnya tersajilah si Sate Padang di meja makan kami.

Sejujurnya, agak deg-degan juga sih, karena pas masih panas sih rasanya (agak sedikit enak).

Gambar di atas hanyalah ilustrasi, karena sate Padang yang kami buat sih ngga gitu- gitu amat, warnanya agak sedikit kehijauan (kehijauan???). Dari warnanya saja, sempat terbersit firasat buruk tentang Sate Padang itu.

“Jangan- jangan ngga enak nih?” Kataku kepada istri. 🙂

Sebelum kusuapkan satu tusuk sate yang sudah dilumuri oleh kuah coklat (agak kehijauan) yang terbayang diotakku adalah pedas dan lembutnya bumbu sate padang di depan PCI (Pondok Cilegon Indah). Kuamati sebentar sih. Sepertinya ada sih tidak ada yang salah dengan sate Padang ini. Daging sudah diiris tipis- tipis sesuai ukuran yang diberi tahu oleh Mas Bro Google, dan ditusuk empat-empat. Dan sudah kami siramkan bumbu yang masih panas di atasnya. So far,, seharusnya tidak ada yang salah dong ?

Masalah mungkin hanya di warna bumbunya yang agak kehijauan.. 😀

Dan…

Ketika gigitan pertama mampir di gigiku, dan beberapa tetes bumbu itu mengalir lambat ke atas lidah depanku, sungguh kaget tak terkira diriku, apalag istriku, karena kami menyuapkannya hampir bersamaan.

Mulutku langsung ternganga, karena lidahku langsung terasa pahit, dan kerongkonganku langsung menutup, menolak untuk dimasuki oleh benda asing yang rasanya..hmmm..ah, beneran aku tidak tega menyebutkannya…. 😀

Ternyata proyek sate Padang a la Diday dan istri gagal sodara -sodara…!

Pahit.

Ya! Ternyata rasa bumbunya pahit, sepahit batrawali, dan ada campuran rasa lain, enek, tidak puguh(tidak jelas) dan…ya begitulah pokoknya mah ngga uenak…boro- boro maknyoss..yang ada malah jadi mual.

Walhasil, 3 hari sesudah tragedi itu, kami sekeluarga ngga bisa makan di rumah. Karena kenangan buruk rasa bumbu Sate Padang yang luar biasa itu selalu menghantui lidah dan perasaan serta pikiran kami.

Orang Sunda ternyata memang ngga cocok masak makanan Padang….

Di mana lagi ya harus kucari Sate Padang original, atau minimal KW1 di Qatar ini?

Didaytea

Yang tiba-tiba ingin Sate Padang.. 😦

Clash of Iklim-itation

Sejak aku bisa mengingat kehidupan, kira-kira umur 3 tahun, dan sampai enam belas tahun setelahnya, aku selalu hidup di tengah sejuknya udara dingin kota Bandung. Selama sembilanbelas tahun itu pula aku tidak pernah mengenal istilah kepanasan, karena sepanas apa pun di Bandung, angin sepoi-sepoi yang dingin akan selalu mengusap lembut kulit ku dengan kesejukannya, menghilangkan teriknya cahaya matahari yang menimpa permukaan kulitku.

                Alangkah kagetnya aku ketika menginjakkan kaki pertama kali di Cilegon. Kota ini hampir ngga ada pisan sejuk-sejuknya, sepanjang hari selalu panas dan lembab.

                Jika di Bandung, sepulang sekolah dan kita tiba di depan rumah , selalu ada momen khusus. Momen paling berkesan dan melegakan, ketika membuka pintu, karena langsung terasa kesejukan yang luar biasa yang menghambur dari dalam rumah, layaknya AC 1 pk, menghembus lembut ke muka kita menghilangkan keletihan setelah berada di sekolah seharian (padahal mah sekolahnya cuma sampe jam empat ,maen bola dua jam, plus nunggu bis DAMRI setengah jam, dan perjalanan yang sangat dramatis di dalam bis DAMRI kira-kira satu jam..hehehe).

                Di Bandung, sepanas apapun air akan tetap selalu dingin. Setiap sehabis mandi, kita akan mendapatkan kesegaran luar biasa, seletih apa pun badan kita, akan langsung terasa bersih, segar bugar, sehat wal afiat, dan joss lagi.

                Di Cilegon, setelah seharian dimarahi dan dilengkapi dibentak- bentak, dan tak lupa sedikit bonus “hujan local”,  sama bos yang orang Jepang, sangat bertolak belakang dengan di Bandung. Hati yang sudah panas, badan yang sudah letih, seketika langsung bertambah panas. KArena ketika membuka pintu rumah, wuusssss, udara panas langsung menghembus dari dalam rumah kontrakanku itu. Hampir tidak jauh berbeda panasnya ketika kita membuka rice cooker. Maklum, dengan posisi teknisi junior, gajiku belum mampu untuk membeli ac dan membayar tagihan listrik yang psti berlipat- lipat jika ada ac. :D.

                Itu baru membuka pintu saja. Believe it or not, ketika mandi, ternyata airnya hangat..Sehabis mandi bukannya seger, tapi malahmakin gerah. Hanya daki dan keringat saja bisa hilangkan dari tubuh kita, selebihnya, hanya kegerahan.  Kipas angin sedikit menolong sih, tapi kalau lupa dimatiin, alhasil dijamin besoknya aku langsung masuk angin dan batuk pilek. Lengkap deh pokoknya mah! Panasnya poll..

                Ada sih beberapa hari dalam setahun di mana aku bisa merasakan kedinginan seperti di Bandung, kira-kira setelah tengah malam dan sebelum subuh lah, itu pun di luar ruangan. Di dalam ruangan mah, selama tidak ada ac tetep..gerahhh..!

                Selama hampir tujuh tahun di Cilegon, Alhamdulillah aku bisa beradaptasi dengan semua hal, pekerjaan baru, makanan, budaya Banten, bahasa Banten, kultur kerja orang Jepang, dan hampir semua hal. Hanya satu hal yang masih belum bisa kutanggulangi, bahkan sampai aku meninggalkan kota itu, yaitu cuaca panas dan kelembaban tinggi sepanjang tahun.

                Setelah pindah ke Qatar pun, tidak pernah kusangka, tak pernah kuduga, dan tak pernah kubayangkan sebelumnya kalau ternyata aku akan menghadapi panas dan lembab yang luar biasa. Ya iya lah, secara, aku tiba di Doha bulan Januari. Di sini masih musim dingin. Perpaduan antara dinginnya Rancaupas atau Ciwidey, dengan keringnya udara….aduhhh, di mana ya? (perasaan belum pernah mengalami udara kering kalau di Indonesia mah. :D).

Ternyata kita salah kostum! Kita malah siap-siap untuk musim panas, jadinya ya ngga bawa jaket lah. Di pikiran kita Negara Timur Tengah ya pasti panas. Dan pula ngga ada seorang pun yang ngasih tau kalau di Arab juga ada musim dingin..(ini mah ngeles). Padahal mah memang sedikit kurang inpo, karena sejak menginjakkan kaki di pesawat yang menari- nari di pikiran, dan menggantung di hati, serta terpencet-pencet di kalkulator cuma “gaji Qatar”, “gaji Qatar”, “gaji Qatar”..Dasar cowo matre!

 

Kembali ke pembahasan musim panas, saya tutup dengan dua kalimat untuk menggambarkan kondisi panas di dua kota yang pernah saya tempati selama beberapa tahun, dengan standar kondisi iklim di kota Bandung.

Kalau ingin tahu iklim Cilegon seperti apa, bayangkan saja tengah hari di Bandung, sodara-sodara duduk di teras, sambil ngakeul nasi (mengaduk-ngaduk nasi yang baru diangkat dari rice cooker atau penanak nasi).

Yang paling dramatis jelas di Qatar dong!

Jika ada yang nanya seperti apa Qatar di musim panas, jawab saja begini:

“Bayangkan diri kamu, tengah hari bolong, di terminal Leuwipanjang, berdiri di belakang knalpot bis Damri yang baru nyampe dari Ledeng atau Jatinangor, sambil meniupkan hair dryer yang menyala ke muka kamu, dilengkapi dengan pasir yang berterbangan, terus, jika kamu mandi, bayangkan saja jika kamu mandi dengan  air panas satu banding satu dengan air dingin!” Mantab kan? 😀

Tapi insyaallah, sepanas apa pun Qatar di musim panas, kita harus selalu tersenyum selebar mungkin… J HMMMMMM>>!

 Dan ingatlah angka- angka di slip gaji sesering mungkin…
 

Didaytea

Yang sangat bersyukur sekarang mah sudah bisa masang AC di rumah.. 😀

 

Rendang KW1 vs Rendang Original di Qatar

               Ketika masih sekolah di Bandung dulu, boro-boro beli nasi padang, tau aja ngga. Paling banter kalau maen ke anak kos-kosan di cidurian ya warteg Bu Naryo, yang “apapun bahannya, bumbunya selalu sama”  itu.. 😀

Sempet ngedenger sih, tapi kesan yang kudapat, nasi padang itu makanan muahal, harga satu porsinya bisa dua kali lipat makan di warteg bu Naryo.

Sampai akhirnya kukenal nasi padang, atau tepatnya masakan Padang, di Cilegon, tempatku membanting-banting tulang dan memeras-meras keringat selama hampir tujuh tahun. Masakan Padang tiba-tiba menjadi akrab dengan lidahku. Ya iya dong, secara, ibu kosku orang Padang. Tiada hari tanpa sambel balado. Telor rebus digoreng, toppingnya sambel balado. Goreng teri ikan asin, disiram sambal balado, ikan goreng jelas lah, langsung di selimuti oleh….Sambal Balado!

Tahun pertama, aku menjadi saksi dari sebuah proses memasak yang “menurutku” sangat dramatis dan spektakuler dari masakan Padang yang paling terkenal se alam dunya, Rendang.

Bagaimana tidak dramatis, perjalanan bahan- bahan masakan dari berbagai daerah, dari Dumai hingga Pasar Kapling Cilegon sampai menjadi sekilo rendang bisa memakan waktu hingga delapan jam. Ya! Delapan Jam sodara-sodara!

Dimulai dari membeli daging di pasar, sejak setelah subuh Ibu kosku sudah beranjak dari tempat tidurnya untuk memilih daging yang terbaik dan segar tentunya.

Jam tujuh pagi, sang Ibu kos sudah hang out di dapur, di depan kompor minyak tanah tua yang harus dinyalakan dengan sapu lidi yang dibakar korek api itu.

Tak bisa kugambarkan bagaimana dramatisnya proses itu karena diawali dengan mengulek, atau merendos semua bumbu menjadi satu dan memasukkan daging.

Dan bayangkan saja,Ibu kos harus duduk di atas jojodok, atau dingklik di depan kompor minyak tanah selama hampir enam jam. Apinya harus sekecil mungkin dan perjodohan antara daging dan bumbu rendang itu pun harus diaduk terus menerus, tanpa boleh berhenti sedetik pun.

Setelah hampir setengah hari proses ini berlangsung, rendang pun segera terhidang di atas meja makan. Aneh memang, warnanya coklat hampir kehitaman, berbeda dengan rendang di warung Padang yang berwarna coklat muda dan bumbunya masih berupa saus kental itu.

Dan akhirnya rendang yang pembuatannya super dramatis ini segera berpindah ke dalam perut penghuni rumah itu, licin tandas, tidak lebih dari setengah jam saja. Karena rasanya….HMMM…Maknyosss, plokncuy, towew towew, luar biasa, eumeezing, dan seterusnya dan sebagainya. Sungguh lezat luar biasa! Itulah rendang terenak yang pernah kurasakan seumur hidupku.

“Itu rendang asli kang, kalau rendang yang di warung-warung padang itu bikinnya hanya sebentar!” Kata Ibu kosku dengan wajah sumringah penuh kepuasan melihat aku dan teman kosku masih terkejut-kejut dan terbelalak kaget setelah menghabiskan rendangnya sampai ke tetes terakhir. 😀

Setelah aku berpisah dengan ibu kos, masakan Padang pun masih menjadi andalan. Muaro Talang dan Minang Jaya terus menjadi andalanku. Ada alasan lain sih sebenarnya, rumah makan Padang, entah kenapa, porsi bungkusnya lebih banyak, bisa untuk dua kali makan. Untuk anak kos yang nyambi kuliah sepertiku sih, itu bisa menghemat biaya makan. J

Setelah hampir tujuh tahun, aku pun terbang ke tengah gurun, di sebuah negara kecil nan kaya bernama Qatar, tetap dengan kegiatan yang sama, membanting-banting tulang dan memeras-meras keringat..hehehe..

Masakan padang hanya ada dua, Selera Indonesia di Wakrah dan Minang Indonesian Restaurant di Doha.

Untuk masalah rasa sih, ya, tidak begitu jauh lah dengan Muaro Talang dan Minang Jaya. Hanya harganya saja agak berbeda sedikit(sedikit jauh lebih mahal maksudnya, hehehe), kalau di Indonesia, enam ribu bisa dapet nasi+rendang, di Qatar, menu yang sama bisa berharga lima belas Riyal. Kalau di istilah parfum, rendang di Qatar mah termasuk golongan KW1..hehehe..

Hampir tujuh bulan aku tidak menemui rendang asli Padang di Doha ini. Pernah sih, dapet kiriman dari temenku yang orang Padang, tapi ternyata bahan bakunya bukan daging, tapi Jengkol.. 😀

Ini adalah masakan dari Jengkol yang terenak sedunia yang pernah kurasakan. Tekstur dan warnanya persis seperti “Rendang Original”, hanya berbeda rasa dan tentu saja “Aroma” Jengkol yang luar bisa khas. Ngga tega lah, tadinya mau diketik super mega bau luar biasa, tapi ngga jadi, takut ada yang terbayang-bayang sampai mimpi. 😀

O iya, ada temen yang ngasih bekal untuk umroh kemaren, alhamdulilah habis dalam sehari. Kurang puas sih, karena suasana makan yang agak kurang nyaman, karena di hotel ngga ada Microwave.

Hari ini kuputuskan untuk pergi ke Minang Indonesian Restaurant. Aku tahu resikonya susah parkir. Sangat susah malah, lebih susah mencari parkir di daerah Restoran Minang dari pada di Citi Center.

Selama mencari parkir, datanglah lelah, lesu, letoy, lungse, leuleus, lemah, lunglay, letoy, dan sedikit lebay, karena tadi matahari bersinar sangat terik, sehingga cahayanya serasa obor yang langsung memanggang kepalaku yang baru saja bergabung dengan the Botaks setelah umroh.

Akhirnya, dengan jurus pocket parking dari Karwa, kudapatkan parkir yang luar biasa sempit di dekat masjid di daerah Minang Restaurant.

Tapi…semua el yang kusebutkan tadi langsung hilang lenyap tak berbekas ketika suapan pertama rendang telah bersatu dengan nasi, daun singkong dan sambel hijo di atas sendok makanku, mampir di lidahku, dan langsung meluncur ke dalam kerongkonganku…Subhanalloh… Maknyosss, plokncuy, towew towew, luar biasa, eumeezing, dan seterusnya dan sebagainya. Sungguh lezat luar biasa! Itulah rendang (hampir) terenak yang pernah kurasakan seumur hidupku. (ini kalimat ulangan dari paragraf awal tadi..:D). Diriku yang ceking ini sampai habis dua porsi! Kata orang Sunda sih, termasuk warga RW06, alias rewog (rakus-red).

Di Qatar, selain orang Padang asli dan bisa memasak “Rendang Original” hanya di Minang Indonesian Restaurant. Walaupun rendangnya masih KW 1, tapi that is the best available restaurant whose rendang included on their menu.

Didaytea

Yang selalu ingin nambah kalau makan di Rumah Makan Padang… 😀