Bahasa Gado-gado di Qatar

Dua Edisi

Bahasa Gado-gado di Qatar

Oleh Diday Tea

Apa yang terbayang ketika anda mendengar kalimat ini: “Aa dimakanin pizzanya semua tadi malem”.

Yang terbayang pertama kali tentunya sebuah makanan unik dari negerinya pak Paolo Maldini, om Filippo Inzaghi, dan mas Marco Veratti: Pizza. Kenapa unik? Karena Pizza itu bentuknya bundar (kalau bola itu bulat, jangan sampai tertukar ya!”), disajikan di dalam kardus berbentuk kotak, eh dimakannya sebagai segitiga. Hehehe. Makanan yang identitas bentuknya membingungkan.

Selain dari pizza, yang akan terbayang ketika membaca struktur kalimat di atas, adalah pizza itu yang sedang memakan si “Aa”, bukan sebaliknya kan?

Apakah itu nyata? Ada orang yang berbahasa Indonesia dengan struktur seperti itu?

Ada! Itu adalah kurang lebih bahasa sehari-hari yang kami, eh maksudnya yang anak-anak pakai di rumah. Yang ada di kepala si “Aa” ini adalah struktur kalimat bahasa Inggris: “I have eaten all the pizza last night”. Tapi karena dia menerjemahkan secara harfiah, kalimat tersebut menjadi seperti di paragraf pertama tadi.

Maksud sebenarnya dia itu adalah bahwa tadi malam dia sudah memakan semua pizza.

“Pih, piih, cereal anina dimakanin sama Aa semua. What should I eat?”
“Mih, Pih Teteh boleh nitip something ngak kalo ke supermarket? I need a lot!”
“Piihh, Teteh ambilin books Anina. I dont have anymore!”

Ini contoh percakapan tulis dari chat anak:

“Teteh boleh ngak beli topi kucing di (salah satu nama marketplace di Indonesia)?”
“Masutnya gimana?”

Ngak itu sebenarnya bahasa tulis mereka dari kata “nggak”.
Masut itu sebenarnya adalah “maksud”.

“Teteh udah calculasi totalnya juga”.
“Teteh boleh hang out ice skating ngak?”
“Teteh bikin animasi about an eraser, turus (maksudnya “terus”) nanti teteh zoomin until it seen” Ini maksudnya dia mau membuat gambar yang kalau diperbesar baru kelihatan gambar aslinya.

Begitulah perjuangan kami setiap hari ketika berinteraksi menggunakan bahasa Gado-gado dengan anak-anak. Tidak hanya gado-gado secara bahasa, tapi juga gado-gado secara struktural.

Tahun depan tidak terasa saya akan lima belas tahun merantau di negeri orang. Dari saya masih bujangan sampai anak yang paling besar sudah bujangan kelas 10, yang kedua kelas 7 dan yang bungsu sudah menginjak kelas 2 SD.

Semakin kesini, pemakaian bahasa Indonesia di keluarga kami terus berkurang. Anak-anak yang semakin tinggi kelasnya, bahasa Inggrisnya semakin bagus. Sudah lebih fasih dan lebih baik dari saya dan istri yang masih ada pada level yang sama dengan ketika kami baru tiba di Qatar.

Di antara mereka bertiga pun, porsi bahasa Inggris jauh lebih banyak dibanding bahasa Indonesia. Saya dan istri malah lebih sering berinteraksi dengan bahasa Sunda.

Sering kali saya bersama istri tertawa terkekeh-kekeh terbahak-bahak dan kadang sampai terguling-guling ketika membaca atau mendengar bahasa Indonesia yang aneh keluar dari mulut anak-anak.

Yang repot dan lebih sering malah jadi lucu kalau ada tingkah mereka yang membuat kami marah besar. Ibunya atau saya sudah nyerocos panjang lebar kali tinggi, keliling dan sampai diameter, tapi setelah ditanya apakah mereka mengerti kemarahan kami, jawabannya hanya geleng kepala dengan polos seolah tak bersalah.

Akhirnya omelan dan cerocosan tadi kami ulang dengan bahasa gado-gado lagi sampai mereka mengerti dan tidak hanya sekadar geleng-geleng kepala lagi.

Lalu apa yang saya dan istri lakukan untuk mencegah semakin mengecilnya porsi percakapan di dalam bahasa Indonesia di dalam rumah kami?

Jawabannya adalah dengan literasi.

Sudah setahun ini pengeluaran kami untuk membeli buku bertambah lumayan banyak. Selain harga bukunya, kami juga harus mengeluarkan biaya untuk pengiriman dari Indonesia ke Qatar.

Tiga kepingan utama agar mereka membaca buku berbahasa Indonesia adalah buku berbahasa Indonesia, kamus Indonesia-Inggris (buku fisik, bukan aplikasi penerjemah), dan buku aslinya.

Buku asli bagaimana maksudnya?

Ya, buku yang pertama kali kami perkenalkan adalah buku-buku terjemahan best seller. Jadi kami belikan buku aslinya dalam bahasa Inggris, tapi kami juga belikan buku terjemahan bahasa Indonesianya. Jadi mereka bisa langsung membandingkan dua buku yang saling menerjemahkan itu.

Lalu kami perkenalkan mereka juga dengan kebalikannya. Buku best seller bahasa Indonesia yang ada terjemahan bahasa Inggrisnya. Negeri 5 Menara dan Land of Five Towers adalah contoh paling baik dan paling mudah dipahami.

Alhamdulillah setelah beberapa buku yang kami perkenalkan dari berbagai genre, si sulung sudah mulai tidak bertanya lagi. Setiap selesai membaca buku, saya selalu menagih semacam rangkuman dari buku tersebut dalam satu kalimat, untuk memeriksa apakah dia minimal bisa memahami pesan besar, atau cerita besar dari sebuah novel yang dia baca.

Anak kedua masih kesulitan mencerna bahasa Indonesia di dalam buku atau novel yang saya berikan. Dia masih berjuang membuka kamus atau membuka aplikasi terjemahan.

Anak yang bungsu alhamdulillah lebih mudah, karena lebih banyak berinteraksi dan masih dalam tahap awal belajar bahasa, jadi dia lebih mudah menyerap bahasa Indonesia. Dia sudah mulai bisa membedakan cara membaca  buku bahasa Inggris dan Indonesia.

Lalu sejauh ini apakah metode ini berhasil?

Metode seperti ini sangat repot dan mahal tentunya, tapi kami anggap ini sebagai “ cost of learning” dan investasi.

Kalau indikasinya adalah tingkat pemahaman terhadap bacaan berbahasa Indonesia tentunya iya, karena mereka sudah bisa memahami (ini perkiraan kasar saya saja), sekitar 60-70% bahasa Indonesia di dalam buku.

Tapi ada satu tanda bahwa bahasa Indonesia mereka sudah berkembang.

Tanda utamanya adalah ketika mereka bisa berbincang hangat dengan kakek neneknya, atau bibi dan pamannya, atau sepupu-sepupu mereka tanpa harus menengok berulang kali ke arah kami sambil berbisik: “ Mih, Pih, what is the translation of cape banget in English?”

Doha, 9 Agustus 2022