Biar Cepat Asal Selamat Bagian 2: Naik Kelas Euy!

 

 

Jumlah kegagalan yang kita alami tidak memiliki arti apa-apa, tapi berapa kali kita bisa bangkit setelah mengalami kegagalan-kegagalan tersebut, itu yang luar biasa!”

“Heavy Duty School”

Pada dasarnya sekolahku itu memang “heavy duty school”. Kelas 1 adalah kelas yang terberat untuk semua siswa baru. Dari persaingan dan beban belajar, jauh lebih ketat dari sekolah biasa.

Bayangkan saja, ketika itu satu angkatan hanya terdiri dari dua kelas. Dan dalam satu kelas hanya terdiri dari tiga puluh lima siswa saja. Di sekolah biasa satu angkatan bisa ada Sembilan, bahkan sepuluh kelas. Dan satu kelas bisa terdiri dari minimal lima puluh orang siswa.

Dari sisi persaingan, jelas, hampir semua siswa adalah juara satu ketika di SMP-nya.

Karena sekolahku itu adalah sekolah favorit, kebanyakan siswanya pun berasal dari luar kota Bandung. Siswanya ada yang berasal dari Pulau Bangka sampai ke Tuban.

Beban belajar di sekolah ini aku rasa hampir dua kali lipat lebih berat dari SMK/SMU biasa.

Bagaimana tidak, dalam enam  hari belajar, hanya ada satu hari “tenang”, di mana kami belajar di sekolah hanya sampai jam dua belas siang. Lima hari sisanya, paling cepat kami baru bisa keluar dari Laboratorium atau kelas jam empat sore.

Dan masih ada lagi, waktu setelah sekolah pun ternyata masih menjadi beban belajar untuk para siswanya. Karena harus membuat laporan atau jurnal, yang merupakan syarat untuk bisa menghadiri kelas atau praktikum di keesokan harinya. Lupa atau salah membuat jurnal? Siap-siap saja sang guru atau asisten praktek membuat anda hanya bisa melongo di luar, karena siswa tidak boleh masuk ke dalam ruangan.

“Tidak naik kelas”, hal yang hanya terjadi sebagai kejadian yang langka dan luar biasa di sekolah lain, di sekolah ini adalah hal yang lumrah saja. Tidak ada yang istimewa.

Jangan berharap jumlah siswa yang mendaftar, akan lulus pada waktu yang bersamaan. Karena pasti akan selalu ada yang “menghabiskan waktu untuk belajar” lebih lama dibanding teman- temannya yang lain.

Tahun Ke- Dua Ternyata Tetap Sulit

Hari pertamaku sebagai siswa “senior” di kelas satu awalnya sangat menakutkan bagiku. Sudah terbayang  pandangan  teman-teman sekelasku yang akan mencemooh, menghina karena aku tidak naik kelas. Terbayang pandangan keheranan para siswa baru, karena ada siswa “asing” yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan yang sama dengan mereka.

Ternyata, aku tidak sendirian. Ada siswa lain yang bernasib sama denganku. Dari dua kelas, ada empat orang yang tidak naik kelas.

Pertemuan pertama di kelas, aku diperkenalkan oleh wali kelas sebagai siswa yang “masih betah” belajar dengan beliau. Dan, Alhamdulillah, suasana yang tadinya tegang, karena para siswa baru pun masih keheranan dan terkaget-kaget, karena ada siswa “asing” di antara mereka.

Walaupun aku menyandang status sebagai siswa “senior”, tenyata tidak menjadi jaminan aku bakal menjadi yang terbaik. Seperti yang aku bilang di awal tulisan, sekolah ini mengumpulkan siswa-siswa terbaik di SMP se- Jawa Barat, bahkan dari luar propinsi.

Aku hanya menonjol di beberapa mata pelajaran yang betul-betul memerlukan “pengalaman”, seperti praktikum. Aku malah bisa mengajari teman-temanku trik trik untuk mengatur waktu dan pekerjaan ketika praktikum berlangsung.

Jadwal praktikum kami sangat padat, dan kami harus menyelesaikan banyak topik yang menjadi target untuk memenuhi batas nilai minimal kelulusan mata pelajaran yang bersangkutan.

Di mata pelajaran lain, aku masih berada di level yang tidak jauh berbeda dengan mereka.

Aku masih mengalami kesulitan di tahun ke-duaku di kelas satu. Ternyata tidak semudah seprti yang aku bayangkan sebelumnya.

Kelemahanku yang sangat menonjol adalah di bidang Matematika dan Fisika. Dua mata pelajaran ini yang membuat aku tidak naik kelas. Aku hanya memiliki dua nilai merah di raportku. Sialnya, dua mata pelajaran ini adalah mata pelajaran inti yang merupakan syarat wajib untuk seorang siswa agar bisa naik kelas.

Memang sih, sejak SD dan SMP, aku kurang menyukai dua mata pelajaran ini. Tapi Alhamdulillah, aku bisa mendapatkan nilai yang lumayan baik.

Ternyata,  Matematika di sekolahku ini memang lebih sulit dari Matematika yang diajarkan di sekolah biasa. Kakak- kakak kelasku bahkan bilang, kalau soal dari guru Matematika di sini jauh lebih sulit dibandingkan soal EBTANAS sekalipun!

Dan benar saja, setelah aku putar balik ingatanku, ternyata ada perbedaan kurikulum mata pelajaran di sekolahku itu dengan kurikulum sekolah biasa.

Perbedaan yang paling terasa sih, guruku itu tidak pernah mewajibkan siswanya untuk membeli buku praktek tertentu. Dia hanya menganjurkan beberapa buku untuk latihan saja. Untuk mata pelajaran “Kimia- kimian”, kadang kami harus langsung mencari referensinya ke perpustakaan ITB, atau perpustakaan Puslitbang Teknologi Mineral, jika guru kami menugaskan sesuatu.

Tetapi pada akhirnya, tetap saja, soal-soal yang dia berikan selalu lebih sulit dari soal latihan di buku-buku yang dia anjurkan itu.

Pokoknya, kami serasa mahasiswa yang berseragam putih-abuabu deh!

Matematika tetap menjadi ganjalan utama bagiku di tahun ke dua ini.

Dua Catur Wulan Yang Paling Mendebarkan

Mungkin karena aku sudah merasa takut duluan, dan memang aku sangat lemah di bidang matematika, dua catur wulan pertama aku masih mendapat nilai merah di raportku.

Catur Wulan pertama, ternyata tetap saja ya, Matematika dan Fisika masih menjadi batu sandungan terbesarku. Aku masih saja mendapat nilai lima di buku raport untuk ke-dua mata pelajaran itu. Tak bisa kugambarkan bagaimana takutnya aku ketika itu, ketika mengetahui bahwa aku terancam tinggal kelas dua tahun berturut-turut karena tidak bisa menguasai dua pelajaran itu. Aku juga tidak berani membayangkan bagaimana sedihnya orang tuaku. Dan aku mungkin tidak akan pernah bisa memaafkan diriku yang sudah memutuskan untuk mengambil kesempatan ke-dua dengan bertahan di sekolah ini. Aku pasti akan menyesal, karena memilih untuk bertahan ketimbang pindah saja ke sekolah yang lebih mudah, yang kelulusan dan naik kelas bukanlah sesuatu yang istimewa.

Agak aneh memang, seingatku, hanya dua pelajaran itu yang terasa sangat sulit dan membebani pikiranku. Pelajaran yang lain, walaupun sesulit apa pun, rasa-rasanya masih bisa kutangani, dan aku bisa mendapat nilai yang lumayan, tidak sampai harus berakhir dengan warna merah di buku raportku.

Catur Wulan ke-dua, tak kuduga dan tak kusangka, ternyata aku mendapat nilai yang lumayan, enam untuk Matematika, dan tujuh untuk Fisika. Buatku, dua nilai itu adalah suatu keajaiban terbesar yang kualami pada saat itu!

Kesempatan Ke-dua Akhirnya Berhasil Kulalui

Syarat untuk naik kelas: 1. Tidak boleh mendapat nilai Merah (di bawah 6) lebih dari empat mata pelajaran. 2. Tidak boleh mendapat nilai 4 di mata pelajaran apa pun. 3. Siswa tidak layak naik kelas jika ada satu saja nilai 4, walaupun tidak ada mata pelajaran lainnya yang nilainya Merah.

Di Catur Wulan  ke tiga, aku berusaha lebih keras untuk bisa menaklukkan si “Matematika” ini. Karena materi yang diberikan sang Guru kali ini jauh lebih sulit. Aku sering menginap di kost-kostan teman- teman sekelasku menjelang ujian mingguan. Alhamdulillah, materi yang luar biasa sulit itu sedikit bisa kutangani, setidaknya ada tempat buatku untuk bertanya.

Ujian Catur Wulan terakhir pun akhirnya tiba. Ujian yang akan menentukan apakah aku akan bisa melewati kesempatan ke-dua ini, atau aku akan gagal lagi untuk kedua kalinya, dan mau tidak mau harus angkat kaki dari sekolah itu.

Masa ujian ketika itu, adalah ujian terberat selama aku bersekolah. Aku harus menanggung beban yang dua kali lebih berat. Beban ujian itu sendiri, dan beban kenyataan bahwa aku masih berpeluang untuk tinggal kelas lagi.

Akhirnya, ketika hari pembagian raport tiba, sang wali kelas memanggil namaku: “Dedy Mulyadi!”

Bangku beliau yang hanya berjarak kurang dari sepuluh meter tiba-tiba terasa sangat jauh. Setiap langkahku terasa sangat berat, seperti dibebani oleh besi puluhan kilogram. Detak jantungku pun berdegup kencang, bertalu-talu seperti musik kopi dangdut hard rock.

Otakku terus menerus membuat skenario kehidupan, membayangkan kemungkinan- kemungkinan terburuk, membuat rencana dan langkah yang akan kuambil setelah kulihat hasil belajarku setelah setahun berlalu.

“Silahkan duduk!” Suara lembut tapi tegas beliau tiba-tiba membuyarkan lamunanku.

“Iya Pak!” Kusimpan tubuhku dengan perlahan di atas kursi yang di kala itu, entah kenapa terasa panas.

“Masih betah di kelas satu?” Tanya guruku itu dengan mimik serius.

“Pastinya nggadong Pak!” Jawabku dengan tersenyum kecut, dan mata langsung memandang kosong ke arah depan, karena “film” yang tadi berputar di pikiranku tiba-tiba muncul lagi.

“Bagus, berarti kamu setahun ini belajar dengan serius.” Jawab guruku, kali ini wajahnya agak sedikit berubah.

“Selamat Ded, kamu kali ini naik kelas!” Kata beliau sambil berdiri dan menyodorkan kedua tangannya; yang kanan mengajak untuk bersalaman, dan yang kiri memegang buku raport biruku dilengkapi seyuman lebarnya, yang ketika itu terasa lebih manis dari biasanya.

“Alhamdulillah..!” Hanya kata itu yang bisa kuucapkan ketika itu.

Kujabat tangan guruku itu dengan wajah sumringah, dan kuambil buku raportku, sambil menahan tubuhku yang seperti ingin menghentak-hentakkan diri, untuk terbang dan meloncat. Ingin rasanya aku berteriak sekencang-kencangnya karena saking gembiranya diriku saat itu.

Tapi tetap saja, akhirnya aku tidak bisa menahan diri lagi, dan sesaat setelah mejabat tangan guruku, tubuhku pun meloncat sambil mengepalkan kedua tanganku di depan teman-teman sekelasku:

“Yeesssss…..!!!”

Urang naek kelas euy!”

Bersambung




Biar Cepat Asal Selamat! Menuju Sukses Dunia Akhirat Dengan Membaca Lebih Cepat, Bagian 1

Bagian 1: Tidak naik kelas? Mustahil!

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.(QS Al Baqarah, 2:216).

 

Kabar Mengejutkan

“Kriiiiiinnggg…!!!” Kedua telingaku hampir pecah rasanya ketika telepon di ruang depan tiba- tiba menjerit, memanggil siapa pun yang didekatnya untuk segera mengangkatnya.

 

“Halo, Assalaamu’alaikum, siapa ini, Aa ya?” Suara seorang wanita paruh baya terdengar dengan lirih dari gagang telepon di telingaku.

 

“Wa’alaikumsalaam, iya Bu, ini Aa!” Jawabku, tanpa sedikit pun khawatir bahwa Ibuku akan segera menyampaikan berita yang tidak akan pernah aku ingin dengar seumur hidupku.

 

Ibuku hari ini pergi ke sekolah untuk mengambil raportku. Raport itu seharusnya diambil dua hari yang lalu, di acara pembagian yang resmi oleh wali kelas. Hari itu aku tetap datang ke sekolah, walau pun sudah diberitahu bahwa siswa yang belum melunasi uang SPP tidak akan diijinkan untuk mengambil raport.

 

Dan ternyata benar saja, hari itu aku pulang dengan tangan hampa. Ibu wali kelas betul- betul menepati janjinya. Siswa yang belum membayar SPP tidak bisa mengambil raportnya. Raport itu harus diambil langsung oleh orang tua siswa yang bersangkutan.

 

“Aa, Aa yang sabar ya!” Ibuku berkata dengan lirih, dan terdengar seperti terisak menahan tangis.

“Sabar? Sabar kenapa Bu? Kenapa Aa harus sabar?” Jawabku segera, dengan perasaan yang mulai tidak enak.

“Hiks…..” Di ujung sana tidak terdengar kata- kata apapun, selain isak tangis ibuku yang rupanya sudah tidak tertahankan lagi.

 

“Ada apa Bu? Ada apa..?” Aku makin khawatir.

 

“Aa,  Aa ternyata tidak naik kelas…!” Dan tangis ibuku pun sudah tidak tertahan lagi setelah mengucapkan kata- kata yang mungkin tidak pernah ingin dia sampaikan kepada anak sulungnya ini. Selanjutnya yang terdengar hanya isak tangis dan suara sesenggukan ibuku di ujung sana.

 

Aku hanya bisa terdiam. Otakku seketika beku dan tidak bisa memikirkan apa pun setelah mendengar berita yang terdengar jauh lebih dahsyat dari petir yang menggelegar ketika Bandung dilanda hujan lebat. Berita yang menusuk hatiku jauh lebih sakit daripada berita bahwa siswa tercantik di angkatanku ternyata sudah dijodohkan oleh orang tuanya.

 

Aku coba berpikir jernih dan kuhela nafasku dalam- dalam. Aku masih setengah tidak percaya dengan apa yang sudah aku dengar langsung.

 

“Mustahil! Mustahil aku tidak naik kelas!” Kata- kata itu terus bergumam di bibirku dan berkecamuk di dalam hatiku.

 

Aku adalah anak paling pintar di kelurahanku. Aku sudah bisa membaca ketika berumur empat setengah tahun sampai “ditendang” keluar dari TK agar langsung masuk ke SD. Dan aku jadi siswa termuda ketika itu, karena umurku baru empat setengah tahun. NEM-ku ketika SD dan SMP paling besar di kelurahanku. Selama sembilan tahun menginjakkan kaki di sebuah institusi yang bernama sekolah, aku tidak pernah sekali pun terlempar dari peringkat 10 besar.

 

Tidak naik kelas adalah hal yang tidak pernah sekalipun terbayangkan. Otak kiriku mengatakan kejadian ini  mustahil terjadi, sama seperti mustahilnya seperti mengalahkan terangnya matahari dengan sebuah lampu senter. Sama mustahilnya dengan Barcelona atau Real Madrid terdegradasi ke Segunda Division!

 

“Sekarang rencana Aa gimana?” Isak Ibuku dengan masih sesengukan karena menahan tangis.

 

“Mau tinggal di sekolah ini saja, atau mau pindah ke sekolah biasa?”

 

Aku masih terdiam dan tergumam.

 

“Kalau Aa misalnya mau pindah, harus segera diurusin hari ini juga, karena hari ini adalah hari terakhir penerimaan siswa baru di SMA atau SMK selain sekolah yang sekarang!” Pungkas Ibuku yang terdengar sudah mulai menguasai kesedihannya.

 

“Menurut Ibu gimana baiknya?” Aku malah menjawab pertanyaan Ibuku dengan pertanyaan lagi.

 

“Ya terserah Aa, Aa kan yang akan menjalani bukan Ibu.” Jawab Ibuku.

 

“Tapi kalau boleh Ibu memberi saran, bidang kimia masih menjadi favorit.Lulusannya akan lebih mudah bekerja. Coba saja berjuang satu tahun lagi di sekolah yang sekarang. Jika ternyata masih tidak naik, ya mau tidak mau Aa harus pindah sekolah.” Jawab Ibuku dengan lirih.

 

“Jika Aa rasa Aa masih mampu menjalani sekolah yang sekarang, sebaiknya Aa tidak usah pindah. Dan lagi pula pendaftaran sudah mepet. Kita tidak akan sempat menyiapkan surat- surat yang diperlukan untuk bisa pindah sekolah.” Kata Ibuku.

 

Aku masih belum bisa menjawab.

 

“Aa butuh waktu untuk berpikir dulu Bu, supaya keputusan yang diambil benar- benar matang dan tepat untuk kehidupan Aa. Sebaiknya Ibu pulang dulu, dan kita bicarakan masalah ini di rumah.” Jawabku  setelah beberapa menit melamun dengan pandangan kosong ke luar rumah melalui jendela ruang tengah yang menutupi setengah dari dinding ruangan itu.

 

“Iya A, sebaiknya memang seperti itu. Ya sudah Ibu langsung pulang sekarang ya!”

 

Bertahan Atau Menyerah?


Beberapa lama setelah Ibuku menutup telepon, hatiku langsung berkecamuk, otakku langsung seperti mendidih dan pikiranku berputar, terus memikirkan pilihan apa yang harus aku ambil hari ini.

 

Pindah sekolah?

 

Atau bertahan, dengan status siswa yang tinggal kelas?

 

Walaupun sekolah itu memang berat, tapi aku rasa aku masih mampu menjalaninya. Toh, nilaiku pun tidak jelek-jelek amat. Hanya ada dua nilai merah di raportku. Penyebab utamanya, nilai matematikaku sangat di bawah standar, tidak hanya “nilai merah” biasa.

 

Terdengar sangat memalukan memang. Tapi itulah, sekolahku memang menerapkan standar yang sepintas terlihat sangat mudah. Padahal dibalik standar yang mudah terdapat perjuangan yang sangat berat.

 

Kuyakinkan diriku bahwa aku masih bisa memperbaiki ini, aku masih mampu melewati perjuangan yang sangat berat di sekolah itu. Aku harus menuruti saran Ibuku. Bukankah dia dan Ayahku jauh lebih tahu yang terbaik untukku yang baru lulus SMP ini?

 

Tak berapa lama, Ibuku pun tiba di rumah. Tampak bagiku sekarang kondisinya sudah jauh lebih tenang.

 

“Gimana, sudah ada keputusan?” Tanya Ibuku.

 

Dengan yakin, akupun menjawab: “Insyaalah, Aa akan menuruti saran Ibu, Aa akan bertahan di sekolah ini”.

 

Yakin hanya ungkapan ini yang bisa mewakili perasaanku ketika akhirnya mengambil keputusan untuk bertahan. Aku berjanji kepada diriku dan orangtuaku untuk berusaha lebih baik. Alasanku yang utama ketika itu adalah ingin menuruti saran Ibuku yang masih ingin aku bertahan di sekolah favorit itu.

 

Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua-pilihan yang aku ambil-untuk bisa melalui beratnya pendidikan di sekolah itu.

 

Dan Alhamdulillah, ternyata keputusan yang aku ambil ketika itu adalah pilihan yang tepat. Karena keputusan inilah yang mendasari perubahan-perubahan besar dalam hidupku di masa depan.

 

Hikmah


Akhir-akhir ini, ternyata baru kusadari hikmah dari kejadian itu.

 

Sangat sering sekali aku membanggakan diriku yang mulai masuk SD ketika masih berumur empat setengah tahun. Aku sering menyombongkan diri ketika memasuki sekolah itu, karena aku bisa menembus seleksi yang sangat ketat, ditambah dengan umurku yang paling muda dari seluruh siswa baru yang berhasil diterima di sekolah itu.

 

Mungkin ini adalah teguran dari Allah untuk kesombonganku.

 

Hikmah positifnya, tentu saja adalah keadaan diriku yang sekarang ini.

 

Allah ternyata menyiapkan kondisi yang tidak pernah aku mimpikan sebelumnya, kondisi ketika aku bisa mencapai impian-impian yang tidak kalah mustahilnya dengan takdir bahwa aku tidak naik kelas.

Subhanallah!

Bersambung….