Ini Dia Surga Tahu di Qatar

Image

 

KOMPAS.com – Tidak semua orang Indonesia di Qatar, dari Al Khor, Doha, Wakrah sampai ke Messaid mengetahui kalau sejak beberapa tahun yang lalu ada orang Indonesia yang menjual tahu.

Sudah beberapa tahun lalu, dua sejoli, Lili dan Ani merintis bisnis tahu. Pasangan ini sangat jeli dengan pilihannya untuk menjadi produsen sekaligus pengedar tahu di Qatar. Mereka adalah pionir. Walau pun ada beberapa produsen tahu yang lain yang mengikuti, tapi tetap saja tidak bisa menandingi enaknya tahu buatan Lili dan Ani.

Sebagai orang Bandung yang sudah pasti maniak terhadap tahu, tentunya saya sangat layak dan mampu untuk membedakan dan membandingkan, serta menilai enak tidaknya rasa tahu dari berbagai produsen.

“Saya mendapatkan ilmu membuat tahu ini langsung dari ayah saya,” kata Lili, sang pemilik dengan sangat bangga.

Dan benar saja, bisnis tahu pasangan ini ternyata sukses besar. Mereka mengirim tahu ke hampir seluruh restoran Indonesia yang ada di Qatar.

Tanggal 1 Mei 2012 kemarin, di bawah bendera Tofu & Cake Rest, dua sejoli ini melebarkan sayap bisnisnya ke bisnis restoran. Dengan cerdiknya mereka mengambil segmen ceruk sempit masakan Indonesia yang hanya berbahan utama tahu.

Menu-menu yang disediakan sudah pasti akan memanjakan lidah para maniak Tahu. Siomay Bandung, Batagor, Bakso sapi + Tahu, Tahu Gejrot, Kupat Tahu, Karedok Tahu, Goreng Tahu Bumbu Kecap Pedas siap menggoyang lidah anda dan merusak rencana diet Anda.

Sempitnya lahan parkir dan tempat makan yang kurang luas adalah kendala utama bagi orang Indonesia  yang ingin mengunjungi restoran yang menyediakan masakan Indonesia.

Di restoran ini parkiran tersedia sangat luas, karena bergabung dengan salah satu pusat perbelanjaan di pusat kota Doha, The Center.

“Musim dingin nanti, saya berencana untuk memasang meja tambahan di luar gedung, agar nanti pengunjung bisa menikmati sensasi luar biasa memakan batagor atau mie bakso tahu dengan pemandangan di depan perempatan Hotel Ramada,” kata Lili, yang “Asgar” atau Asli Garut ini sembari tersenyum.

Di dalam pun, ada 5 sampai 6 meja yang selalu siap sedia untuk dipakai “mojok” dengan menu-menu untuk para maniak tahu. Jika ingin merasakan sensasi duduk di meja sempit dan berdempetan dengan pengunjung yang lain, khas kios penjual bakso seperti di Terminal Kebon Kalapa Bandung, tempat di dalam siap sedia untuk melemparkan memori Anda ke masa-masa sekolah ketika Anda berdua dengan mantan pacar memakan semangkok Batagor kuah atau Baso Tahu yang masih panas.

Harga yang mahal tentunya relatif, tergantung pembandingnya. Jika dibandingkan dengan standar Indonesia, tentunya harga hampir Rp 50.000 untuk semangkuk mie bakso campur sama tidak masuk akal. Tapi untuk para TKI profesional di Qatar yang gajinya belasan juta hingga puluhan juta, dan bahkan ada yang mencapai ratusan juta sih, seharusnya tidak menjadi kendala.

Masalah rasa, tentunya orang punya selera yang berbeda- beda. “Jika ada keluhan atau usul untuk memperbaiki kualitas dan rasa masakan kami, jangan ragu- ragu, tolong beritahu kami ya,” ujar Ani, dengan wajah yang kelelahan karena tak henti- hentinya melayani pelanggan yang datang terus menerus datang sejak pagi.

Nah, untuk para tahu mania, jangan ditunda lagi untuk memanjakan lidah Anda.

Jika suatu saat Anda sempat mampir ke Qatar dan rindu tahu, langsung saja kunjungi Tofu and Cake Rest di Area The Center, belakang Ramada Hotel, disamping Chowking Restaurant atau dibawah The Great Wall Chinese Restaurant, Doha Qatar. (Diday Tea)

Menggiatkan Literasi dari Luar Negeri

 

Image 

Doha- Qatar

Oleh Diday Tea

 

 

 

Tidak ada yang berbeda pada sepasang remaja yang dikenalkan oleh temanku itu. Mereka terlihat seperti orang Indonesia pada umumnya yang berkulit sawo matang. Perbedaan yang sangat nyata baru kurasakan ketika beberapa saat kemudian bertengkar memperebutkan sesuatu”

 

Gagap Berbahasa Indonesia

 

 

Bahasa yang mereka gunakan bukan bahasa Indonesia, bahasa Sunda, atau bahasa daerah lainnya, tapi bahasa Inggris. Dan bahasa Inggris yang tertumpah dari kedua mulut dua anak remaja tanggung itu bukan sekedar bahasa Inggris, tapi bahasa Inggris dengan aksen British yang sangat kental. Saya hanya bisa melongo dan mencoba menyimak sebentar pertengkaran mereka yang lumayan seru, walau pun pada akhirnya saya menyerah, ketika mereka sudah bicara terlalu cepat. Ayah mereka pun hanya bisa tersenyum simpul melihat saya yang berusaha keras memicingkan telinga untuk sekedar menangkap kata- kata yang berhamburan dari kedua anaknya.

 

Timbul pertanyaan pada diri saya, apakah jika suatu saat mereka kembali ke tanah air, mereka bisa berkomunikasi dengan baik dengan bahasa Ibunya?

 

Berbicara bahasa Ibunya pun mereka sudah kepayahan, apalagi merambah jauh ke dalam dunia literasi yang memerlukan kemampuan berbahasa yang bukan sekedar seadanya dan “asal bisa nyambung”.

 

Mungkin saja orangtuanya memang mempunyai rencana jangka panjang agar anaknya kelak memang akan bekerja dan hidup di luar negeri seperti mereka. Dan sangat mungkin juga mereka memang berniat untuk berdiaspora di negeri orang, pergi tak kembali.

 

Jangan Melupakan Jati Diri

 

Biar bagaimana pun, dan selama apa pun, para ekpatriat Indonesia yang bekerja di luar negeri ini tetap adalah orang Indonesia, walau pun sudah tidak menjadi Warga Negara Indonesia lagi. Suatu saat, mereka akan ingat bahwa mereka lahir di Indonesia, atau hanya sekedar memiliki orang tua Indonesia, dan pernah menginjakkan kaki di Indonesia.

 

Mereka bisa sangat bangga ketika bisa mengajari anak- anaknya untuk mementaskan kesenian daerah, atau memakaikan pakaian adat di International Day sekolah anak- anaknya.

 

Mereka sangat bangga karena memiliki keragaman budaya yang luar biasa yang membuat warga negara lain terkagum- kagum dan terpesona.

 

Mereka sangat bangga ketika para karya para fotografer professional memajang  keindahan alam Indonesia yang luar biasa di sebuah galeri seni paling terkenal di Qatar.

 

Perasaan bangga yang luar biasa juga ketika kalimat “ from Indonesia” terdengar setelah salah seorang warga negara Indonesia memenangi sebuah penghargaan fotografi paling bergengsi di Qatar.

 

Akan ada perasaan rindu untuk pulang. Akan ada perasaan ingin membantu memperbaiki kondisi Indonesia ke arah yang lebih baik ketika membaca berita- berita buruk tentang tanah airnya di media online dan televisi.

 

Memulai Perubahan dari Luar Negeri

 

Tahun 2007, di tempat saya bekerja, orang Indonesia tidak lebih dari 25 orang. Tapi sekarang, sudah lebih dari seratus orang. Sejak itu pula, dimulailah “eksodus” kecil-kecilan tenaga kerja professional dari Indonesia. Walau pun tidak sebanyak orang India dan Filipina, tapi sejak saat itu keberadaan tenaga kerja professional asal Indonesia mulai diperhitungkan.

 

Berdasarkan data dari KBRI Doha, di Qatar ada 35.000 tenaga kerja Indonesia yang 6000 di antaranya adalah tenaga kerja profesional, yang menjabat level teknisi sampai level manajerial di perusahaan- perusahaan yang tersebar di Qatar.

 

Ini adalah potensi yang luar biasa besar.

 

Setelah KBRI Doha memfasilitasi kegiatan Gempa Literasi Asia bersama Gol A Gong dan Tias Tatanka, timbul gagasan besar di dalam pikiran saya.

 

Saya merasa bahwa ini adalah saatnya menggaungkan “Gerakan Literasi Dunia Menuju Indonesia Membaca”, yang digawangi oleh orang – orang Indonesia yang bekerja dan tersebar di seluruh dunia.

 

Dengan kekuatan finansial dan tidak ada lagi istilah “jatah buku berebut dengan jatah beras”, seharusnya para orang tua yang bekerja di luar negeri bisa mengenalkan dunia literasi kepada anak- anaknya.

 

Menyediakan perpustakaan pribadi yang berisi buku- buku karya penulis Indonesia, dari zaman Angkatan 45 sampai zaman Raditya Dika seharusnya tidak sulit. Agar anak- anak mereka tahu dan mengenal bangsanya lewat karya sastra, dan mungkin kelak akan memberi pengaruh besar untuk kemajuan bangsa Indonesia dengan perannya masing- masing.

 

Dengan kekuatan finansial ini juga, mereka seharusnya bisa berperan lebih besar dengan membuat taman bacaan gratis di lingkungan kampung halaman mereka.

 

Siapa yang tahu kalau ternyata perubahan Indonesia yang lebih baik malah dimulai dari gerakan- gerakan literasi dari orang- orang Indonesia yang tinggal di luar negeri.

 

Tidak hanya menambah devisa negara dengan mentransfer puluhan juta rupiah setiap bulan, tapi kita juga bisa menggiatkan dunia literasi di luar negeri untuk merubah bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik.

 

 

Diday Tea, salah seorang tenaga kerja professional Indonesia di Qatar

26 April 2012

Sakau Tahu


Salah satu persiapan mental yang harus digembleng sebelum berangkat ke Qatar adalah masalah kuliner, makanan. Di dalam bahasa Sunda saja , setidaknya ada sembilan kata yang merujuk ke arah “makan” di dalam bahasa Indonesia. Dari emam, neda, tuang, dahar, nyatu, ngalebok, nelih, jajablog, sampai lolodok. Percaya atau tidak, itu semua artinya “ makan”. Mungkin ini adalah salah satu indikasi bahwa orang Sunda doyan makan. Hehehe…

Di Bandung, Tahu Cibuntu, adalah menu wajib di keluargaku. Kalau kondisi keuangan sedang menipis, yaa tahu yang berasal dari drum biru si Mamang yang suka lewat juga bakal terasa lebih enak. Di samping tahu memang rasanya memang enak dan unik, tentu saja karena membeli daging setiap hari bisa membuat gaji ayah dan ibuku tidak akan bertahan sampai akhir bulan.

Sesudah hijrah ke Cilegon pun, aku masih meminta menu wajib yang harus disiapkan oleh orang rumah, tahu Cibuntu goreng yang dibelah diagonal dan sambel terasi. Hmm…Maknyooss..

Tahu di Cilegon tidak enak di lidah. Katanya sih karena kualitas air di daerah Banten kurang begitu bagus, sehingga berpengaruh juga ke kualitas tahu yang dibuat. Kalau kata orang Sunda, rasanya “Pahang”. Secara, lidahku yang terbiasa makan tahu yang rasanya super legit, kenyal, seperti tahu Yun Yi dan tahu Cibuntu ini pasti standarnya sudah terbang tinggi.

Aku bersedia memakan tahu di Cilegon pun terpaksa, jika aku sudah tidak kuat karena sakau tahu. Yang paling sering di warteg dekat rumah kontrakanku. Itu pun karena “ apap pun bahan makanannya, bumbunya pasti selalu sama”.

Eh, ternyata tidak semua tahu di cilegon tidak enak. Tahu Sumedang yang di jalan raya Ciwandan-Anyer. Super kremes dan renyah. Apalagi jika dibungkus oleh kertas koran dan diwadahi oleh keresek hitam yang masih berbau sendal jepit itu . Mantap dan enak, tapi sayangnya ya itu, timbal di kertas koran dan bau sendal jepitnya katanya sih bahaya.

Ketika akan berangkat ke Qatar pun, kegelisahan melanda jiwa, dan galau mulai merasuki hati. Kegelisahan dengan kenyataan bahwa secara logika, tidak mungkin ada tukang tahu di tengah gurun. Galau ketika mengingat bahwa paling cepat aku bisa pulang ke Bandung dalam waktu 4 bulan.

Tak disangka dan tak diduga, sebulan sebelum berangkat seniorku di kantor (tadinya mau disebut pabrik, tapi terbacanya kurang keren) menunjukkan sehelai potongan koran.

Potongan tulisan itu berisi tentang seorang pengusaha tahu sukses di Qatar. Tukang tahu yang di Indonesia dianggap sebelah mata, dan penghasilan yang tidak seberapa, buat si akang dan istrinya ini adalah sumber penghasilan yang luar biasa.  Dalam satu bulan, omset tahunya bisa puluhan juta.

Bayangkan saja, tahu itu harganya menurut kita tidak seberapa dan di Indonesia dianggap makanan orang miskin yang tidak mampu membeli daging. Di depan garasi rumah pasangan “Tukang Tahu” ini telah berdiri dengan gagahnya sebuah Land Cruiser berwarna perak didampingi oleh  anggunnya sebuah sedan berwarna putih mutiara.

 

Anda tidak salah membaca, dan juga bukan salah ketik. Land Cruiser!

 

Land Cruiser di Indonesia harganya bisa milyaran rupiah. Kata teman, di Indonesia, hanya bupati atau anak bupati saja yang mempunyai Land Cruiser.

Dan luar biasanya lagi, ternyata tahu buatan si Akang ini enak bangett… Hanya beda tipis dengan tahu mengkel buatan langganan Ibuku di Bandung itu. Jangan tanya jika dibandingkan dengan tahu buatan Cilegon/Serang deh, karena rasanya pasti akan terasa seperti bumi dan langit.

Ahhhaaaa…! Ada tahu di Qatar Euyy…!

Hidup Tahu!

Image

(didaytea/020512)

 

 

 

 

 

Demam Mimbar

Image

“Gagal dalam persiapan, sama saja dengan mempersiapkan diri untuk gagal”

 

            Tidak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa aku akan menjadi ketua panitia dari sebuah acara workshop menulis. Dan bukan sembarang workshop, tapi workshop yang merupakan rangkaian dari acara Gempa Literasi Asia yang dilakukan oleh penulis besar di Indonesia, Gol A Gong dan Tias Tatanka.

            “Todongan” menjadi ketua panitia pertama kali diajukan oleh staff Pensosbud di KBRI Doha, alasannya ya karena aku yang mengajukan proposal untuk acara tersebut dan pada tanggal workshop diadakan nanti, hampir seluruh staff KBRI akan disibukkan oleh UNCTAD XIII. KBRI hanya akan memfasilitasi acara, sedangkan hal- hal teknis harus ditangani oleh panitia kecil.

            Tadinya sih Aku senang saja, tidak ada beban apa pun di pikiranku. Yang ada malah euforia melanda diriku, karena akhirnya aku bisa mewujudkan impianku sejak tiba di Qatar 4 tahun yang lalu, mendatangkan Gol A Gong ke Qatar.

            Firasat buruk mulai datang ketika kami mendiskusikan jadwal acara pada hari H.

            Di selembar kertas itu tercantum agenda “Sambutan Ketua Panitia”.

            “Waduh..! Gawat Kataku dalam hati.

            Aku kan paling tidak bisa berbicara di depan umum. Aku masih trauma ketika SMP dulu mengikuti lomba ceramah di mesjid dekat rumah.

            Bukannya berceramah, ketika itu aku hanya bisa tertunduk membaca teks ceramah dengan tangan bergetar dan menahan bulir- bulir keringat agar tidak jatuh, dengan terus menerus menyeka pelipisku dengan tangan baju koko putih yang kupakai.

            Gagal total.

            Walau pun aku hanya harus membaca teks yang kupegang, tapi kata-kataku terdengar tidak jelas oleh penonton, sehingga mereka protes sambil ber”huuuuuuuuuu..” ria setengah mengejekkku.

            Ingin sekali aku menghindar dari acara sambutan itu, atau menyuruh panitia lain yang maju.

            Aku punya kekurangan. Seringkali aku berbicara terlalu cepat dan sedikit tergagap. Kata orangtuaku sih, itu salah satu ciri- ciri orang cerdas. Hehehe…

            Kali ini aku bertekad harus bisa.

            Kuyakinkan diriku bahwa sambutan ketua ini tidak begitu penting, dan peserta workshop pun tidak akan begitu memperhatikan.

            Persiapan yang kulakukan hanya sekedar membuat outline hal- hal yang akan kusampaikan ketika sambutan nanti.

            Aku coba juga mengetik semacam naskah pidato. Tadinya sih mau kucoba berlatih di depan cermin. Tapi sampai hari H, aku tidak sempat karena sibuk mengantar Gol A Gong dan istrinya.

            Malam sebelum acara pun aku terlalu lelah untuk berlatih, bahkan hanya untuk sekedar membaca contekan pun aku tidak sempat.

            Sebelum berangkat ke tempat acara itu berlangsung, akhirnya kuputuskan untuk “gimana nanti aja deh”. Toh aku masih ada contekan yang sudah kubuat, kan tinggal dibaca nanti di atas mimbar.

            Sampai MC membuka acara sih aku masih tenang dan yakin bahwa aku akan bisa membawakan sambutan dengan sukses.

            Ketika sedang asyik melamunkan sambutan yang akan kubawakan nanti, tiba- tiba suara sang MC seperti halilintar yang menyambar kepalaku.

            Dia tiba- tiba memanggil namaku untuk naik ke atas panggung! Ternyata sambutan yang pertama yang tadinya kukira dari perwakilan KBRI, adalah sambutan dari Ketua Panitia.

            “Gaawwaatt nih…!” Lamunanku langsung buyar dan hancur berantakan. Tanganku yang sedang memegang contekan pun langsung bergetar.

            “Lho, kok sekarang?” Aku bertanya- tanya dalam hati.

            Sambil berjalan ke arah mimbar pun hatiku masih bertanya- tanya.

            Dan benar saja, walau pun tidak separah ketika aku mengikuti lomba ceramah dulu, tapi kali ini aku terkena sindrom yang sama.

            Demam panggung. Demam mimbar.

            Aku berbicara terlalu cepat. Seperti meracau. Entahlah, aku rasa puluhan peserta di depanku itu tidak mengerti semua yang aku ucapkan, walau pun mereka bisa membaca salam pembukaku dengan lantang.

            Walau pun contekan sudah kupegang, dan sudah kutarik nafas sedalam- dalamnya, tetap saja tanganku bergetar, mulutku sempat kelu beberapa saat. Jantungku menghentak kencang seperti hendak meloncat keluar dari dada.

            Ketika selesai, ada temanku yang sedikit meledek.

            “Barusan tadi adalah sambutan tersingkat yang pernah kudengar lho…!” Katanya sambil tersenyum.

            Aku hanya bisa tersenyum getir dan menunduk karena saking malunya.

            Lain kali aku harus mempersiapkan diriku lebih baik lagi.

            Karena aku tidak akan bisa menghindar. Suatu saat aku pasti akan menghadapi situasi yang sama dengan hari itu, ketika mau tidak mau harus berbicara di depan umum.

            Aku rasa penyumbang terbesar kegagalan sambutanku itu hanya masalah persiapan saja. Rasa gugup dan gemetar itu aku rasa tidak akan datang jika aku tidak terlalu kaget karena tidak menduga akan naik panggung lebih dulu dari perwakilan KBRI.

            Seperti Aa Gym bilang di salah satu ceramahnya: “Gagal dalam persiapan, sama saja dengan mempersiapkan diri kita untuk gagal”

 

Didaytea

290412

 

 

Cintaku Musnah di Penghujung Tahun

“Kalau kamu memang mencintaiku seperti yang selalu kamu bilang, dan tidak mau aku menikah dengannya,kenapa kamu tidak melamarku sebelum dia?” Sambil tertunduk lesu, aku hanya bisa bilang kepadanya: “ Aku belum siap Teh!”

            Goncangan bus yang direm setengah mendadak membangunkanku tepat di depan gerbang Tol Pasirkoja. Otot dan tulang di sekujur tubuhku serasa mengkerut setelah hampir enam jam berada di dalam dinginnya AC bus jurusan Merak- Bandung. Jam di hape jadulku pun masih menunjukkan jam empat pagi.

Tak lama kemudian, bus yang kutumpangi pun tiba di Terminal Leuwipanjang. Ketika beranjak keluar dari bus itu, aku sebenarnya mengharapkan sedikit kehangatan dari udara kota Bandung.

Eh, ternyata bukannya hangat yang kurasakan. Begitu pintu bis terbuka, malah udara yang dingin, lebih dingin dari AC bus yang kutumpangi semalaman langsung menyusup masuk dan meremas- remas wajahku sampai terasa mengkerut dan seperti ditarik ke belakang. Tapi bersamaan dengan dinginnya udara Bandung, tercium juga bau khas tanah jika sudah dihampiri oleh sang hujan.

Ternyata sang hujan baru saja mampir dan menumpahkan sedikit pesonanya di kota kelahiranku. Sang hujan juga ternyata ingin merayakan tahun baru nanti malam.

Kunikmati saja udara dingin yang kini membelai wajahku dengan lembut dan sejuk di atas Becak sepanjang perjalanan dari terminal Leuwipanjang menuju rumahku.

Begitu tiba di rumah, langsung kupeluk dan kulepas rindu dengan  Ayah, Ibu dan ketiga adik-adikku. Lalu aku bergegas menuju mesjid yang berada tepat di depan rumahku untuk mengejar sholat subuh berjamaah. Seperti biasa, setiap pulang ke Bandung aku selalu meminta si bibi untuk membelikan kami sekeluarga sarapan Kupat Tahu dan Bubur Ayam Mang Ujang yang sudah berjualan sejak aku belum terlahir ke dunia itu.

Tak sampai dua jam kemudian, rumahku  yang tadinya riuh rendah oleh kami berenam yang ngobrol ngalor ngidul sambil menyantap sarapan, langsung sunyi senyap ditinggal oleh penghuninya.

Ayah dan Ibuku masih bekerja di sebuah instansi pemerintah, dan segera disusul oleh adik-adikku pergi kuliah. Aku pun menuju kamar untuk beristirahat, karena nanti siang aku sudah harus bersiap- siap untuk berangkat ke Alun- alun Bandung.

Kemarin, seseorang yang sangat istimewa memintaku untuk bertemu di Alun- alun kota Bandung, di depan Yogya Kepatihan. Dia adalah wanita yang sudah menjadi sahabatku sejak tiga belas tahun yang lalu, sejak kami berdua masih berseragam Merah Putih.

Sejak lulus SD, kami sudah berpisah. Aku masih di Bandung, melanjutkan ke SMP Negeri di dekat rumahku, sedangkan dia pindah ke Tasikmalaya untuk belajar di pesantren yang dipimpin oleh seorang ulama terkenal. Tujuh tahun setelah itu kami baru bertemu lagi, itu pun karena dia sudah pulang ke Bandung dan bekerja di pesantren yang dipimpin oleh seorang Kyai kondang di Kota Kembang. Sampai sekarang, paling sering kami hanya bertemu dua kali dalam satu tahun. Itu pun biasanya aku berkunjung langsung ke rumahnya ketika momen lebaran saja, tidak di luar seperti sekarang.

Entah kenapa kali ini dia tiba- tiba memintaku untuk bertemu di luar. Dia bilang padaku ada sesuatu yang harus dia bicarakan.

Setelah sholat Zhuhur di mesjid Agung Bandung,  langsung kuhela tubuhku agar berjalan secepat mungkin karena aku tidak ingin membuatnya menunggu lama.

Tak sampai dua detik setelah aku tiba di depan Yogya Kepatihan, sudah kukenali sosok wanita tinggi semampai yang sedang berdiri di antara ramainya orang yang lalu lalang berbelanja di malam menjelang tahun baru. Dari belakang pun dia sudah terlihat sangat anggun dan cantik dengan baju gamis berbahan satin berwarna merah muda. Dia semakin cantik lagi dengan menghiasi gamis itu dengan kerudung berwarna dan berbahan sama yang berpadu padan dengan sebuah bros berbentuk kupu- kupu yang berkilauan ketika dijatuhi oleh cahaya lampu neon.

“Assalaamu’alaikum Teteh! Kumaha damang?” Sapaku dengan lembut dan tanpa sadar menatap matanya dalam- dalam. Ah, rindu berbulan- bulan tak bertemu dia pun lenyap seketika hanya dengan satu detik memandang matanya.  Walau pun dia memang lebih tua tiga tahun dariku, panggilan Teteh bukan karena itu, tapi itu adalah panggilan sayangku untuknya.

“Eh, wa’alaikumsalaam. Alhamdulillah, pangestu” Dia pun menjawab sambil membalikkan tubunya ke arahku dengan suaranya yang khas, serak tapi lembut, perpaduan sempurna antara suara Nicky Astria dan Siti Nurhaliza.

“Langsung ke sini dari kantor? Mobil diparkir di mana? Udah makan siang belum? Udah sholat?” Tanyaku bertubi- tubi. “Iya atuh, tadi harus lembur setengah hari. Lagian kalau pulang dulu ke Cimahi mah ngga akan bisa nyampe jam segini meureuun! Tuh, mobil mah diparkir di basement aja lah, da susah kalau diluar mah.” Jawabnya dengan logat Sunda yang sangat kental.

Kupandangi lagi dia selama beberapa saat. Si Tetehku ini memang sungguh unik, berkulit putih kemerahan layaknya orang bule, berambut pirang kecoklatan, tapi bermata sipit seperti orang Jepang. Perpaduan unik yang menyebabkan kecantikkannya melebihi siapa pun yang pernah kukenal di dunia ini. Setidaknya menurutku.

“Hei! Kok malah ngelamun? Makan dulu yuk? Teteh lapar nih!” Si Teteh setengah berteriak sambil mengibas- ngibaskan tangannya di depan mukaku.

Selama makan siang, tidak ada obrolan yang istimewa di antara kami selain menanyakan kabar keluarga, pekerjaan dan kuliahku di Cilegon, dan pekerjaannya di pesantren seorang kyai kondang di Bandung.

“Nonton Yuk! Ada film James Bond Baru, Casino Royale!” Ajakan yang sama sekali tidak kuduga sebelumnya. Walau pun mukaku melongo terkaget- kaget, hatiku langsung berbunga- bunga, karena aku bakal lebih lama lagi bisa dekat dengan si Teteh tercinta. Sebelumnya kami tidak pernah nonton ke bioskop hanya berdua, kami selalu pergi beramai- ramai bersama kakaknya dan adik- adikku. Jangankan ke bioskop, untuk pergi ke luar rumahnya pun ayahnya akan melarang keras jika aku hanya datang sendiri, tidak dengan adik- adikku. Walau pun bisa, itu harus dengan kakaknya atau si mbok pengasuh di rumahnya.

Kami pun bergegas mengayunkan langkah ke King’s Kepatihan, tempat bioskop terdekat.

Aku tidak memikirkan apa- apa lagi sejak film diputar selain betapa bahagianya hatiku bisa sedekat ini dengan si Teteh.  Setelah film diputar selama beberapa menit, entah kenapa tiba-tiba dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Sebagai seorang lelaki normal tentunya jantungku langsung berdegup luar biasa kencang ketika berada sedekat itu dengan lawan jenis. Aku akhirnya tidak kuasa menahan tanganku untuk menyentuhnya. Si Teteh pun yang entah memang tertidur atau sekedar pura- pura tidur  membiarkan saja aku membelai pipinya dan membelai kepalanya berulang- ulang.

Aku tidak pernah sedekat itu dengan wanita mana pun sebelumnya. Aroma parfumnya yang sangat segar tanpa malu-malu merasuk ke dalam hidungku menyebabkan aku tidak tahan lagi untuk mendaratkan bibirku tepat di atas ubun- ubunnya.

Tidak pernah kuduga jika beberapa lama kemudian aku akan mendengar hal yang sangat mengguncangkan jiwaku.

Selama belasan tahun aku mengenalnya, jangankan membuat adegan semacam itu, ketika aku secara refleks menggamit tangannya untuk menyeberang jalan saja, dia langsung melayangkan tinjunya ke perutku. Kadang aku berpikir kalau dia jauh lebih kuat dan lebih cepat dariku, karena tak pernah bisa kutangkis kepalan tangannya yang mungil itu. Dan selalu terasa sakit.

“Ngapain kamu pegang- pegang?! Jangan macem- macem! Lain kali tinju ini mampir di tempat yang lebih menyakitkan!” Ancamnya sambil mengepalkan tangan mungilnya tepat di depan wajahku.

Setelah film selesai, aku bingung harus bersikap seperti apa setelah kejadian di dalam tadi. Kejadian yang seperti mimpi. Gembira? Pasti lah, aku kan masih laki- laki yang normal. Tapi aku juga sedih, karena tidak cukup kuat untuk bisa menahan diri untuk tidak sampai menyentuhnya seperti tadi. Sangat bertolak belakang dengan materi ceramah tentang menjaga pandangan dan pergaulan dengan lawan jenis yang sering kudengar dari seorang kyai kondang di Bandung.

“Duuh, dosa itu the Cep…!” Umpatku di dalam hati.

“Duduk dulu di sini yuk?” Si Teteh memintaku sambil menggamit tanganku  dan menarik tubuhku ke kursi tunggu di depan loket bioskop itu. Aku tak kuasa menolak.

“Teteh bilang kan, kemarin, mengajak kamu ketemuan di sini untuk membicarakan sesuatu?”

Ujarnya sambil sedikit memiringkan tubuhnya ke arahku sehingga kedua ujung lututnya menempel di kaki kiriku.

“Iya Teh, ada apa sih? Meni asa rareuwas ini teh “ Jawabku sambil bercanda. Entah kenapa, bukannya tersenyum, tapi dia malah terdiam beberapa saat. Dan beberapa kali menarik nafas panjang. Perasaanku mulai tidak enak.

“Emmmm…” Dia hanya menggumam. Dan beberapa kali kembali menarik nafas panjang sambil memilin- milin ujung jarinya.

“Ikhlasin Teteh yah?” Sebuah pertanyaan aneh terlontar dari bibirnya yang merah walaupun tanpa lipstik itu.

“Ikhlasin? Ikhlasin apa ini teh? Tanyaku dengan muka kebingungan.

“Emmm…Teteh…Teteh bulan depan akan menikah.” Walau pun sempat mengulang adegan bergumam lagi selama beberapa saat, akhirnya dia membuka mulutnya dengan sedikit tergagap dan sambil sedikit menggigit bibir.

“Menikah?! Sama siapa? Kok bisa? Kapan?” Belum saja kedua bibirnya tertutup dengan sempurna, aku sudah memberondongnya dengan pertanyaan.

“Sama orang Bogor, Ustadz di pesantren tempat Teteh belajar” Si Teteh menjawab lagi dengan perlahan.  “Bulan kemarin, dia datang bersama orangtuanya dari Bogor untuk melamarku.”

“Aku tidak punya alasan yang Syar’i untuk menolak lamarannya.” Timpalnya lagi sambil meluruskan tubuhnya. Kali ini dia sedikit menggeser posisi duduknya, agak menjauh dariku.

Hampir setiap kali aku menghubungi si Teteh, aku selalu bilang padanya bahwa aku  mencintainya sejak belasan tahu yang lalu dan aku ingin menikahinya. Tapi selama ini pula dia hanya menjawab pertanyaanku dengan senyum dan tawanya yang renyah. Tak pernah ada tanggapan langsung yang keluar dari mulutnya.

“Aku tidak punya alasan untuk menolak lamarannya.” Dia mengulang lagi pernyataannya.

“Ayah Ustadz yang melamar adalah teman Abi sejak mereka masih kuliah di Mesir.” Ujar si Teteh lagi sambil menarik nafas panjang.

“Tapi Teh, Teteh tahu kan kalau Aku ingin menikahi Teteh, Aku cinta sama Teteh, Aku sayang sama Teteh! Ucapku dengan nada yang sedikit meninggi.

“Ngga mungkin kan Teteh ngga tau dan ngga merasakan perasaan saya kaya gimana kan? “ Tanyaku lagi.

“Kalau kamu memang mencintaiku seperti yang selalu kamu bilang, dan tidak mau aku menikah dengannya, kenapa kamu tidak melamarku sebelum dia? Dia bertanya dengan bibir yang bergetar menahan jatuhnya air mata yang sudah berkumpul di kedua sudut matanya.

“Kenapa..? Kenapa? Kenapa kamu tidak melamarku sebelum dia..? ” Dia bertanya lagi karena aku tidak kunjung memberi jawaban. Pertanyaan yang dia lemparkan seperti tombak tajam yang langsung menghujam ke dalam hatiku.  Kali ini Dia bertanya sambil terisak menahan tangis.

Sambil tertunduk lesu, akhirnya aku hanya bisa bilang:

“Aku belum siap Teh!” Akhirnya aku menjawab dengan bibir yang bergetar karena menahan kekecewaan yang luar biasa besar. Sebagai seorang laki- laki, Aku pantang untuk menangis. Tapi kali ini rasanya sulit sekali untuk menahan setetes airt mata yang sudah diambang jatuh di ujung mataku.

“Berarti keputusanku untuk menerima lamarannya tepat kan?” Dia bertanya lagi sambil meraih daguku yang sedang tertunduk dan memalingkan wajahku ke arahnya. Kali ini matanya sudah memerah. Tak ada air mata di ujung sana, mungkin sudah dia seka.

Aku hanya bisa terdiam. Dia benar, tidak ada alasan untuknya buat menolak lamaran si Ustadz. Dan walau pun ternyata dia bisa meyakinkan ayahnya untuk menolak, entah kapan aku bisa melamarnya. Menikah memang tidak selalu butuh uang, tapi jika tidak ada uang, bagaimana aku bisa menikahinya dan membiayai rumah tangga kami, jika gaji bulananku saja selalu kurang untuk biaya kuliahku, dan biaya sekolah adik- adikku yang masih kecil? Walau pun orang tua Dia kaya raya, dan dia pun sudah bekerja di Bandung rasanya tidak mungkin, jika aku harus memboyongnya ke Cilegon. Atau aku harus meninggalkan kuliah dan pekerjaanku demi menikahinya.

Untuk beberapa saat, kami berdua hanya mematung dan terdiam seribu bahasa.

“Sudah sore Teh, sholat Ashar dulu yuk?” Tanyaku untuk mencairkan suasana yang tiba- tiba terasa garing itu. Si Teteh masih hanya diam dan hanya mengiyakan ajakanku dengan bangkit dari duduknya dan mengayunkan kakinya ke arah pintu mushola wanita.

Setelah selesai sholat Ashar, kami pun berjalan meninggalkan King’s menuju ke Yogya, tempatnya memarkir mobil. Jalan yang sangat dekat itu kali ini terasa sangat jauh, karena kaki- kakiku ini terasa berat luar biasa. Berat seperti diganduli oleh bola besi yang dirantai ke pergelangan kakiku.

“Teh, selamat ya!”Aku mengulurkan tanganku untuk memberi selamat kepadanya sambil tersenyum getir.

Untuk beberapa saat, dia hanya terdiam, dan hanya memandangi tanganku yang sudah terulur di depannya.

“Iya, alhamdulillah. Doain Teteh ya!” Dia menjawab, kali ini sambil tersenyum lebih lepas. Tapi kali ini dia tidak membalas uluran tanganku.

“Semoga kamu juga mendapatkan jodoh yang lebih baik dari Teteh!”Ucapnya.

“Amiin…” Aku mengaminkan doánya dengan perlahan.

Kami pun kembali hanya bisa terdiam lagi.

“Hufff….ya sudah deh…Teteh kira ini adalah saatnya kita harus berpisah” Ucap si Teteh dengan kalimat yang benar- benar membuatku merasa tidak akan pernah lagi akan bertemu dengannya.

“Iya Teh, lagian sudah malam. Sebentar lagi pasti jalanan penuh sama yang pawai Tahun Baruan” Jawabku dengan datar.

“Hati- hati di jalan ya! Assalaamuálaikum!”Ucapku sambil membalikkan badan.

“Waálaikumsalaam..” Aku masih sempat mendengar suaranya yang lirih, setengah terisak.

Baru lima langkah aku menjauh, tiba- tiba aku berbalik dan memanggilnya:

“Teteh…!” Aku berteriak keras- keras sambil setengah berlari menghampirinya yang sedang berjalan menjauh. Begitu dia membalikkan badannya, entah setan apa yang tiba- tiba merasukiku sehingga tanpa aba- aba apa pun aku langsung memeluk dia erat- erat.

Si Teteh terkejut bukan main, karena dipeluk di depan puluhan orang yang lalu- lalang di depan pintu mall tanpa sempat melawan atau berontak. Selama beberapa detik kemudian dia pun hanya bisa terdiam. Yang terdengar hanya riuh-rendahnya tiupan terompet yang mulai dibunyikan oleh para pedagang dadakan di pinggiran jalan Kepatihan itu.

Tidak ada kata- kata apa pun yang terucap ketika aku memeluknya. Hanya kurasakan kedua mataku terasa pedas dan bibirku yang sedang bergetar tiba- tiba terasa asin.  Ketika kulepas pelukanku, kulihat wajahnya yang masih terlihat kaget menjadi semakin merah, Dia terisak untuk menahan butir air mata yang sudah berkumpul di sudut mata coklatnya yang sipit itu.

Aku tak kuasa lagi menahan jatuhnya tetesan air mata yang mulai mengalir di pipiku.  Kubalikkan badanku lagi dan kuhela kedua kakiku untuk mengayunkan langkah secepat mungkin agar aku bisa segera pergi menjauh dari tempat itu. Sekuat tenaga kutahan leherku agar tidak lagi menengok ke belakang. Dengan bodohnya kupukuli kepalaku agar semua ingatanku tentangnya bisa hilang saat itu juga.

Cintaku musnah di penghujung tahun.

Doha 28 Oktober 2011