Salah satu persiapan mental yang harus digembleng sebelum berangkat ke Qatar adalah masalah kuliner, makanan. Di dalam bahasa Sunda saja , setidaknya ada sembilan kata yang merujuk ke arah “makan” di dalam bahasa Indonesia. Dari emam, neda, tuang, dahar, nyatu, ngalebok, nelih, jajablog, sampai lolodok. Percaya atau tidak, itu semua artinya “ makan”. Mungkin ini adalah salah satu indikasi bahwa orang Sunda doyan makan. Hehehe…
Di Bandung, Tahu Cibuntu, adalah menu wajib di keluargaku. Kalau kondisi keuangan sedang menipis, yaa tahu yang berasal dari drum biru si Mamang yang suka lewat juga bakal terasa lebih enak. Di samping tahu memang rasanya memang enak dan unik, tentu saja karena membeli daging setiap hari bisa membuat gaji ayah dan ibuku tidak akan bertahan sampai akhir bulan.
Sesudah hijrah ke Cilegon pun, aku masih meminta menu wajib yang harus disiapkan oleh orang rumah, tahu Cibuntu goreng yang dibelah diagonal dan sambel terasi. Hmm…Maknyooss..
Tahu di Cilegon tidak enak di lidah. Katanya sih karena kualitas air di daerah Banten kurang begitu bagus, sehingga berpengaruh juga ke kualitas tahu yang dibuat. Kalau kata orang Sunda, rasanya “Pahang”. Secara, lidahku yang terbiasa makan tahu yang rasanya super legit, kenyal, seperti tahu Yun Yi dan tahu Cibuntu ini pasti standarnya sudah terbang tinggi.
Aku bersedia memakan tahu di Cilegon pun terpaksa, jika aku sudah tidak kuat karena sakau tahu. Yang paling sering di warteg dekat rumah kontrakanku. Itu pun karena “ apap pun bahan makanannya, bumbunya pasti selalu sama”.
Eh, ternyata tidak semua tahu di cilegon tidak enak. Tahu Sumedang yang di jalan raya Ciwandan-Anyer. Super kremes dan renyah. Apalagi jika dibungkus oleh kertas koran dan diwadahi oleh keresek hitam yang masih berbau sendal jepit itu . Mantap dan enak, tapi sayangnya ya itu, timbal di kertas koran dan bau sendal jepitnya katanya sih bahaya.
Ketika akan berangkat ke Qatar pun, kegelisahan melanda jiwa, dan galau mulai merasuki hati. Kegelisahan dengan kenyataan bahwa secara logika, tidak mungkin ada tukang tahu di tengah gurun. Galau ketika mengingat bahwa paling cepat aku bisa pulang ke Bandung dalam waktu 4 bulan.
Tak disangka dan tak diduga, sebulan sebelum berangkat seniorku di kantor (tadinya mau disebut pabrik, tapi terbacanya kurang keren) menunjukkan sehelai potongan koran.
Potongan tulisan itu berisi tentang seorang pengusaha tahu sukses di Qatar. Tukang tahu yang di Indonesia dianggap sebelah mata, dan penghasilan yang tidak seberapa, buat si akang dan istrinya ini adalah sumber penghasilan yang luar biasa. Dalam satu bulan, omset tahunya bisa puluhan juta.
Bayangkan saja, tahu itu harganya menurut kita tidak seberapa dan di Indonesia dianggap makanan orang miskin yang tidak mampu membeli daging. Di depan garasi rumah pasangan “Tukang Tahu” ini telah berdiri dengan gagahnya sebuah Land Cruiser berwarna perak didampingi oleh anggunnya sebuah sedan berwarna putih mutiara.
Anda tidak salah membaca, dan juga bukan salah ketik. Land Cruiser!
Land Cruiser di Indonesia harganya bisa milyaran rupiah. Kata teman, di Indonesia, hanya bupati atau anak bupati saja yang mempunyai Land Cruiser.
Dan luar biasanya lagi, ternyata tahu buatan si Akang ini enak bangett… Hanya beda tipis dengan tahu mengkel buatan langganan Ibuku di Bandung itu. Jangan tanya jika dibandingkan dengan tahu buatan Cilegon/Serang deh, karena rasanya pasti akan terasa seperti bumi dan langit.
Ahhhaaaa…! Ada tahu di Qatar Euyy…!
Hidup Tahu!
(didaytea/020512)