Doha- Qatar
Oleh Diday Tea
“Tidak ada yang berbeda pada sepasang remaja yang dikenalkan oleh temanku itu. Mereka terlihat seperti orang Indonesia pada umumnya yang berkulit sawo matang. Perbedaan yang sangat nyata baru kurasakan ketika beberapa saat kemudian bertengkar memperebutkan sesuatu”
Gagap Berbahasa Indonesia
Bahasa yang mereka gunakan bukan bahasa Indonesia, bahasa Sunda, atau bahasa daerah lainnya, tapi bahasa Inggris. Dan bahasa Inggris yang tertumpah dari kedua mulut dua anak remaja tanggung itu bukan sekedar bahasa Inggris, tapi bahasa Inggris dengan aksen British yang sangat kental. Saya hanya bisa melongo dan mencoba menyimak sebentar pertengkaran mereka yang lumayan seru, walau pun pada akhirnya saya menyerah, ketika mereka sudah bicara terlalu cepat. Ayah mereka pun hanya bisa tersenyum simpul melihat saya yang berusaha keras memicingkan telinga untuk sekedar menangkap kata- kata yang berhamburan dari kedua anaknya.
Timbul pertanyaan pada diri saya, apakah jika suatu saat mereka kembali ke tanah air, mereka bisa berkomunikasi dengan baik dengan bahasa Ibunya?
Berbicara bahasa Ibunya pun mereka sudah kepayahan, apalagi merambah jauh ke dalam dunia literasi yang memerlukan kemampuan berbahasa yang bukan sekedar seadanya dan “asal bisa nyambung”.
Mungkin saja orangtuanya memang mempunyai rencana jangka panjang agar anaknya kelak memang akan bekerja dan hidup di luar negeri seperti mereka. Dan sangat mungkin juga mereka memang berniat untuk berdiaspora di negeri orang, pergi tak kembali.
Jangan Melupakan Jati Diri
Biar bagaimana pun, dan selama apa pun, para ekpatriat Indonesia yang bekerja di luar negeri ini tetap adalah orang Indonesia, walau pun sudah tidak menjadi Warga Negara Indonesia lagi. Suatu saat, mereka akan ingat bahwa mereka lahir di Indonesia, atau hanya sekedar memiliki orang tua Indonesia, dan pernah menginjakkan kaki di Indonesia.
Mereka bisa sangat bangga ketika bisa mengajari anak- anaknya untuk mementaskan kesenian daerah, atau memakaikan pakaian adat di International Day sekolah anak- anaknya.
Mereka sangat bangga karena memiliki keragaman budaya yang luar biasa yang membuat warga negara lain terkagum- kagum dan terpesona.
Mereka sangat bangga ketika para karya para fotografer professional memajang keindahan alam Indonesia yang luar biasa di sebuah galeri seni paling terkenal di Qatar.
Perasaan bangga yang luar biasa juga ketika kalimat “ from Indonesia” terdengar setelah salah seorang warga negara Indonesia memenangi sebuah penghargaan fotografi paling bergengsi di Qatar.
Akan ada perasaan rindu untuk pulang. Akan ada perasaan ingin membantu memperbaiki kondisi Indonesia ke arah yang lebih baik ketika membaca berita- berita buruk tentang tanah airnya di media online dan televisi.
Memulai Perubahan dari Luar Negeri
Tahun 2007, di tempat saya bekerja, orang Indonesia tidak lebih dari 25 orang. Tapi sekarang, sudah lebih dari seratus orang. Sejak itu pula, dimulailah “eksodus” kecil-kecilan tenaga kerja professional dari Indonesia. Walau pun tidak sebanyak orang India dan Filipina, tapi sejak saat itu keberadaan tenaga kerja professional asal Indonesia mulai diperhitungkan.
Berdasarkan data dari KBRI Doha, di Qatar ada 35.000 tenaga kerja Indonesia yang 6000 di antaranya adalah tenaga kerja profesional, yang menjabat level teknisi sampai level manajerial di perusahaan- perusahaan yang tersebar di Qatar.
Ini adalah potensi yang luar biasa besar.
Setelah KBRI Doha memfasilitasi kegiatan Gempa Literasi Asia bersama Gol A Gong dan Tias Tatanka, timbul gagasan besar di dalam pikiran saya.
Saya merasa bahwa ini adalah saatnya menggaungkan “Gerakan Literasi Dunia Menuju Indonesia Membaca”, yang digawangi oleh orang – orang Indonesia yang bekerja dan tersebar di seluruh dunia.
Dengan kekuatan finansial dan tidak ada lagi istilah “jatah buku berebut dengan jatah beras”, seharusnya para orang tua yang bekerja di luar negeri bisa mengenalkan dunia literasi kepada anak- anaknya.
Menyediakan perpustakaan pribadi yang berisi buku- buku karya penulis Indonesia, dari zaman Angkatan 45 sampai zaman Raditya Dika seharusnya tidak sulit. Agar anak- anak mereka tahu dan mengenal bangsanya lewat karya sastra, dan mungkin kelak akan memberi pengaruh besar untuk kemajuan bangsa Indonesia dengan perannya masing- masing.
Dengan kekuatan finansial ini juga, mereka seharusnya bisa berperan lebih besar dengan membuat taman bacaan gratis di lingkungan kampung halaman mereka.
Siapa yang tahu kalau ternyata perubahan Indonesia yang lebih baik malah dimulai dari gerakan- gerakan literasi dari orang- orang Indonesia yang tinggal di luar negeri.
Tidak hanya menambah devisa negara dengan mentransfer puluhan juta rupiah setiap bulan, tapi kita juga bisa menggiatkan dunia literasi di luar negeri untuk merubah bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Diday Tea, salah seorang tenaga kerja professional Indonesia di Qatar
26 April 2012