“Gagal dalam persiapan, sama saja dengan mempersiapkan diri untuk gagal”
Tidak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa aku akan menjadi ketua panitia dari sebuah acara workshop menulis. Dan bukan sembarang workshop, tapi workshop yang merupakan rangkaian dari acara Gempa Literasi Asia yang dilakukan oleh penulis besar di Indonesia, Gol A Gong dan Tias Tatanka.
“Todongan” menjadi ketua panitia pertama kali diajukan oleh staff Pensosbud di KBRI Doha, alasannya ya karena aku yang mengajukan proposal untuk acara tersebut dan pada tanggal workshop diadakan nanti, hampir seluruh staff KBRI akan disibukkan oleh UNCTAD XIII. KBRI hanya akan memfasilitasi acara, sedangkan hal- hal teknis harus ditangani oleh panitia kecil.
Tadinya sih Aku senang saja, tidak ada beban apa pun di pikiranku. Yang ada malah euforia melanda diriku, karena akhirnya aku bisa mewujudkan impianku sejak tiba di Qatar 4 tahun yang lalu, mendatangkan Gol A Gong ke Qatar.
Firasat buruk mulai datang ketika kami mendiskusikan jadwal acara pada hari H.
Di selembar kertas itu tercantum agenda “Sambutan Ketua Panitia”.
“Waduh..! Gawat” Kataku dalam hati.
Aku kan paling tidak bisa berbicara di depan umum. Aku masih trauma ketika SMP dulu mengikuti lomba ceramah di mesjid dekat rumah.
Bukannya berceramah, ketika itu aku hanya bisa tertunduk membaca teks ceramah dengan tangan bergetar dan menahan bulir- bulir keringat agar tidak jatuh, dengan terus menerus menyeka pelipisku dengan tangan baju koko putih yang kupakai.
Gagal total.
Walau pun aku hanya harus membaca teks yang kupegang, tapi kata-kataku terdengar tidak jelas oleh penonton, sehingga mereka protes sambil ber”huuuuuuuuuu..” ria setengah mengejekkku.
Ingin sekali aku menghindar dari acara sambutan itu, atau menyuruh panitia lain yang maju.
Aku punya kekurangan. Seringkali aku berbicara terlalu cepat dan sedikit tergagap. Kata orangtuaku sih, itu salah satu ciri- ciri orang cerdas. Hehehe…
Kali ini aku bertekad harus bisa.
Kuyakinkan diriku bahwa sambutan ketua ini tidak begitu penting, dan peserta workshop pun tidak akan begitu memperhatikan.
Persiapan yang kulakukan hanya sekedar membuat outline hal- hal yang akan kusampaikan ketika sambutan nanti.
Aku coba juga mengetik semacam naskah pidato. Tadinya sih mau kucoba berlatih di depan cermin. Tapi sampai hari H, aku tidak sempat karena sibuk mengantar Gol A Gong dan istrinya.
Malam sebelum acara pun aku terlalu lelah untuk berlatih, bahkan hanya untuk sekedar membaca contekan pun aku tidak sempat.
Sebelum berangkat ke tempat acara itu berlangsung, akhirnya kuputuskan untuk “gimana nanti aja deh”. Toh aku masih ada contekan yang sudah kubuat, kan tinggal dibaca nanti di atas mimbar.
Sampai MC membuka acara sih aku masih tenang dan yakin bahwa aku akan bisa membawakan sambutan dengan sukses.
Ketika sedang asyik melamunkan sambutan yang akan kubawakan nanti, tiba- tiba suara sang MC seperti halilintar yang menyambar kepalaku.
Dia tiba- tiba memanggil namaku untuk naik ke atas panggung! Ternyata sambutan yang pertama yang tadinya kukira dari perwakilan KBRI, adalah sambutan dari Ketua Panitia.
“Gaawwaatt nih…!” Lamunanku langsung buyar dan hancur berantakan. Tanganku yang sedang memegang contekan pun langsung bergetar.
“Lho, kok sekarang?” Aku bertanya- tanya dalam hati.
Sambil berjalan ke arah mimbar pun hatiku masih bertanya- tanya.
Dan benar saja, walau pun tidak separah ketika aku mengikuti lomba ceramah dulu, tapi kali ini aku terkena sindrom yang sama.
Demam panggung. Demam mimbar.
Aku berbicara terlalu cepat. Seperti meracau. Entahlah, aku rasa puluhan peserta di depanku itu tidak mengerti semua yang aku ucapkan, walau pun mereka bisa membaca salam pembukaku dengan lantang.
Walau pun contekan sudah kupegang, dan sudah kutarik nafas sedalam- dalamnya, tetap saja tanganku bergetar, mulutku sempat kelu beberapa saat. Jantungku menghentak kencang seperti hendak meloncat keluar dari dada.
Ketika selesai, ada temanku yang sedikit meledek.
“Barusan tadi adalah sambutan tersingkat yang pernah kudengar lho…!” Katanya sambil tersenyum.
Aku hanya bisa tersenyum getir dan menunduk karena saking malunya.
Lain kali aku harus mempersiapkan diriku lebih baik lagi.
Karena aku tidak akan bisa menghindar. Suatu saat aku pasti akan menghadapi situasi yang sama dengan hari itu, ketika mau tidak mau harus berbicara di depan umum.
Aku rasa penyumbang terbesar kegagalan sambutanku itu hanya masalah persiapan saja. Rasa gugup dan gemetar itu aku rasa tidak akan datang jika aku tidak terlalu kaget karena tidak menduga akan naik panggung lebih dulu dari perwakilan KBRI.
Seperti Aa Gym bilang di salah satu ceramahnya: “Gagal dalam persiapan, sama saja dengan mempersiapkan diri kita untuk gagal”
Didaytea
290412