Usus Buntu Gadungan

 

“Kondisi tubuh seringkali bergantung kepada suasana hati. Hati yang galau akan membuat tubuh menimbulkan penyakit yang tidak jelas.

Diagnosa Awal

Baru saja kurebahkan tubuh kerempengku yang sudah kelelahan sepulang dari shift malam itu di atas kasur palembang berwarna biru yang sudah lepek , ketika tiba- tiba perutku sebelah kanan bawah terasa sakit luar biasa. Sakit dan pedih seperti ada puluhan jarum yang menusuk- nusuk. Seperti ada yang meregangkan otot- otot di dalam sana.

Sakit itu tidak seperti biasanya. Kalau hanya mules dan pedih di ulu hati sih, itu sudah biasa. Dengan statusku sebagai anak kos, tentu saja makan sering tidak teratur.

Ketika sakit ini tiba, aku sedikit khawatir, karena aku pernah membaca bahwa sakit perut kanan bawah itu mungkin adalah gejala dari infeksi usus buntu.

Gawat..! Aku harus segera ke klinik nih!”

Sambil menahan sakit, kupaksa tubuhku untuk berdiri. Dan kubawa tubuh ini menuju ke pangkalan angkot terdekat.

Untungnya tidak lama kemudian sudah ada angkot berwarna Ungu yang selalu setia mengantarku ke mana pun tujuanku di Cilegon itu yang menghampiri.

Setibanya di klinik itu, aku langsung mendaftar ke dokter jaga, karena di situ tidak ada dokter spesialis penyakit dalam.

“Selamat pagi Dokter!” Sapaku sambil meringis dan memegang perut dengan kedua tangan, dan agak sedikit membungkuk.

“Selamat pagi! Sini langsung berbaring!” Dokter muda yang mengenakan jilbab berwarna pink itu langsung terlihat khawatir ketika melihatku meringis kesakitan.

“Kenapa perutnya?’ Tanyanya.

“Tidak tahu Dok, tadi tiba- tiba perut saya, bagian kanan bawah terasa sakit banget, pedih!” Kataku sambil membaringkan badanku di atas ranjang pemeriksaan.

Ibu Dokter tidak menjawab. Dia hanya mengambil stetoskop dan alat pengukur tekanan darah, lalu melakukan prosedur rutin.

“Tolong buka kausnya!” Pinta Ibu Dokter.

Setelah itu dia langsung menekan perutku, tepat di bagian yang sakit.

“Ahhh…..!” Aku langsung bangkit, dan hampir terduduk.

“Maaf. Sakit banget ya?” Tanya Ibu Dokter.

“Saya harus memeriksa dengan cara seperti ini. Karena saya takutkan kamu terkena infeksi usus buntu” Katanya lagi.

“Tahan ya!” Katanya sambil menekan lagi perutku.

“Ketika ditekan sakit?” Tanyanya lagi.

“Sakit banget…” Jawabku lemas.

“Ketika tekanannya dilepas, sakit juga?” Dia bertanya lagi.

“Iya Dok, sakit juga..” Kujawab lagi.

Kali ini muka Ibu Dokter mulai terlihat khawatir.

“Saya cek satu parameter lagi ya!” Katanya sambil mengangkat kaki kananku, sampai paha kananku hampir menempel ke perutku.

“Ahhhh….!” Aku hampir berteriak, karena sakit di perutku hampir sama dengan ketika perutku ditekan.

“Waduh, gawat Pak! Ini positif usus buntu!” Katanya dengan sedikit panik.

“Langsung saya rujuk ke rumah sakit ya! Ini harus segera dioperasi, kalau tidak bisa berakibat fatal!” Katanya dengan sedikit panik, dan sambil terburu- buru menulis surat rujukan ke rumah sakit terbesar di kota Cilegon.

Aku tidak bisa berkata- kata dan hanya menatap kosong langit- langit ruangan periksa.

“Ini suratnya, silahkan langsung saja ke rumah sakit ya! Ingat, ini ini harus dioperasi sekarang juga, kalau tidak bisa gawat!” Kata Ibu Dokter itu, masih dengan raut muka yang panik dan cemas.

“Iya Dok, makasih banyak ya..” Jawabku dengan lemas dan melangkah gontai ke luar dari ruangan periksa itu.

Untuk beberapa saat, aku biarkan tubuhku mematung di atas kursi halte di depan klinik. Tatapanku kosong menatap kertas rekomendasi rawat inap dari dokter di kliniktadi. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

“Waduuh, gawat ini mah euy! Aku kena usus buntu..!” Umpatku dalam hati sambil tetap meringis menahan pedih di perutku yang tak kunjung reda.

Yang ada di pikiranku saat itu hanya Ibuku. Ibuku adalah seorang perawat di sebuah rumah sakit swasta di Bandung. Minimal dia bisa bertanya kepada dokter di sana. Secepat kilat kupijit nomor hape ibu.

Second Opinion

            Alhamdulillah, ternyata keputusanku untuk menelepon ibuku sangat tepat. Ternyata bukannya langsung menyuruhku untuk pergi ke rumah sakit untuk dioperasi sesuai rujukan dokter di klinik, aku malah disuruh untuk mencari second opinion. Ibuku menyuruhku untuk berobat ke dokter spesialis penyakit dalam.

Akhirnya aku tetap pergi ke rumah sakit.

Anehnya, rasa pedih di dalam perutku agak berkurang. Sepanjang perjalanan di dalam angkot berwarna Ungu itu, rasa sakitku sedikit demi sedikit mulai menghilang.

Sesampainya di rumah sakit, langsung saja aku mendaftar di bagian spesialis penyakit dalam.

Tidak pake lama, giliranku pun tiba.

Aku terangkan saja pada dokter spesialis itu kejadian tadi pagi dan termasuk rekomendasi untuk “operasi dengan segera” dari sang dokter di klinik dekat rumah kontrakanku.

Dokter yang perawakannya tidak jauh beda seperti dokter selebritis spesialis kandungan, dokter Boyke itu, melakukan prosedur pemeriksaan yang sama. Dari tes nyeri tekan dan nyeri lepas, sampai lutut kananku yang diangkat ke arah perut. Alhamdulillah, pada saat pemeriksaan kali ini, rasa sakit itu sudah jauh berkurang. Tapi tetap saja masih ada sakit dan pedih.

Walau pun begitu, tapi aku tetap harus menjalani prosedur pemeriksaan yang lengkap, untuk memastikan apa penyebab rasa nyeri yang melanda begitu hebat di dalam perutku itu.

            Aku harus menjalani semua tes laboratorium, dari urine, darah hingga feses.

Kata pak Dokter, hasilnya akan bisa diketahui setelah dua hari. Tapi, hari itu juga aku harus menjalani tes yang lain, tes Ultrasonografi (USG). Ya! Anda tidak salah baca.Aku harus menjalani USG, layaknya ibu- ibu hamil saja.

Dan benar saja, ketika antri di bagian USG, aku mengantri bersamaan dengan para ibu- ibu hamil. Hanya aku saja pria yang duduk di situ.

Walau pun aku memasang pose yang sama dengan ibu- ibu itu-duduk menyender di kursi, muka menunduk, dan tangan sesekali mengelus- ngelus perut-tapi tetap saja, aku tetap terlihat mencolok di dalam antrian itu. Ibu- ibu hamil itu malah cekikikan dan berbisik- bisik tidak jelas melihatku yang berwajah muram, sambil mengusap- ngusap perutku yang sebenarnya sudah tidak terasa sakit lagi.

Hasil USG pun ternyata tidak menunjukkan masalah apa- apa.

Dan setelah semua hasil selesai pun, dokter belum bisa memutuskan apa yang menyebabkan rasa sakit di perutku. Walau pun pada akhirnya dia mengambil kesimpulan, itu pun hanya sebatas kemungkinan, bahwa (mungking) ada otot di dalam perutku yang robek.

Kutinggalkan rumah sakit dengan kepala dipenuhi keraguan.

“Otot yang robek..?” Ah, benar- benar tidak jelas.

            Malam itu juga, kuputuskan untuk pulang ke Bandung.

Dr Li

Sebelum subuh, aku sudah tiba di terminal Leuwipanjang dan di sambut oleh sejuknya udara kota Bandung ketika pintu bis terbuka dengan perlahan. Setiap kali udara sejuk kuhela masuk ke dalam paru- paruku, badanku terasa semakin segar.

Setelah beristirahat sebentar, sholat subuh dan sarapan bubur ayam idolaku di kampung halaman, Ibu segera mengajakku ke rumah sakit.

Tidak lupa kubawa juga sebundel hasil Xray, USG, Hasil tes darah, urine dan feses kubawa dengan untuk diperlihatkan ke dokter Li.

Dokter Li ini adalah dokter yang sudah merawatku sejak bayi. Tongkrongannya sih menurutku lebih mirip ahli kungfu. Tubuh yang tinggi besar, tatapan mata yang tajam, serta sepasang tangan yang kokoh tidak menampakkan kalau dia sudah berumur lebih dari 80 tahun (kata ibuku sih). Tadinya sih aku tidak percaya, karena kulihat dia setiap tahun selalu mengikuti acara lomba lari 10 kilometer yang diadakan oleh rumah sakit tempat ibuku bekerja. Dan tidak hanya sekedar berpartisipasi, dokter Li betul- betul berlomba dengan peserta yang lain.

“Aa, ayo, itu sudah dipanggil sama dokter Li!” Tak sampai lima menit, aku sudah dipanggil oleh ibu ke dalam ruangan dokter Li.

Ketika aku dan Ibu memasuki ruangan, kulihat dokter Li sedang membolak- balik lembar demi lembar hasil testku di rumah sakit Cilegon.

Semoga tidak ada yang serius..” Gumamku perlahan.

“Tolong suruh anak kamu tiduran di ranjang periksa..!” Kata dokter Li sambil menyimpan setumpuk kertas dan hasil X-Ray dan USGku di atas meja kerjanya yang mungil.

Tak berapa lama, dokter Li menghampiriku dan memegang pergelangan tanganku. Persis seperti adegan ketika Wong Fei Hung memeriksa denyut nadi muridnya yang cedera. Dan ternyata hanya itu saja yang dia lakukan.

Aku heran.

Kali ini dia sama sekali tidak menggunakan stetoskopnya, apalagi melakukan pemeriksaan gejala usus buntu seperti dokter di Cilegon.

Seperti biasanya, dokter Li hampir tidak pernah bicara secara langsung kepadaku, selalu saja dia berbicara kepada ibuku.

“Gimana Dok, anak saya kenapa?” Tanya Ibuku penasaran.

Dokter Li, tidak menjawab. Hanya matanya saja yang menatapku tajam, tapi segurat senyum tiba- tiba terbit di ujung bibirnya, walau pun tidak sampai bisa mengangkat pipinya yang sudah keriput dimakan umur.

Neng, anak maneh mah lain gering apendisitis, mun henteu keur patah hati, pasti keur hayang kawin..!” Katanya dengan kencang, sambil tiba- tiba tertawa terkekeh- kekeh dan setengah melemparkan tumpukan dokumen hasil testku di Cilegon ke arah aku dan ibuku.

(Neng, anak kamu itu bukannya sakit apendisitis/usus buntu, kalau ngga lagi patah hati, pasti dia lagi pengen kawin..!)

Hadeuuh, dari mana dokter Li tahu kalau sejak seminggu yang lalu aku sedang galau karena gadis yang kucintai dinikahi sama orang lain ya?

Satria Bergitar

Image

“Seringkali, keinginan untuk sekedar dipuji oleh orang lain membuat kita tidak lagi berhitung dengan logika dan berpikir dengan menggunakan akal sehat” 

Jaman SMP dahulu, cowok yang dianggap paling keren sedunia adalah cowok yang bisa bermain gitar. Sehingga bisa mengiringi cewek- cewek itu untuk bernyanyi. Sangat dimaklum sekali , karena cewek- cewek SMP umur belasan tahun masih sedang masanya menggemari artis, penyanyi, yang ganteng, cantik, dan bersuara bagus. Ah, tapi sampai sekarang pun rasanya para ababil (abg labil) itu masih seperti itu. Hanya berbeda tempat dan waktu saja.

Pada saat itu lagu yang sedang in adalah lagunya Gigi yang berjudul “Janji”.

Saat ini ku mencoba 

Lingkari hari

Dengan janji

Untuk
wujudkan

Semua impian

Yang slalu menggoda

Slalu menggoda haaa..

 

Hampir setiap hari di jam istirahat antar mata pelajaran, dan jam pulang, ketika aku berjalan melewati belasan kelas di lorong sekolahku itu, hanya genjrengan gitar dan nyanyian si “Janji” ini yang kudengar.

“Modus Operandi”-nya selalu sama. Cowok bergitar dikelilingi beberapa orang lawan jenisnya dan kadang diiringi oleh gitaris lain.

Untuk diriku yang belum pernah menjadi pusat perhatian seperti cowok bergitar itu, hal tersebut hanya ada dalam mimpi dan khayalan tingkat tinggi saja. Hampir mustahil itu akan terjadi.

Pada suatu hari, ketika aku sedang bergegas berjalan melewati lorong kelas anak- anak yang baru masuk, ada salah satu adik kelas yang kalau dilihat, menimbulkan semacam perasaan aneh yang tiba- tiba merambat di sekujur tubuhku. Seperti perasaan nyetrum- nyetrum gitu deh. Yang kata Si Boim, dari mata turun ke hati. Mungkin itu ya, yang namanya cinta Babon. Kalau cinta monyet kan sudah terlalu umum. Cinta Babon ini versiku sendiri, untuk menggambarkan cinta monyet yang masih sangat mentah.

Aku lihat ternyata dia juga suka bergabung di kumpulan “genjreng- genjreng” itu.

Naluri puber remajaku ternyata mulai menyala. Naluri yang mendorong keinginan untuk  diperhatikan oleh lawan jenis.

Kayanya bakal keren banget, kalau misalnya aku tiba- tiba bawa gitar dan bisa duduk di teras depan kelas, lalu mengiringi si Neng Geulis itu ya?” Aku berbicara sendirian dalam hati sambil cengar- cengir ngga jelas.

Pokoknya sepanjang perjalanan dari sekolah ke rumah, aku tidak berhenti mengatur siasat, strategi dan SOP yang akan aku siapkan agar rencanaku bisa berjalan mulus.

Mencari gitar. Belajar main gitar, minimal lagunya Gigi yang judulnya Janji itu. Bawa  ke sekolah. Keluar pas jam istirahat. Pura- pura mau ke arah kantin, padahal berhenti di depan teras kelas anak si Neng Geulis itu. Pasang aksi nyetel gitar, dan genjreng- genjreng deh lagu Janji buat umpan. Dan si Neng Geulis dan teman- temannya pasti akan sukses terpesona oleh kelihaianku. “Hihihi, passti keren banget…!” Lagi- lagi aku melamun sambil cengar-cengir sendirian.

Langkah pertama, mencari gitar.

Ternyata ada salah satu tetanggaku yang mempunyai gitar yang sangat bagus. Berwarna keperakan, dan dengan bentuk yang tidak biasa seperti gitar biasa pada umumnya yang berwarna coklat muda, atau tua dan berbentuk Spanish Guitar. Salah satu ujungnya meruncing, berbentuk seperti tanduk. Dan yang paling keren, gitar ini dicat berwarna perak mengkilat, yang akan terlihat sangat mengkilat jika diterpa sinar matahari.

Karena dia teman mengajiku di mesjid, dia langsung memberikan gitar itu setelah kujawab pertanyaannya.

“Emang kamu bisa main gitar?” Tanya temanku itu.

“Ya engga lah, justru ini minjem gitar kamu ini ya mau mulai belajar” Jawabku sambil berpose dengan sok keren seperti anggota The Eagles yang sedang membawakan Hotel California.

“Ya udah atuh bawa aja gitar itu, tapi jangan lama- lama ya! Takutnya mau dipake tuh!” Jawab dia lagi.

Aku melangkah keluar dengan rasa bangga dan pede luar biasa. Padahal sampai detik itu aku belum bisa sedikit pun bermain gitar.

Dasar ababil!

Hari demi hari kuhabiskan waktuku berjam- jam hanya untuk mempelajari cord dan genjrengan lagu Janji. Seringkali aku ditegur oleh kedua orang tua dan adikku karena suara gitar yang terlalu bising.

Ah, ternyata tidak semudah yang aku duga.

Setelah hampir dua minggu belajar, belum ada perkembangan yang berarti.

Ternyata menghafal cord saja tidak cukup. Yang paling sulit belajar gitar itu ya cara menggenjreng dan memetiknya.

Akhirnya lagu itu malah terdengar lucu.

Genjrengan gitar dan syairnya sama sekali tidak sinkron dan tentu saja sama sekali jauh dari penyanyi aslinya.

Setelah seminggu lagi berjuang untuk mempelajari lagu tersebut, akhirnya aku menyerah. Tapi kali ini agak mendingan, setidaknya bait pertama agak mendekati lagu Janji yang aslinya.

Hari Senin, hari pertama sekolah, adalah hari yang kuputuskan untuk mengkerenkan diriku di hadapan para adik- adik kelas, terutama si Neng Geulis, yang sampai detik itu pun aku tidak tahu namanya.

Dengan berjalan seperti satria berkuda yang sedang membawa tombak untuk berperang, siang itu aku berangkat ke sekolah.

Entah kenapa, sepanjang jalan aku merasa seperti semua orang yang kutemui di perjalanan seolah seperti memperhatikanku, mengagumiku. Bagaimana tidak, gitar itu seolah berkilauan diterpa oleh teriknya sinar matahari. Dari jauh pun orang akan bisa melihat kilauan gitar pinjaman itu.

Dan benar saja. Persis seperti yang kubayangkan.

Baru saja melangkahkan kaki di depan gerbang sekolah, sudah ada beberapa teman satu kelasku yang menghampiriku karena terkagum- kagum oleh gitar yang kubawa.

Begitu tiba di kelas, langsung kusimpan gitar itu di bawah meja belajar dengan sedikit terburu- buru agar tidak menjadi pusat perhatian lagi seperti di depan gerbang tadi.

Pokoknya, dua mata pelajaran pertama kujalani dengan sama sekali tidak fokus.

Aku hanya fokus pada gitar dan lagu yang akan kunyanyikan di depan anak- anak kelas baru nanti.

Begitu bel istirahat pergantian antar mata pelajaran itu berhenti, dengan sigap aku genggam leher gitar itu dan aku bergegas menuju arah kantin, agar segera bisa duduk di teras depan kelas si Neng Geulis yang kukagumi itu.

Beberapa temanku terlihat mengikutiku.

“Hmm..mungkin mereka ingin melihat kelihaianku bermain gitar…!” Gumamku dengan tatapan yang super pede.

Tak sampai satu menit, aku sudah berada di depan kelas si Neng Geulis.

Tanpa ba bi bu lagi, aku langsung duduk dan memasang pose keren seperti Eric Clapton yang bersiap-siap untuk mentas. Teman- teman sekelasku pun ikut- ikutan duduk di sampingku.

Seperti penari pendamping saja.

Dan lagi- lagi perkiraanku benar. Tak berapa lama kemudian, si Neng Geulis dan teman- temannya mulai berkumpul di sekitarku. Jelas saja, aku duduk menghadap sianr matahari, sehingga si gitar pinjaman itu pasti akan memantulkan kilauan cahayanya kemana-mana dan menarik perhatian.

“Janji dong, Janjii..!” Salah satu dari mereka mulai berteriak. Tidak histeris sih, dia berteriaknya juga biasa saja. Hehehe…

“Ahem..” Aku berdehem dengan sangat percaya diri, sambil mulai memasang pose yang sekeren mungkin.

Penonton pun terdiam, menunggu suara emas dari gitar itu, dan mungkin mereka bertanya- tanya, apakah suara gitar tersebut sekeren penampakkannya.

“Croeng…croeng…”

“Croeng..croeng…” Alih- alih suara merdu gitarnya Dewa Budjana yang keluar, malah suara aneh yang terdengar ketika gitar itu kugenjreng.

Mukaku langsung merah padam. Malu luar biasa.

“Adduuuhh…Kenapa ya? Perasaan tadi pagi suara gitar ini masih bagus?” Tanyaku dalam hati sambil menundukkan mukaku, karena tidak ingin dilihat.

Kucoba lagi beberapa kali, dan suara yang keluar tetap sama. Jelek banget. Malah mirip kecapi.

Penonton pun langsung bubar dan kompak ber-huuuu ria.

Tiba- tiba salah satu teman sekolahku menghampiri.

“Itu gitarnya belum disetem kali?” Tanyanya sambil mengambil gitar itu dari tanganku.

“Disetem? Apa itu?” Tanyaku dengan wajah kebingungan.

Dasar gitaris amatir.

“Ya senarnya ada yang terlalu kencang atau terlalu kendor. Mungkin tadi kamu tadi nyimpen gitarnya sembarangan. Atau tadi pagi ada yang iseng muter- muter senarnya.” Katanya sambil tangannya sibuk memutar- mutar kunci di gagang gitar itu.

Tak sampai lima menit, setelah dia memperbaiki gitarku, suarnya kembali seperti sebelumnya, bagus dan merdu.

Eh, ternyata temanku ini tidak langsung memberikan gitar itu kepadaku.

Dia malah memainkan gitar itu di depan mukaku.

Dan tidak sopannya, dia malah memainkan lagu yang tadinya akan kumainkan dengan niat ingin dipuji sama si Neng Geulis di depan kelasnya itu.

Waduuuh…ternyata dia sangat mahir memainkan lagu itu. Hampir sama seperti penyanyi aslinya. Dan bahkan dia juga bersuara bagus, hampir sama dengan Armand Maulana.

Dan tentu saja, akhirnya rencanaku gagal total.

Akhirnya aku harus menanggung malu dan menanggung perasaan gondok.

Malu karena aku ketahuan tidak bisa bermain gitar dan gondok karena akhirnya malah temanku itu yang dikerubuti oleh si Neng Geulis dan teman- temannya.

Ternyata ingin dipuji itu melelahkan dan malah membuat sengsara. Dan jika ternyata pada akhirnya kita mendapatkan pujian pun ternyata sama sekali tidak mendatangkan manfaat apa pun buat kita.

 

 

 

 

 

 

Sang Underdog

Image

“Seringkali orang yang kita remehkan pada kesan pertama, adalah orang yang sesungguhnya luar biasa, dan berprestasi jauh melebihi orang yang meremehkan”

            Ruangan kelas berisi 40 orang murid berseragam Putih- Merah yang riuh rendah oleh teriakan, tawa, cekikikan, canda dan obrolan itu tiba- tiba sunyi senyap, ketika pintu kelas itu terbuka perlahan- lahan, dan memperlihatkan bayangan seorang perempuan dewasa dan bayangan seorang anak kecil.

            Tak lama kemudian, Ibu Wali Kelas yang kami takuti karena beliau galak luar biasa, melangkah masuk perlahan sambil menuntun murid yang mukanya tidak pernah kami lihat sebelumnya di sekolah ini. Pagi ini ada yang berbeda. Beliau memasuki kelas tidak sendirian. Ada seorang anak kecil, dan dia benar- benar kecil. Maksudku, dia memang lebih pendek dan kecil disbanding teman- temanku di kelas.

            Dia diperkenalkan sebagai seorang murid baru, pindahan dari sebuah Sekolah Dasar yang tidak terlalu terkenal di Bandung. Kata temanku yang lain sih, Sekolah Dasar tempat dia berasal adalah “SD Kampung”. Iya lah, dibandingkan dengan sekolah kami yang berada tepat di tengah kota Bandung, Sekolah dasar mana pun pasti akan terlihat seperti berada di kampung.

            Tidak ada yang istimewa dari si anak baru ini. Hanya saja dia terlihat agak lusuh dan kurang terurus, walau pun seragam Putih- Merahnya terlihat masih baru. Dan juga, wajahnya juga tidak terlihat terlalu pintar, setidaknya menurut kami. Malahan, dia terkesan culun dan tidak mau bergaul. Mungkin dia malu dan gugup, sehingga mulutnya terlihat bergetar dan suaranya pun sedikit tergagap- gagap ketika berusaha memperkenalkan dirinya kepada kami.

            “Assalaamu’alaikum teman- teman, nama saya Deni, sss, saya, pi, ppi, pin, pindahan dari Sekolah Dasar Leuwigoong!” Katanya dengan sedikit tergagap dan menundukkan wajahnya.

            Seisi kelas langsung tertawa lepas, karena mendengar nama sekolahnya yang terdengar sangat lucu, Leuwigoong. 

Dia pindah ke sekolah kami di tengah- tengah ujian Catur Wulan. Ternyata materi- materi pelajaran yang sedang kami pelajari waktu itu belum diajarkan di sekolahnya. Kami lihat dia harus bekerja keras untuk mengejar ketertinggalan pelajaran.

Ada yang aneh di dalam diri si Deni ini, dia tidak pernah mau diajak bergabung di acara belajar bersama yang diadakan setiap minggu di rumah ibu Walik Kelas. Ketika orang lain sibuk mendaftar ke tempat bimbingan belajar di luar sekolah, atau mengikuti les khusus dengan guru di sekolah.

            Ada yang unik dari si Deni ini, entah kenapa, ketika orang lain berebut ingin duduk di belakang, dia malah aneh sendirian dengan selalu memilih tempat duduk di barisan paling depan, tepat di depan meja guru yang mengajar.

            Setiap kali ada ulangan pun, kami tidak pernah tahu berapa nilai yang dia dapat. Entah jelek atau bagus, karena air mukanya selalu terlihat biasa.

            Suatu hari kami melihatnya baru turun dengan susah payah dari sebuah Bis Damri yang penuh sesak oleh penumpang. Sekolah kami memang berdekatan dengan terminal terbesar di Bandung. Sehingga semua jurusan angkutan kota dan bis dalam kota dan bis luar kota pasti akan melewati jalan raya di depan sekolah kami.

            Ternyata itu penyebabnya dia selalu terlihat kelelahan dan lusuh, walau pun dia baru datang di pagi hari. Bagaimana tidak, dia bilang, dia harus berangkat dari rumahnya paling lambat jam 05:40, kalau tidak dia akan ketinggalan bis.

            Walau pun setelah beberapa minggu ini dia mulai bisa berbaur dengan kami, tapi kami masih belum bisa menerka- nerka bagaimana kemampuan belajar dia yang sebenarnya. Kami tak pernah tahu nilai- nilai ulangannya. Dia tidak pernah mau berbagi jawaban dengan orang lain, apalagi mencontek. Padahal seringkali kesempatan itu datang ketika guru meninggalkan ruangan. Dan dia pun tidak pernah bertanya kepada orang lain. Selain para guru membagikan hasil ulangan tersebut secara individu, dia juga tidak pernah mau dan berminat untuk membahasnya.

            Dia lumayan aktif di kelas, mau bertanya dan tidak malu untuk menjawab pertanyaan dari guru yang sedang mengajar, walau pun tentunya tidak selalu benar. Tidak jauh berbeda lah dengan murid- murid lain di kelas kami.

            Bahkan ketika ulangan umum.

            Seminggu menjelang ulangan umum, kami sih biasanya berebut dan saling “membooking” teman sekelas yang kami anggap pintar, terutama dua murid perempuan yang menjadi langganan juara di kelas kami, Intan dan Mirza.

            Mereka berdua, sejak kelas satu dan kelas empat, selalu menguasai ranking satu dan dua . Sisa murid yang lain hanya memperebutkan posisi tiga dan seterusnya saja.

            Mereka memang cerdas. Apalagi Intan, tiga saudaranya juga “bertabiat” sama. Kakaknya yang sudah kelas enam, dan adiknya yang sekarang masih kelas dua pun seperti itu. Sama- sama selalu menjadi juara kelas.

            Si Deni ini, aneh sendirian, dia tidak ikut “berebut” duduk bersama dengan para juara kelas. Di hari pertama ujian, dia memilih untuk duduk di posisi favoritnya, tepat di depan meja guru.

            Tidak ada seorang pun yang mau duduk bersamanya. Iya lah, siapa yang tidak segan duduk di depan meja guru pengawas di saat Ulangan Umum? Apalagi yang sudah berniat jahat untuk mencontek atau berusaha mencuri kesempatan untuk bekerja sama dengan murid yang lain.

            Selama satu minggu Ulangan Umum berlangsung, si Deni ini tetap duduk di posisi yang sama.

            Anehnya, dia tidak pernah berusaha untuk mencontek atau bekerja sama dengan murid yang lainnya. Dia selalu bersikap tenang dan cuek, bahkan ketika mata pelajaran Matematika dan IPA yang susahnya luar biasa. Sangat susah, sampai- sampai Intan dan Mirza, duet penguasa ranking satu dan dua pun harus mencuri- curi kesempatan untuk bisa bekerja sama mengerjakan soal- soal tersebut.

            Seminggu setelah Ulangan Umum berlalu, seperti biasa adalah pembagian raport di kelas kami. Ibu Wali Kelas seperti biasa juga akan memberikan wejangan dan petuahnya sebelum raport dibagikan.

            Seperti biasa , nasehat agar belajar lebih baik. Beliau juga menyebutkan data- data nilai siswa di kelas kami. Nilai rata- rata, nilai paling tinggi, dan nilai paling rendah untuk setiap pelajaran dengan lengkap beliau sebutkan.

            Acara intinya sih adalah penyebutan ranking di kelas kami. Biasanya beliau menyebutkan nama murid- murid dari ranking ke- satu sampai ke- sepuluh.

            Kami pada awalnya sih tidak terlalu antusias, karena kami menduga pasti hasilnya akan seperti biasa, Intan dan Mirza pasti akan menguasai posisi satu dan dua di kelas kami.

            Tapi alangkah terkejutnya kami ketika ibu Wali Kelas mengumumkan bahwa Catur Wulan ini ada kejutan. Ada tiga orang siswa yang memiliki nilai rata- rata tertinggi sama perssis.

            Sehingga untuk pertama kalinya dalam sejarah, di kelas kami akan ada tiga orang yang menduduki ranking satu!

            Suasana kelas yang tadinya sunyi dan membosankan pun tiba- tiba menjadi gaduh dan ribut. Semua orang bertanya- tanya siapakah orang ke- tiga yang bisa menyamai nilai Intan dan Mirza, yang notabene sudah menguasai posisi tertinggi di kelas kami sejak kelas satu.

            Alangkah terkejutnya kami ketika Ibu Wali Kelas mengumumkan nama ke- tiga murid tersebut:

            “Catur Wulan ini, ada tiga orang yang menduduki ranking satu, karena mereka memiliki nilai rata- rata yang sama. Siapakah mereka?” Tanya beliau, seakan sengaja mengulur waktu untuk membuat kami penasaran.

            “Ibu sangat bangga dengan prestasi ketiga anak ini, karena kejadian ini adalah baru pertama kalinya dalam sejarah sekolah kita, ada tiga orang yang menduduki ranking satu!” Si Ibu menambahkan dengan  penuh semangat.

            “Mari kita ucapkan selamat dan beri tepuk tangan kepada Intan Nurita!” Tepuk tangan yang sangat meriah pun membahana menyambut nama yang sudah tidak asing lagi.

            “Mirza Mahardia..!” Sebut si Ibu lagi.

            Kali ini tepuk tangannya tidak semeriah tadi, karena kami semua sudah menduga nama yang akan disebut pasti si Mirza.

            “Dan, Ibu sangat bangga, luar biasa bangga dengan murid ranking satu yang ketiga ini, karena Ibu tidak pernah menduga bahwa dia akan berprestasi setinggi ini. Di kelas ini, kelas favorit di sekolah kita. Kelas yang selalu meraih nilai rata- rata tertinggi di sekolah kita!” Si Ibu terus berbicara, seakan sengaja akan membuat kami semua penasaran.

            “Mari kita ucapkan selamat dan beri tepuk tangan yang sangat meriah kepada Deni Sucipta…!” Nama yang keluar dari mulut ibu Wali Kelas kami itu bagaikan geledek yang menyambar di siang bolong.

            Seisi kelas bukannya menyambut ajakan untuk bertepuk tangan, tapi malah terdiam sunyi beberapa saat.

            Tidak ada yang mempercayai, bahwa murid culun pindahan dari SD kampung itu, yang bahkan baru masuk di tengah- tengah Catur Wulan bisa menyamai Intan dan bahkan melewati Mirza, yang sudah sejak kelas satu selalu menduduki peringkat tertinggi di kelas kami. Luar biasa!

            Tapi keheningan itu tidak bertahan lama, tak lama kemudian teriakan, siulan, dan tepuk tangan langsung membahana menggetarkan ruangan kelas kami.

            Semua memberi selamat kepada sang Underdog yang sejak awal kami tidak perhitungkan akan ikut dalam persaingan yang sangat ketat di kelas kami ini.

 

 

 

The Avengers: Film Action Biasa+Humor Cerdas

 Image

__The_Avengers___Movie_Poster_by_themadbutcher

“Individu- individu yang berkarakter kuat dan egois, jika bisa disatukan akan membentuk sebuah tim yang super kuat” 

            Karena penasaran dengan rekor baru yang dicetak oleh The Avengers, dengan mencetak pendapatan di akhir pekan sebesar 200,3 juta Dollar, saya dan keluarga langsung meluncur ke bioskop terdekat.

            Siapa yang tidak tertarik ketika super hero sekelas Iron Man, Hulk, Captain America, dan Thor bergabung di dalam satu film? Black Widow, Nick Fury, Hawkeye, dan Loki menurut saya bukan super hero, karena mereka hanya “manusia biasa”, walau pun dengan peran yang luar biasa.

            Di The Avengers, anda akan mendapatkan semua yang anda harapkan dari sebuah film action.

Sepanjang film berlangsung sih tidak ada adegan action yang istimewa. Adegan standard dengan ledakan, dentuman, tabrakan, manusia/alien yang berterbangan, pertarungan di udara. Ah, pokoknya standar film action masa ini, gaya film Transformers.

            Hal yang menarik adalah proses para superhero ini menjadi sebuah tim. Lebih tepatnya konflik di antara ego mereka. Nick Fury, sang direktur S.H.I.E.L.D pun sampai kewalahan ketika mereka semua berdebat dalam waktu yang bersamaan.

            Di bagian awal, setiap superhero seolah berkutat dengan egonya masing- masing. Sehingga akhirnya berakhir dengan pertarungan Thor vs Iron Man, walau pun akhirnya mereka bisa dipisahkan oleh Captain America.

            Thor dengan misinya ingin mengingatkan adiknya agar tidak bersekutu dengan musuh.

            Captain America dengan bersikukuh ingin segera menemukan Tesserac yang disembunyikan oleh Loki di suatu tempat.

            Black Widow/ Agent Romanov, yang ingin menyelamatkan Hawkeye yang sudah disihir, sehingga mejadi sekutu Loki.

            Belum lagi Tony Stark, si Iron Man yang sedikit lebay.

            Walau pun pada akhirnya mereka semua akhirnya bersatu mempertahankan bumi serangan Alien- alien serupa Devastator-nya Transformers, tapi cara sang sutradara, Joss Whedon mengolah cerita proses penggabungan mereka menjadi sebuah tim sangatlah apik.

            Sisi manusia dari para superhero itu lumayan tersorot, tidak melulu hanya kekuatan super dan keistimewaan yang mereka miliki.

            Steve Rogers, sang Captain America, akhirnya muncul sebagai pemimpin rekan- rekannya. Belum lagi celetukan- celetukan lucu, yang tanpa saya duga bisa keluar dari para superhero.

            “Loki is my Brother..!”Teriak Thor, berusaha membela adiknya.

            “But He already killed 80 people in two days!”Teriak si cantik agent Romanov atau Black Widow.

            “He was adopted!” Si Thor akhirnya ngeles dengan sukses.

            Bahkan ada juga adegan humor slapstick, ketika si Hulk tiba- tiba memukul si Thor, padahal sebelumnya mereka bahu membahu menumpas serangan para alien.

            IMDB memberi rating 8.8 untuk film The Avengers, ini artinya film ini sangat layak untuk ditonton.

didaytea

Sedekah Receh Gratis (Do’a) Masuk Surga

Image

“Uang yang jumlahnya tidak seberapa untuk kita, kadang berarti segalanya untuk orang- orang miskin di luar sana”

 

            Sambil menunggu tiket keberangkatankku ke Qatar, aku mempunyai beberapa hari sebagai “pengangguran” karena aku sudah berhenti bekerja di perusahaan lamaku. Waktu itu kugunakan untuk membereskan barang- barang yang masih tersisa di rumah kontrakanku.

Seperti biasanya, pagi hari di Cilegon sudah terasa seperti jam sepuluh di Bandung, hawanya terasa sudah hangat- hangat kuku menjurus panas, dan pastinya dilengkapi kelembaban khas daerah yang dekat dengan pantai.

Agendaku hari itu adalah membuang semua barang tidak terpakai yang tidak akan bisa kubawa pulang ke Bandung.

Tak berapa lama, kardus- kardus televisi, mesin cuci, kulkas dan pemutar DVD yang tadinya tertumpuk rapi di pojok kamar mungilku, sudah berpindah ke teras depan rumah.

Karena debu sudah menumpuk tebal di sudut- sudut ruang tamu, aku tunda sebentar agenda beres- beres kardus dan barang bekas untuk menyapu setiap sudut ruangan di rumahku itu.

Ketika sedang menyapu hampir setiap debu yang nampak dengan tekun, tiba- tiba terdengar suara salam yang lantang daridepan rumahku:

“Assalaamu’alaikum..!” Suara seorang laki- laki setengah baya itu terdengar dengan lantang.

“Wa’alaikumsalaam!” Jawabku sambil berjalan keluar.

“Aih..gimana kabarnya Nong..?” Tanya si Bapak dengan wajah yang terlihat lusuh dan kelelahan. Nong, adalah panggilan akrab bahasa daerah Banten dari yang lebih tua kepada yang lebih muda. Nong ini harusnya panggilan untuk wanita, untuk pria sih seharusnya Teng, tapi entah kenapa, pedagang nasi uduk di dekat rumahku juga memanggil semua anak laki- laki dengan panggilan Nong juga. Termasuk si Bapak ini, memanggilku dengan sebutan Nong.

“Alhamdulillah Pak, sehat. Ada yang bisa saya bantu?” Tanyaku dengan muka penasaran. Aku belum pernah bertemu dengan si Bapak ini sebelumnya.

“Itu, kerdus- kerdus yang di teras mau dikemanain ya? Mau dijual atau mau dibuang?” Si Bapak dengan antusias.

Ternyata si Bapak itu adalah seorang pemulung, dia membawa sebuah sepeda ontel dengan dua buah karung goni besar yang dikaitkan di sisi kanan dan kiri sepedanya.

“Bapak beli semuanya boleh ya?” Dia bertanya lagi dengan wajah yang agak memelas sebelum sempat kujawab.

Kerdusnya masih bagus- bagus, bapak beli mahal deh!” Ujarnya lagi sambil berjalan masuk ke teras rumahku dan mulai memegang- megang kardus- kardus yang memang masih terlihat bagus dan bersih.

“Kalau Bapak mau ya ambil saja, tidak usah dibeli. Tadinya memang mau saya buang kok! Tuh di dalam masih ada, sebentar ya saya ambilkan lagi” Jawabku sambil masuk ke kamar mengambil kardus- kardus lain yang belum kukeluarkan.

“Beneran Nong? Bapak ngga usah bayar nih?” Tanya si Bapak pemulung tadi dengan muka berbinar- binar.            Hilang sudah wajah memelas dan kuyunya itu.

“Iya Pak, sok, ambil saja semuanya!” Jawabku sambil tersenyum.

Dan tak berapa lama si Bapak itu pun dengan cekatan mengambil karung besarnya dari sepeda, dan mulai melipat- lipat kardus- kardus bekas itu.

Buatku, kardus- kardus itu adalah sampah, tapi sepertinya, buat si Bapak itu kardus- kardus itu adalah “makan hari ini”. Karena kulihat mukanya sangat bahagia, jauh berbeda dengan wajahnya yang pertama kulihat.

Ah, tiba- tiba aku terpikir bahwa aku mempunyai beberapa helai sarung dan baju bekas yang juga rencananya akan kubuang. Aku tinggalkan saja si Bapak yang sedang asyik melipat- lipat kardus- kardus itu untuk mengambil baju dan sarung bekas.

Tak lama kemudian, kardus- kardus besar itu sudah terlipat dengan rapih di dalam karung besar, dan sudah tertumpuk dengan rapih di dua sisi sepeda ontel antik si Bapak pemulung itu.

“Bapak, saya punya sarung dan baju bekas. Bapak Mau?’ Tanyaku sambil berjalan keluar dari ruang tamu dan menyodorkan kantong plastik berisi dua helai sarung dan dua helai kemeja yang masih lumayan bagus.

“Beneran ini Nong?” Tanya si Bapak dengan terkejut.

“Ini kan masih bagus, Bapak kan cuma menerima barang rongsokan.” Ujar dia sambil berjongkok dan  membolak- balik kemeja dan sarung di dalam  kantong plastik itu.

“Iya Pak, sok itu buat Bapak, saya masih punya banyak. Dan beberapa hari lagi saya mau pulang ke Bandung, dan setelahnya langsung pergi ke luar negeri, alhamdulillah saya baru dapat pekerjaan di sana.” Jawabku sambil ikut berjongkok di sebelahnya.

“Alhamdulillaah…Bapak memang lagi ngga punya baju dan sarung. Punya Bapak sudah robek- robek dan kucel semuanya!” Ujar si Bapak dengan raut muka lebih bahagia lagi dari yang tadi kulihat, sambil mematut- matut dirinya di depan kaca ruang tamuku dengan kemeja yang kuberi.

“Hmmm…padahal itu hanya baju dan sarung bekas ya, tapi dia sudah bahagia seperti itu? Kesempatan nih, apa lagi ya yang bisa kuberikan buat si Bapak? ” Ucapku dalam hati sambil tersenyum- senyum melihat tingkah laku si Bapak yang seperti anak kecil yang baru saja diberi mainan baru.

Tiba- tiba aku teringat koleksi uang recehku di dalam toples. Uang- uang receh itu adalah kembalian dari supermarket, warung, warteg yang terkumpul selama beberapa tahun. Uang- uang receh di dalam toples itu adalah andalanku ketika aku kehabisan uang di tanggal tua. Uang- uang receh itu adalah penyambung hidupku ketika uangku habis sama sekali, walau pun hanya untuk sekedar membeli makan atau mie instan dari warung di sebrang rumahku.

Itu kan lumayan berat kalau dibawa ke Bandung, lagian, pasti repot banget kalau harus kutukar uang logam ratusan, lima puluhan dan lima ratusan itu. Entah berapa isinya sih, tapi kutaksir, paling banyak uang di dalam toples plastik itu hanya sekitar dua puluh ribuan.

Nong, Bapak mau pamit nih, makasih banyak ya!” Kata si Bapak itu sambil memeluk kantong plastik berisi kemeja dan sarung pemberianku.

“Sebentar Pak, saya masih punya sesuatu nih! Sini dulu sebentar, tunggu ya!” Kataku sambil berlalu ke dalam rumah untuk mengambil toples plastik berisi uang receh itu.

“Apalagi sih Nong? Ini juga udah kebanyakan sih, ngga usah ngerepotin lagi!” Jawab si Bapak sambil berjalan masuk lagi, dan kali ini dia duduk di teras.

“Bapak saya kasih uang mau ngga? Tapi Uangnya logam semua!” Tanyaku dengan sedikit ragu ragu.

“Uang Nong?” Tanya si Bapak dengan keheranan.

“Kalau uang mah ya Bapak terima aja, biar pun receh juga.” Ujar si Bapak lagi.

“Iya Pak, uang, masa koin buat ding- dong!” Jawabku sambil beranjak mendekati si Bapak.

“Ini Pak, uangnya,, tolong diterima ya, maaf saya ngasihnya receh!” Sambil kusodorkan toples plastik berisi setumpuk uang logam receh itu ke tangannya.

“Atuh Nooong, ini mah banyak banget..!” Kata si Bapak itu dengan terkejut. Tapi sesudah itu dia langsung terdiam.

Kupandangi dia beberapa saat. Dan lalu kulihat badannya seperti bergetar, dan dia mulai sesenggukan menangis. Dan dia tiba- tiba menjatuhkan badannya, dia bersujud di depanku!

“Eh, Bapak ngapain, kok pake sujud- sujud gitu segala? Kenapa Bapak menangis?” Tanyaku dengan terkejut dan heran.Dan langsung kuangkat badannya.

Nong, anak Bapak lagi sakit demam. Bapak sudah ngga punya duit lagi buat berobat. Sudah tiga hari bapak keliling komplek ini, tapi Bapak belum dapet apa- apa.” Jawabnya dengan terisak menahan tangis.

“Bapak sujud ingin bersyukur sama Allah Yang Maha Besar, Allah ngasih jalan biar Bapak lewat jalan ini biar ketemu sama Nong. Akhirnya Bapak bisa dapet kardus- kardus yang masih bagus.”

“Bapak udah cukup seneng dengan dikasih kardus- kardus itu Nong, karena pasti bakal laku mahal, karena masih pada bagus dan lumayan banyak.” Jawabnya lagi sambil menimang- nimang toples plastik berisi koin itu.

“Eh, ternyata Nong malah ngasih baju sama sarung yang masih bagus banget.”

“Dan sekarang, Nong malah nambahin juga ngasih uang sebanyak ini!” Ujarnya lagi sambil memandangi uang di dalam toples plastik itu dengan berkaca- kaca.

“Makasih banyak ya Nong, makasiiih banyak..!” Katanya lagi sambil memegang tanganku.

“Sama- sama Pak, semoga bermanfaat buat Bapak dan keluarga Bapak!” Jawabku, sambil menenangkan diri, karena mulai terbawa terharu oleh si Bapak.

“Bapak doain Nong biar terus sehat, panjang umur, rejekinya makin banyak, dan sedekah Nong hari ini sama Bapak bisa ngebawa Nong ke surga!” Kata si Bapak mengucapkan doa itu sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas, dan mengusap- ngusap kepalaku dengan lembut.

Selama beberapa menit, tak henti- hentinya si Bapak berurai air mata, bergumam dan berdoá sambil menengadahkan kedua tangannya.

“Duh, padahal semua benda pemberianku itu bisa dibilang ‘tidak berguna’, tapi buat si Bapak, dia seperti mendapatkan harta yang luar biasa banyak. Bahkan dia mendoákanku dengan sungguh- sungguh, dan berurai air mata”

Alhamdulillah, Maha Suci Engkau ya Allah yang telah mentakdirkan si Bapak itu lewat di depan rumahku dan membuatku didoákan seperti itu.

Bedah Hikmah:

 

Adegan seperti ini mungkin sering dialami oleh kita. Di luar sana, masih banyak orang- orang yang membutuhkan bantuan. Di luar sana banyak orang – orang fakir miskin yang masih memiliki harga diri dengan tidak mengemis atau meminta- minta.

Dengan sedekah, sebenarnya bukan yang kita beri sedekah yang mendapat keberuntungan.

Sedekah itu semua manfaatnya akan kembali kepada diri kita.

Pahala yang berlipat ganda.

Sedekah itu juga penolak bala.

Balasan sedekah itu akan kita rasakan langsung balasannya, bahkan sejak di dunia.

Betapa sering kita membaca dan mendengar cerita tentang keajaiban sedekah. Orang- orang yang secara instan dibalas oleh balasan yang berlipat- lipat oleh Allah, syariatnya karena sedekahnya.