Sedekah Receh Gratis (Do’a) Masuk Surga


Image

“Uang yang jumlahnya tidak seberapa untuk kita, kadang berarti segalanya untuk orang- orang miskin di luar sana”

 

            Sambil menunggu tiket keberangkatankku ke Qatar, aku mempunyai beberapa hari sebagai “pengangguran” karena aku sudah berhenti bekerja di perusahaan lamaku. Waktu itu kugunakan untuk membereskan barang- barang yang masih tersisa di rumah kontrakanku.

Seperti biasanya, pagi hari di Cilegon sudah terasa seperti jam sepuluh di Bandung, hawanya terasa sudah hangat- hangat kuku menjurus panas, dan pastinya dilengkapi kelembaban khas daerah yang dekat dengan pantai.

Agendaku hari itu adalah membuang semua barang tidak terpakai yang tidak akan bisa kubawa pulang ke Bandung.

Tak berapa lama, kardus- kardus televisi, mesin cuci, kulkas dan pemutar DVD yang tadinya tertumpuk rapi di pojok kamar mungilku, sudah berpindah ke teras depan rumah.

Karena debu sudah menumpuk tebal di sudut- sudut ruang tamu, aku tunda sebentar agenda beres- beres kardus dan barang bekas untuk menyapu setiap sudut ruangan di rumahku itu.

Ketika sedang menyapu hampir setiap debu yang nampak dengan tekun, tiba- tiba terdengar suara salam yang lantang daridepan rumahku:

“Assalaamu’alaikum..!” Suara seorang laki- laki setengah baya itu terdengar dengan lantang.

“Wa’alaikumsalaam!” Jawabku sambil berjalan keluar.

“Aih..gimana kabarnya Nong..?” Tanya si Bapak dengan wajah yang terlihat lusuh dan kelelahan. Nong, adalah panggilan akrab bahasa daerah Banten dari yang lebih tua kepada yang lebih muda. Nong ini harusnya panggilan untuk wanita, untuk pria sih seharusnya Teng, tapi entah kenapa, pedagang nasi uduk di dekat rumahku juga memanggil semua anak laki- laki dengan panggilan Nong juga. Termasuk si Bapak ini, memanggilku dengan sebutan Nong.

“Alhamdulillah Pak, sehat. Ada yang bisa saya bantu?” Tanyaku dengan muka penasaran. Aku belum pernah bertemu dengan si Bapak ini sebelumnya.

“Itu, kerdus- kerdus yang di teras mau dikemanain ya? Mau dijual atau mau dibuang?” Si Bapak dengan antusias.

Ternyata si Bapak itu adalah seorang pemulung, dia membawa sebuah sepeda ontel dengan dua buah karung goni besar yang dikaitkan di sisi kanan dan kiri sepedanya.

“Bapak beli semuanya boleh ya?” Dia bertanya lagi dengan wajah yang agak memelas sebelum sempat kujawab.

Kerdusnya masih bagus- bagus, bapak beli mahal deh!” Ujarnya lagi sambil berjalan masuk ke teras rumahku dan mulai memegang- megang kardus- kardus yang memang masih terlihat bagus dan bersih.

“Kalau Bapak mau ya ambil saja, tidak usah dibeli. Tadinya memang mau saya buang kok! Tuh di dalam masih ada, sebentar ya saya ambilkan lagi” Jawabku sambil masuk ke kamar mengambil kardus- kardus lain yang belum kukeluarkan.

“Beneran Nong? Bapak ngga usah bayar nih?” Tanya si Bapak pemulung tadi dengan muka berbinar- binar.            Hilang sudah wajah memelas dan kuyunya itu.

“Iya Pak, sok, ambil saja semuanya!” Jawabku sambil tersenyum.

Dan tak berapa lama si Bapak itu pun dengan cekatan mengambil karung besarnya dari sepeda, dan mulai melipat- lipat kardus- kardus bekas itu.

Buatku, kardus- kardus itu adalah sampah, tapi sepertinya, buat si Bapak itu kardus- kardus itu adalah “makan hari ini”. Karena kulihat mukanya sangat bahagia, jauh berbeda dengan wajahnya yang pertama kulihat.

Ah, tiba- tiba aku terpikir bahwa aku mempunyai beberapa helai sarung dan baju bekas yang juga rencananya akan kubuang. Aku tinggalkan saja si Bapak yang sedang asyik melipat- lipat kardus- kardus itu untuk mengambil baju dan sarung bekas.

Tak lama kemudian, kardus- kardus besar itu sudah terlipat dengan rapih di dalam karung besar, dan sudah tertumpuk dengan rapih di dua sisi sepeda ontel antik si Bapak pemulung itu.

“Bapak, saya punya sarung dan baju bekas. Bapak Mau?’ Tanyaku sambil berjalan keluar dari ruang tamu dan menyodorkan kantong plastik berisi dua helai sarung dan dua helai kemeja yang masih lumayan bagus.

“Beneran ini Nong?” Tanya si Bapak dengan terkejut.

“Ini kan masih bagus, Bapak kan cuma menerima barang rongsokan.” Ujar dia sambil berjongkok dan  membolak- balik kemeja dan sarung di dalam  kantong plastik itu.

“Iya Pak, sok itu buat Bapak, saya masih punya banyak. Dan beberapa hari lagi saya mau pulang ke Bandung, dan setelahnya langsung pergi ke luar negeri, alhamdulillah saya baru dapat pekerjaan di sana.” Jawabku sambil ikut berjongkok di sebelahnya.

“Alhamdulillaah…Bapak memang lagi ngga punya baju dan sarung. Punya Bapak sudah robek- robek dan kucel semuanya!” Ujar si Bapak dengan raut muka lebih bahagia lagi dari yang tadi kulihat, sambil mematut- matut dirinya di depan kaca ruang tamuku dengan kemeja yang kuberi.

“Hmmm…padahal itu hanya baju dan sarung bekas ya, tapi dia sudah bahagia seperti itu? Kesempatan nih, apa lagi ya yang bisa kuberikan buat si Bapak? ” Ucapku dalam hati sambil tersenyum- senyum melihat tingkah laku si Bapak yang seperti anak kecil yang baru saja diberi mainan baru.

Tiba- tiba aku teringat koleksi uang recehku di dalam toples. Uang- uang receh itu adalah kembalian dari supermarket, warung, warteg yang terkumpul selama beberapa tahun. Uang- uang receh di dalam toples itu adalah andalanku ketika aku kehabisan uang di tanggal tua. Uang- uang receh itu adalah penyambung hidupku ketika uangku habis sama sekali, walau pun hanya untuk sekedar membeli makan atau mie instan dari warung di sebrang rumahku.

Itu kan lumayan berat kalau dibawa ke Bandung, lagian, pasti repot banget kalau harus kutukar uang logam ratusan, lima puluhan dan lima ratusan itu. Entah berapa isinya sih, tapi kutaksir, paling banyak uang di dalam toples plastik itu hanya sekitar dua puluh ribuan.

Nong, Bapak mau pamit nih, makasih banyak ya!” Kata si Bapak itu sambil memeluk kantong plastik berisi kemeja dan sarung pemberianku.

“Sebentar Pak, saya masih punya sesuatu nih! Sini dulu sebentar, tunggu ya!” Kataku sambil berlalu ke dalam rumah untuk mengambil toples plastik berisi uang receh itu.

“Apalagi sih Nong? Ini juga udah kebanyakan sih, ngga usah ngerepotin lagi!” Jawab si Bapak sambil berjalan masuk lagi, dan kali ini dia duduk di teras.

“Bapak saya kasih uang mau ngga? Tapi Uangnya logam semua!” Tanyaku dengan sedikit ragu ragu.

“Uang Nong?” Tanya si Bapak dengan keheranan.

“Kalau uang mah ya Bapak terima aja, biar pun receh juga.” Ujar si Bapak lagi.

“Iya Pak, uang, masa koin buat ding- dong!” Jawabku sambil beranjak mendekati si Bapak.

“Ini Pak, uangnya,, tolong diterima ya, maaf saya ngasihnya receh!” Sambil kusodorkan toples plastik berisi setumpuk uang logam receh itu ke tangannya.

“Atuh Nooong, ini mah banyak banget..!” Kata si Bapak itu dengan terkejut. Tapi sesudah itu dia langsung terdiam.

Kupandangi dia beberapa saat. Dan lalu kulihat badannya seperti bergetar, dan dia mulai sesenggukan menangis. Dan dia tiba- tiba menjatuhkan badannya, dia bersujud di depanku!

“Eh, Bapak ngapain, kok pake sujud- sujud gitu segala? Kenapa Bapak menangis?” Tanyaku dengan terkejut dan heran.Dan langsung kuangkat badannya.

Nong, anak Bapak lagi sakit demam. Bapak sudah ngga punya duit lagi buat berobat. Sudah tiga hari bapak keliling komplek ini, tapi Bapak belum dapet apa- apa.” Jawabnya dengan terisak menahan tangis.

“Bapak sujud ingin bersyukur sama Allah Yang Maha Besar, Allah ngasih jalan biar Bapak lewat jalan ini biar ketemu sama Nong. Akhirnya Bapak bisa dapet kardus- kardus yang masih bagus.”

“Bapak udah cukup seneng dengan dikasih kardus- kardus itu Nong, karena pasti bakal laku mahal, karena masih pada bagus dan lumayan banyak.” Jawabnya lagi sambil menimang- nimang toples plastik berisi koin itu.

“Eh, ternyata Nong malah ngasih baju sama sarung yang masih bagus banget.”

“Dan sekarang, Nong malah nambahin juga ngasih uang sebanyak ini!” Ujarnya lagi sambil memandangi uang di dalam toples plastik itu dengan berkaca- kaca.

“Makasih banyak ya Nong, makasiiih banyak..!” Katanya lagi sambil memegang tanganku.

“Sama- sama Pak, semoga bermanfaat buat Bapak dan keluarga Bapak!” Jawabku, sambil menenangkan diri, karena mulai terbawa terharu oleh si Bapak.

“Bapak doain Nong biar terus sehat, panjang umur, rejekinya makin banyak, dan sedekah Nong hari ini sama Bapak bisa ngebawa Nong ke surga!” Kata si Bapak mengucapkan doa itu sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas, dan mengusap- ngusap kepalaku dengan lembut.

Selama beberapa menit, tak henti- hentinya si Bapak berurai air mata, bergumam dan berdoá sambil menengadahkan kedua tangannya.

“Duh, padahal semua benda pemberianku itu bisa dibilang ‘tidak berguna’, tapi buat si Bapak, dia seperti mendapatkan harta yang luar biasa banyak. Bahkan dia mendoákanku dengan sungguh- sungguh, dan berurai air mata”

Alhamdulillah, Maha Suci Engkau ya Allah yang telah mentakdirkan si Bapak itu lewat di depan rumahku dan membuatku didoákan seperti itu.

Bedah Hikmah:

 

Adegan seperti ini mungkin sering dialami oleh kita. Di luar sana, masih banyak orang- orang yang membutuhkan bantuan. Di luar sana banyak orang – orang fakir miskin yang masih memiliki harga diri dengan tidak mengemis atau meminta- minta.

Dengan sedekah, sebenarnya bukan yang kita beri sedekah yang mendapat keberuntungan.

Sedekah itu semua manfaatnya akan kembali kepada diri kita.

Pahala yang berlipat ganda.

Sedekah itu juga penolak bala.

Balasan sedekah itu akan kita rasakan langsung balasannya, bahkan sejak di dunia.

Betapa sering kita membaca dan mendengar cerita tentang keajaiban sedekah. Orang- orang yang secara instan dibalas oleh balasan yang berlipat- lipat oleh Allah, syariatnya karena sedekahnya.

 

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s