“Kondisi tubuh seringkali bergantung kepada suasana hati. Hati yang galau akan membuat tubuh menimbulkan penyakit yang tidak jelas.
Diagnosa Awal
Baru saja kurebahkan tubuh kerempengku yang sudah kelelahan sepulang dari shift malam itu di atas kasur palembang berwarna biru yang sudah lepek , ketika tiba- tiba perutku sebelah kanan bawah terasa sakit luar biasa. Sakit dan pedih seperti ada puluhan jarum yang menusuk- nusuk. Seperti ada yang meregangkan otot- otot di dalam sana.
Sakit itu tidak seperti biasanya. Kalau hanya mules dan pedih di ulu hati sih, itu sudah biasa. Dengan statusku sebagai anak kos, tentu saja makan sering tidak teratur.
Ketika sakit ini tiba, aku sedikit khawatir, karena aku pernah membaca bahwa sakit perut kanan bawah itu mungkin adalah gejala dari infeksi usus buntu.
“Gawat..! Aku harus segera ke klinik nih!”
Sambil menahan sakit, kupaksa tubuhku untuk berdiri. Dan kubawa tubuh ini menuju ke pangkalan angkot terdekat.
Untungnya tidak lama kemudian sudah ada angkot berwarna Ungu yang selalu setia mengantarku ke mana pun tujuanku di Cilegon itu yang menghampiri.
Setibanya di klinik itu, aku langsung mendaftar ke dokter jaga, karena di situ tidak ada dokter spesialis penyakit dalam.
“Selamat pagi Dokter!” Sapaku sambil meringis dan memegang perut dengan kedua tangan, dan agak sedikit membungkuk.
“Selamat pagi! Sini langsung berbaring!” Dokter muda yang mengenakan jilbab berwarna pink itu langsung terlihat khawatir ketika melihatku meringis kesakitan.
“Kenapa perutnya?’ Tanyanya.
“Tidak tahu Dok, tadi tiba- tiba perut saya, bagian kanan bawah terasa sakit banget, pedih!” Kataku sambil membaringkan badanku di atas ranjang pemeriksaan.
Ibu Dokter tidak menjawab. Dia hanya mengambil stetoskop dan alat pengukur tekanan darah, lalu melakukan prosedur rutin.
“Tolong buka kausnya!” Pinta Ibu Dokter.
Setelah itu dia langsung menekan perutku, tepat di bagian yang sakit.
“Ahhh…..!” Aku langsung bangkit, dan hampir terduduk.
“Maaf. Sakit banget ya?” Tanya Ibu Dokter.
“Saya harus memeriksa dengan cara seperti ini. Karena saya takutkan kamu terkena infeksi usus buntu” Katanya lagi.
“Tahan ya!” Katanya sambil menekan lagi perutku.
“Ketika ditekan sakit?” Tanyanya lagi.
“Sakit banget…” Jawabku lemas.
“Ketika tekanannya dilepas, sakit juga?” Dia bertanya lagi.
“Iya Dok, sakit juga..” Kujawab lagi.
Kali ini muka Ibu Dokter mulai terlihat khawatir.
“Saya cek satu parameter lagi ya!” Katanya sambil mengangkat kaki kananku, sampai paha kananku hampir menempel ke perutku.
“Ahhhh….!” Aku hampir berteriak, karena sakit di perutku hampir sama dengan ketika perutku ditekan.
“Waduh, gawat Pak! Ini positif usus buntu!” Katanya dengan sedikit panik.
“Langsung saya rujuk ke rumah sakit ya! Ini harus segera dioperasi, kalau tidak bisa berakibat fatal!” Katanya dengan sedikit panik, dan sambil terburu- buru menulis surat rujukan ke rumah sakit terbesar di kota Cilegon.
Aku tidak bisa berkata- kata dan hanya menatap kosong langit- langit ruangan periksa.
“Ini suratnya, silahkan langsung saja ke rumah sakit ya! Ingat, ini ini harus dioperasi sekarang juga, kalau tidak bisa gawat!” Kata Ibu Dokter itu, masih dengan raut muka yang panik dan cemas.
“Iya Dok, makasih banyak ya..” Jawabku dengan lemas dan melangkah gontai ke luar dari ruangan periksa itu.
Untuk beberapa saat, aku biarkan tubuhku mematung di atas kursi halte di depan klinik. Tatapanku kosong menatap kertas rekomendasi rawat inap dari dokter di kliniktadi. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
“Waduuh, gawat ini mah euy! Aku kena usus buntu..!” Umpatku dalam hati sambil tetap meringis menahan pedih di perutku yang tak kunjung reda.
Yang ada di pikiranku saat itu hanya Ibuku. Ibuku adalah seorang perawat di sebuah rumah sakit swasta di Bandung. Minimal dia bisa bertanya kepada dokter di sana. Secepat kilat kupijit nomor hape ibu.
Second Opinion
Alhamdulillah, ternyata keputusanku untuk menelepon ibuku sangat tepat. Ternyata bukannya langsung menyuruhku untuk pergi ke rumah sakit untuk dioperasi sesuai rujukan dokter di klinik, aku malah disuruh untuk mencari second opinion. Ibuku menyuruhku untuk berobat ke dokter spesialis penyakit dalam.
Akhirnya aku tetap pergi ke rumah sakit.
Anehnya, rasa pedih di dalam perutku agak berkurang. Sepanjang perjalanan di dalam angkot berwarna Ungu itu, rasa sakitku sedikit demi sedikit mulai menghilang.
Sesampainya di rumah sakit, langsung saja aku mendaftar di bagian spesialis penyakit dalam.
Tidak pake lama, giliranku pun tiba.
Aku terangkan saja pada dokter spesialis itu kejadian tadi pagi dan termasuk rekomendasi untuk “operasi dengan segera” dari sang dokter di klinik dekat rumah kontrakanku.
Dokter yang perawakannya tidak jauh beda seperti dokter selebritis spesialis kandungan, dokter Boyke itu, melakukan prosedur pemeriksaan yang sama. Dari tes nyeri tekan dan nyeri lepas, sampai lutut kananku yang diangkat ke arah perut. Alhamdulillah, pada saat pemeriksaan kali ini, rasa sakit itu sudah jauh berkurang. Tapi tetap saja masih ada sakit dan pedih.
Walau pun begitu, tapi aku tetap harus menjalani prosedur pemeriksaan yang lengkap, untuk memastikan apa penyebab rasa nyeri yang melanda begitu hebat di dalam perutku itu.
Aku harus menjalani semua tes laboratorium, dari urine, darah hingga feses.
Kata pak Dokter, hasilnya akan bisa diketahui setelah dua hari. Tapi, hari itu juga aku harus menjalani tes yang lain, tes Ultrasonografi (USG). Ya! Anda tidak salah baca.Aku harus menjalani USG, layaknya ibu- ibu hamil saja.
Dan benar saja, ketika antri di bagian USG, aku mengantri bersamaan dengan para ibu- ibu hamil. Hanya aku saja pria yang duduk di situ.
Walau pun aku memasang pose yang sama dengan ibu- ibu itu-duduk menyender di kursi, muka menunduk, dan tangan sesekali mengelus- ngelus perut-tapi tetap saja, aku tetap terlihat mencolok di dalam antrian itu. Ibu- ibu hamil itu malah cekikikan dan berbisik- bisik tidak jelas melihatku yang berwajah muram, sambil mengusap- ngusap perutku yang sebenarnya sudah tidak terasa sakit lagi.
Hasil USG pun ternyata tidak menunjukkan masalah apa- apa.
Dan setelah semua hasil selesai pun, dokter belum bisa memutuskan apa yang menyebabkan rasa sakit di perutku. Walau pun pada akhirnya dia mengambil kesimpulan, itu pun hanya sebatas kemungkinan, bahwa (mungking) ada otot di dalam perutku yang robek.
Kutinggalkan rumah sakit dengan kepala dipenuhi keraguan.
“Otot yang robek..?” Ah, benar- benar tidak jelas.
Malam itu juga, kuputuskan untuk pulang ke Bandung.
Dr Li
Sebelum subuh, aku sudah tiba di terminal Leuwipanjang dan di sambut oleh sejuknya udara kota Bandung ketika pintu bis terbuka dengan perlahan. Setiap kali udara sejuk kuhela masuk ke dalam paru- paruku, badanku terasa semakin segar.
Setelah beristirahat sebentar, sholat subuh dan sarapan bubur ayam idolaku di kampung halaman, Ibu segera mengajakku ke rumah sakit.
Tidak lupa kubawa juga sebundel hasil Xray, USG, Hasil tes darah, urine dan feses kubawa dengan untuk diperlihatkan ke dokter Li.
Dokter Li ini adalah dokter yang sudah merawatku sejak bayi. Tongkrongannya sih menurutku lebih mirip ahli kungfu. Tubuh yang tinggi besar, tatapan mata yang tajam, serta sepasang tangan yang kokoh tidak menampakkan kalau dia sudah berumur lebih dari 80 tahun (kata ibuku sih). Tadinya sih aku tidak percaya, karena kulihat dia setiap tahun selalu mengikuti acara lomba lari 10 kilometer yang diadakan oleh rumah sakit tempat ibuku bekerja. Dan tidak hanya sekedar berpartisipasi, dokter Li betul- betul berlomba dengan peserta yang lain.
“Aa, ayo, itu sudah dipanggil sama dokter Li!” Tak sampai lima menit, aku sudah dipanggil oleh ibu ke dalam ruangan dokter Li.
Ketika aku dan Ibu memasuki ruangan, kulihat dokter Li sedang membolak- balik lembar demi lembar hasil testku di rumah sakit Cilegon.
“Semoga tidak ada yang serius..” Gumamku perlahan.
“Tolong suruh anak kamu tiduran di ranjang periksa..!” Kata dokter Li sambil menyimpan setumpuk kertas dan hasil X-Ray dan USGku di atas meja kerjanya yang mungil.
Tak berapa lama, dokter Li menghampiriku dan memegang pergelangan tanganku. Persis seperti adegan ketika Wong Fei Hung memeriksa denyut nadi muridnya yang cedera. Dan ternyata hanya itu saja yang dia lakukan.
Aku heran.
Kali ini dia sama sekali tidak menggunakan stetoskopnya, apalagi melakukan pemeriksaan gejala usus buntu seperti dokter di Cilegon.
Seperti biasanya, dokter Li hampir tidak pernah bicara secara langsung kepadaku, selalu saja dia berbicara kepada ibuku.
“Gimana Dok, anak saya kenapa?” Tanya Ibuku penasaran.
Dokter Li, tidak menjawab. Hanya matanya saja yang menatapku tajam, tapi segurat senyum tiba- tiba terbit di ujung bibirnya, walau pun tidak sampai bisa mengangkat pipinya yang sudah keriput dimakan umur.
“Neng, anak maneh mah lain gering apendisitis, mun henteu keur patah hati, pasti keur hayang kawin..!” Katanya dengan kencang, sambil tiba- tiba tertawa terkekeh- kekeh dan setengah melemparkan tumpukan dokumen hasil testku di Cilegon ke arah aku dan ibuku.
(Neng, anak kamu itu bukannya sakit apendisitis/usus buntu, kalau ngga lagi patah hati, pasti dia lagi pengen kawin..!)
Hadeuuh, dari mana dokter Li tahu kalau sejak seminggu yang lalu aku sedang galau karena gadis yang kucintai dinikahi sama orang lain ya?