Toga Biru

 

Sekolah Mahal

Di Qatar, sampai tulisan ini dibuat, belum ada sekolah khusus untuk orang Indonesia seperti di beberapa negara lain.

Alhamdulillah, akhirnya saya bisa memasukkan si sulung ke salah satu sekolah yang ada, dan termasuk ke dalam sekolah yang termasuk ke dalam daftar yang ditanggung langsung oleh perusahaan.

O iya, perusahaan saya, dan perusahaan Oil & Gas atau Petrokimia lainnya di Qatar biasanya menanggung biaya pendidikan hingga anak ke-empat. Fasilitas ini juga yang menjadi salah satu pertimbangan saya untuk membubuhkan tanda tangan saya di atas surat penawaran dari perusahaan tempat saya bekerja sekarang.

Biaya pendidikan di sini super muahhall.

Biaya pendidikan per bulan sekolah setingkat TK Nol Besar saja bisa mencapai hampir lima juta rupiah! Padahal sekolah itu bukan termasuk sekolah yang elit, masih sekolah yang tingkatnya biasa- biasa saja. Salah satu sekolah elit yang ada di Doha, malah ada yang biaya per bulannya mencapai hampir delapan belas juta rupiah. Ya, anda tidak salah membaca dan saya juga tidak salah mengetik, delapan belas juta rupiah per bulan!

Di Indonesia, TK yang paling elit pun tidak akan memungut biaya sebegitu besar, bahkan bisa membiayai kuliah S2.

Ah, tapi ya sudahlah, ilustrasi biaya tadi hanya untuk pembuka tulisan saya saja.

Hari Pertama Sekolah

Langsung saja ke intinya deh, walau pun pasti untuk pembaca yang berada di Indonesia masih terkaget- kaget begitu mengetahui biaya sekolah di sini yang super mahal luar biasa.

Hari pertama anak saya sekolah adalah hari di mana saya benar- benar merasa menjadi orang tua yang sesungguhnya. Bahkan perasaan campur aduk antara bangga, taku, khawatir, perasaan menjadi tua, dan perasaan lain yang bertumpuk dan bercampur di dalam pikiran dan hati itu sudah muncul sejak hari pendaftaran.

Berlanjut ke persiapan sekolahnya. Dari mulai membeli seragam, peralatan sekolah, sepatu. Kami biarkan dia memilih sendiri model dan warna yang dia inginkan untuk peralatan sekolah. Walau pun ada efek sampingnya juga sih. Adik perempuannya yang baru beranjak dua tahun, ternyata ikut- ikutan seperti kakaknya. Pada akhirnya hanya satu anak yang sekolah, tapi belanjaan jadi dua kali lipat, karena si kecil meniru kakaknya dengan memasukkan benda- benda yang dia inginkan ke dalam kereta belanjaan.

Di hari pertama itu, perasaan kami berdua sudah campur aduk seperti bubur ayam yang sudah diaduk, tadinya rapih dengan topping kerupuk, daging ayam suwir, irisan seledri, kacang kedelai yang sudah digoreng garing, taburan merica, dan sedikit tetelan tulang ayam yang tenggelam di tengah adonan bubur, dilengkapi dengan sambel super pedas berwarna Jingga teronggok di sudut salah satu lekukan kerupuk

Gembira, karena kami akhirnya menaiki salah satu tangga fase kehidupan di dalam kehidupan berumah tangga, mengantar anak ke sekolah.

Sedih, karena sejak hari itu dan dua belas tahun, atau mungkin lebih, di hari selain hari libur kami sudah tidak akan mungkin lagi bisa mendengar canda tawanya di dalam rumah ketika matahari terbit.

Di hari itu pula kami bisa membayangkan perasaan orang tua kami ketika dulu melepas kami di hari pertama sekolah.

Entah apa yang ada dibenaknya, tapi di benak saya dan istri hanya ada satu perasaan: khawatir.

Khawatirnya cuma satu, tapi hal- hal kami khawatirkan banyak sekali.

Khawatir dia tidak akan bisa mengikuti pelajaran di sekolahnya, dan harus mengulang lagi di TK Nol Kecil tahun depan.

Khawatir dia tidak akan mengerti gurunya, yang tidak mungkin bisa berbahasa Indonesia.

Eh, tanpa terasa, serasa baru kemarin kami mengantarkannya ke sekolah.

Serasa baru kemarin kami dengar tangis dan teriakannya yang masih terdengar sampai gerbang sekolah, karena tidak ingin ditinggal. Hanya hari pertama sekolah saja kami boleh mengantarnya sampai ke dalam kelas . Besoknya, kami sudah tidak boleh melangkah lebih jauh dari garis pintu gedung kelasnya.

Pada hari pertama itu, gedung anak kelas Reception riuh rendah oleh tangis anak- anak TK yang tidak ingin ditinggal oleh orang tuanya. Ada yang berteriak- teriak. Ada yang bertahan sekuat tenaga memegang pintu kelasnya agar tidak tertutup. Ada yang menangis meraung- raung tak henti- henti. Gedung itu penuh sesak oleh para orang tua yang khawatir meninggalkan anaknya yang masih menangis.

“Don’t worry Sir, Maam, please leave now. This is normal. We are used to it already. We will take care of your children!” Ujar gurunya dengan memasang wajah yang sangat manis.

Padahal di saat yang sama, kaki kanannya sedang menghalangi pintu yang sedang didorong paksa oleh seorang anak, tangan kirinya memegangi tangan seorang anak laki- laki yang hendak lari keluar, dan mulutnya langsung berteriak kepada guru yang lain:

 “I need somebody here, please!” 

Karena dia melihat seorang anak berhasil berlari dari hadangan para guru dan lolos ke halaman kelas. Ketika dia tidak menemukan orang tuanya di sana, stadium kedua dimulai untuk anak itu.

Kali ini aktifitasnya bertambah. Tidak hanya menangis dan meraung- raung, tapi juga dilengkapi dengan teriakan dan kokosehan (duduk sambil menendang-nendangkan kaki), dan bahkan ada yang sampai berguling- guling.

Tadinya sih kami kira anak kami tidak akan sampai seperti itu.

Eh, ternyata di dalam kelas ada beberapa anak yang juga sudah mencapai stadium dua. Padahal, satu kelas yang hanya berisi dua puluh orang anak, dijaga oleh tiga orang guru.

Ah, pokoknya seru deh hari pertama itu.

Kalau di Indonesia kan jauh berbeda kondisinya.

Bukan hanya anak TK, bahkan seringkali anak sudah berseragam Putih- Merah pun masih ditunggui oleh Ibunya di kelas.

Mungkin hari yang “seru” itu sudah sering dihadapi oleh para guru, tapi bagi kami yang baru pertama kali mengalami chaos dan keseruan seperti itu, sangatlah luar biasa.

Luar biasa karena pertama kalinya.

Dan yang utama, luar biasa menambah lagi kekhawatiran kami terhadap si sulung yang masih menangis dan berteriak- teriak ketika kami tinggalkan di dalam.

Akhirnya kami tenang- tenangkan saja pikiran kami. Dan kami serahkan kepada Allah dan gurunya saja.

Ternyata periode seperti itu hanya berlangsung satu atau dua minggu saja.

Alhamdulillah, si sulung tidak susah dibangunkan. Walau pun dengan mata yang masih tertutup, dia tetap bangun untuk berdoá kala bangun tidur dan beranjak dari tempat tidur mungilnya untuk mandi. Dan ketika air sudah menyiram tubuhnya yang kini tidak super montok lagi, langsung segar bugar seketika. Masalahnya paling hanya tidak mau sarapan, tidak mau sekolah dengan berjuta alasan, atau tidak mau memakai seragam.

Alhamdulillah, setelah periode itu berlalu, kami sendiri yang malah terkaget- kaget dengan perkembangannya.

Ternyata kekhawatiran kami tidak terbukti sama sekali. Dia berhasil beradaptasi dengan hebat di lingkungan yang tadinya sama sekali asing baginya. Dan lagi dia langsung kami masukkan ke TK Nol Besar, bukan TK Nol kecil. Pertimbangannya sih ya itu tadi, perusahaan baru menanggung biaya sekolah anak karyawan di tingkat Nol Besar.

Bayi super montok itu kini sudah mempelajari tiga bahasa asing: Arab, Inggris, dan Prancis. Dan setelah term (Catur Wulan atau semester) pertama, dia sudah mulai cas-cis-cus berbahasa Inggris, dan dia mulai sering protes kalau diajak berbahasa Indonesia di rumah.

English, please!” Mulut mungilnya berucap dan mata belonya semakin besar karena sambil melotot.

Tidak berbeda jauh sih dengan orang tuanya, sama- sama tiga bahasa.

Hanya bahasa yang kami pelajari adalah Indonesia, Inggris dan Sundanese.

Hehehe.

Wisuda TK

Bayi super montok yang menjadi “mainan” sehari- hari kami sejak tiba di sini kini sudah tumbuh tinggi, kemarin berbaris melangkah masuk gedung ke tempat acara wisuda, memakai toga dan seragam kebesaran kain satin berwarna Biru sambil melambai- lambaikan tangannya yang masih montok dan pejal itu ke semua orang. Tentu saja bibirnya tidak lupa dia sejajarkan dengan pipinya yang masih tembem untuk membentuk senyum yang mungkin di masa depan akan membuat lawan jenisnya kelepek- kelepek. Hehehe.

Dia kemarin dengan lincahnya mentas di panggung bersama- puluhan teman- teman sekelasnya,  menari dan menyanyikan lagu “Transportation Song” dan “Graduation Song.”

Dia kemarin sudah berfoto dengan ijazah pertamanya dengan Toga Biru yang membalut tubuh mungilnya.

Padahal bapaknya seumur- umur belum pernah memakai Toga. Hehehe.

Selamat ya Nak! Kamu sudah lulus TK!

Kami sangat bangga kamu berhasil melewati tantangan besar pertama di awal kehidupanmu.

Doha, 11 Juni 2013

http://www.didaytea.com

INGIN VS BUTUH

“Keinginan seringkali mengalahkan kebutuhan, jika kita tidak bisa menahan diri”

 

Lupa Antena

 

Di zaman sekarang, sangat jarang sekali orang rumah yang tidak ada televisi di dalamnya.

 

Ketika masih di Cilegon dulu, saya mengontrak rumah tipe 21.

Saya ingat betul suatu malam ketika saya melakukan perbuatan konyol, dan perbuatan konyol itu juga memancing saya untuk melakukan perbuatan konyol yang lainnya.

Malam itu adalah jadwal semi final Piala Dunia 2006 antara Italia vs Jerman. Tentunya kita sudah tahu bersama bahwa pada akhirnya Italia yang menang dengan dua gol Fabio Grosso dan Alessandro Del Piero di penghujung perpanjangan waktu. Akhirnya pun mereka berhasil menjadi juara dunia dengan susah payah mengalahkan Prancis dengan tos- tosan adu pinalti.

 

Walau pun saya sudah memiliki komputer, tapi saya belum mampu menghadirkan koneksi internet . Untuk up to date  dengan informasi saya harus menyengajakan diri pergi ke warnet atau membeli koran. Sehingga kadang- kadang hati ini merindukan acara- acara televisi. Terutama siaran berita dan siaran langsung sepakbola.

 

Setelah menghabiskan hampir seluruh energi di tubuh saya karena sudah bekerja seharian, saya malam itu meminta supir jemputan untuk menurunkan saya di depan Supermall Cilegon.

Untuk kepentingan menonton tim favorit saya Italia, saya malam itu berniat akan membeli TV Tuner. Karena dengan penghasilan yang pas- pasan untuk menutup biaya kuliah dan juga modal usaha dagang saya, saya belum mampu membeli Televisi. Cara mengakalinya agar murah ya dengan cara membeli TV Tuner untuk komputer saya.

 

Harganya hanya dua ratus lima puluh ribu, jauh lebih murah dibanding harus membeli Televisi 21 inch yang waktu itu masih berharga dua jutaan.

Dengan semangat empat lima, karena sudah membayangkan kemenangan Italia atas Jerman, saya tersenyum- senyum sendiri dipojok angkot berwarna ungu menuju rumah kontrakan saya. Pandangan mata saya tidak pernah lepas dari kantong plastik berwarna hitam yang berisi TV Tuner itu.

“Kiri Pak!” Ucap saya dengan lantang menggunakan password untuk menghentikan angkot.

Saya masih harus berjalan sekitar dua ratus meter dari tempat turun tadi ke rumah kontrakan saya. Dan masih saja, setiap ayunan kaki- kaki lelah yang membawa tubuh lemas saya, selama itu pula mata saya tertuju kepada si kantong plastik hitam.

 

Sesampainya di rumah pun tidak saya pedulikan tubuh saya yang lemah letih lunglai. Saya langsung bongkar CPU karena tidak sabar untuk memasang TV Tuner, agar nanti subuh bisa melihat tim favorit saya Italia beraksi mengalahkan Jerman.

 

Saya buka kotak kertas tempat TV Tuner, dan saya keluarkan buku mungil panduan pemasangannya.

 

Awalnya sih tidak ada yang salah, dan tidak ada yang susah. Karena cara memasang TV Tuner itu sangat mudah, hanya tinggal memasang beberapa baut pada slot yang tepat di motherboard, selesai deh

Tapi…

Ada hal kecil yang saya lupakan, dan saya juga tidak pernah terpikir sebelumnya, tapi ternyata menjadi masalah besar.

Saya lupa membeli antenanya!

 

Ternyata saya tidak tahu kalau ternyata TV Tuner itu hanya membuat layar monitor kita seperti  Televisi. Tetap memerlukan antena TV, UHF dan VHF seperti televisi pada umumnya.

 

Kegembiraan saya yang saya rasakan dari sejak membeli TV Tuner itu pun berubah seratus delapan puluh derajat.

Jika tidak ingat harganya, hampir saja saya lempar TV Tuner itu karena saking kesalnya menyesali kebodohan saya.

 

Waktu sudah jam setengah sepuluh malam, semua toko antena di Cilegon pasti sudah tidak ada yang buka lagi. Kalau pun saya cukup beruntung, saya sudah tidak mempunyai uang lagi untuk membeli antena, yang pasti harganya lumayan mahal.

Hampir setengah jam saya termenung, mareh menyesali kebodohan diri yang bisa melupakan hal sepenting itu.

 

Walau pun pada akhirnya saya bisa menyaksikan pertandinngan semi final itu, tapi tetap saja ada dongkol yang tersisa, ada kesal yang tertinggal di dalam hati.

 

Balas Dendam

 

            Entah setan dari mana, besoknya, sepulang kerja saya langsung bergegas menuju sebuah toko elektronik yang menyediakan fasilitas cicilan.

Dengan pertimbangan yang singkat, tanpa perhitungan yang matang, waktu itu saya memutuskan untuk menyicil sebuah televisi 21 inch dan sebuah DVD sebagai satu paket cicilan.

Saya harus mencicil kurang lebih tiga ratus ribu per bulan, selama satu tahun.

Secara hitung- hitungan kasar sih, memang neraca keuangan saya bergeser ke kiri, alias jadi minus.

Tapi, keinginan saya untuk tidak melewatkan final Piala Dunia yang melibatkan tim favorit saya Italia dengan nyaman dan sendirian di rumah, telah berhasil mengalahkan logika saya yang bertanya bagaimana uang cicilan itu akan bisa saya bayar? Ketika itu bisnis saya masih berjalan, jadi masih ada keuntungan sekitar dua ratus ribu per bulan. Uang keuntungan itulah yang saya rencanakan untuk menambal “lubang” di neraca keuangan saya karena menyicil televisi dan DVD player itu.

 

Tekor

 

            Ternyata, pada kenyataannya, keputusan saya itu malah mebuat kondisi keuangan semakin acak- acakan.

Hampir setiap bulan saya harus berhutang untuk bisa membayar cicilan.

Dua kali debt collector pernah mendatangi rumah saya untuk menagih, karena cicilan yang saya tunggak.

 

Yang konyolnya lagi, pembelian televisi dan DVD Player itu saya niatkan untuk menonton final Piala Dunia. Tapi pada akhirnya saya malah tidak bisa menontonnya karena harus lembur shift malam selama dua minggu.

Dan setelah final Piala Dunia itu pun lewat, kedua benda yang saya cicil itu jarang sekali saya pakai.

 

Paling sering saya tonton hari Sabtu atau minggu, itu pun jika tidak ada jadwal lembur atau jadwal kuliah, dan saya hanya diam saja di rumah, tidak berada di warnet hampir seharian seperti biasanya.

 

Keinginan sesaat yang didukung “alasan yang logis” yang tiba-tiba muncul akhirnya harus kubayar dengan penderitaan finansial selama setahun, bahkan lebih lama lagi.

 

 

Diday Tea

7 Juni 2013

http://www.didaytea.com

 

Komitmen Ketiga

 “Bila kamu tak tahan lelahnya belajar, maka kamu akan menanggung perihnya 

kebodohan.” (Imam Syafi’i)

            Ada salah satu penyesalan terbesar di dalam hidup saya. Ketika saya memutuskan untuk berhenti kuliah.

Sampai hari ini, saya masih merasa nyaman dan aman dengan alibi, bahwa saya memilih untuk mengorbankan kuliah saya demi mendapatkan gaji puluhan kali lipat, demi melunasi hutang- hutang saya, demi membahagiakan orang tua saya, demi impian saya untuk segera menikah, dan masih banyak lagi.

Saya memilih untuk berhenti kuliah, karena banyak sekali SKS yang harus saya ambil untuk setidaknya bisa mengerjakan Tugas Akhir.

Dan baru hari ini, saya menyadari ternyata, alasan- alasan itu tidak terlalu kuat.

Penyebab utama saya tidak pernah berhasil menyelesaikan kuliah saya sebenarnya karena komitmen belajar saya yang lemah. Berjuta alasan telah saya buat untuk menjadi alibi kelemahan saya dalam berkomitmen untuk belajar.

Lemah Komitmen

Di kampus saya yang pertama, hanya ada tiga orang yang berstatus karyawan. Semua mahasiswa yang lainnya adalah mahasiswa reguler. Karena di kampus saya yang pertama belum ada kelas karyawan.

Selama tiga tahun lebih belajar di sana, sangat jelas terlihat, komitmen mereka jauh lebih hebat dan kuat dari saya.

Padahal saya sudah merasa berjuang dan berusaha luar biasa untuk bisa mengikuti jadwal kuliah reguler.

Durasi shift saya di pabrik yang pertama adalah delapan jam. Dengan jadwal 6-2, dua hari kerja pagi jam delapan malam, dua hari kerja siang jam empat sore, dua hari kerja malam jam dua belas malam.

Beberapa kali saya berada di luar rumah saya lebih dari dua puluh empat jam. Bayangkan saja, saya pernah kuliah dari pagi sampai sore. Sorenya harus berangkat bekerja shif siang. Eh, ternyata saya harus lembur sampai shift malam, dan pulang kerja besok paginya.

Padahal besok paginya ada beberapa jadwal kuliah yang tidak bisa ditinggalkan.

Walhasil, hari itu saya terpaksa numpang mandi di tempat kosan teman kuliah yang dekat kampus dan sore harinya sudah harus berangkat lagi bekerja shift siang.

Tapi perjuangan seperti itu ternyata masih kurang dibanding kedua teman saya itu.

Mereka hampir tidak pernah melewatkan setiap kelas atau praktek yang diikuti. Padahal jadwal kerja mereka hampir sama dengan saya. Tapi nilai- nilai mereka lumayan bagus, tidak sampai seperti saya yang harus mengulang Kalkulus 1 sampai tiga kali.

Mereka sering tinggal lebih lama di perpustakaan kampus sekedar untuk mendiskusikan tugas dan prosedur praktek.

Tidak seperti saya yang kadang- kadang hanya mengandalkan keberuntungan dan kecepatan membaca saya, di beberapa mata kuliah, saya dengan hanya muncul satu atau dua kali di kampus, tiba- tiba hadir lagi ketika UTS dan UAS. Parah.

Padahal mereka berdua lebih tua dari saya. Bahkan, sampai ada yang paling tua di antara kita, sudah beranak dua, malah disangka dosen ketika masuk kelas pertama kali. Ya jelas saja, dia tampangnya memang agak sangar, dengan kumis dan brewok di wajahnya, tidak ada seorang pun di dalam kelas itu yang menyangka dia adalah mahasiswa semester pertama?

Saya memutuskan untuk pindah kuliah dari kampus itu karena saya pindah kerja yang jam kerjanya normal, bukan shift. Tidak mungkin lagi saya bisa menghadiri kelas mahasiswa reguler dari pagi hingga sore.

Kampus Dua

 

            Di kampus saya yang kedua, saya mengambil kelas malam khusus karyawan. Dan ditambah hari Sabtu atau Minggu jika ada praktek.

Ternyata jauh lebih melelahkan.

Hampir setiap hari badan ceking saya hampir selalu terasa remuk redam kehabisan tenaga.

Saya bekerja di perusahaan Jepang yang notabene sangat sibuk. Dari jam delapan pagi sampai jam lima sore, hampir tidak ada jam istirahat selain jam makan siang dan waktu sholat.

Belum lagi kalau sering terpaksa lembur karena pekerjaan yang belum selesai.

Hampir setiap hari saya pulang menjelang tengah malam. Saya bekerja di daerah Anyer, ngekos di Cilegon, tapi kuliah di Serang. Sekedar menghabiskan waktu di perjalanan saja sudah sangat melelahkan.

Hampir setiap kali masuk kuliah tubuh terasa tidak nyaman, karena gerah, badan terasa cepel (lengket) dan masih memakai seragam kerja. Ketika mahasiswa lain di kelas berpakaian rapi jali dan harum, saya masuk kelas dalam keadaan kucel kumel kuleuheu (dekil), dan sedikit bau apek. Saya pun tahu diri untuk tidak mengambil tempat duduk di depan, sehingga terpaksa harus duduk mojok di sudut kelas.

Pernah suatu malam, ketika saya baru saja selesai kuliah tiba- tiba diminta untuk datang ke pabrik karena ada masalah. Hanya saya yang bisa datang, karena orang lab yang lain sedang cuti dan tidak bisa datang.

Walhasil, dengan seragam yang sama dengan yang tadi pagi, dan dengan tubuh yang sudah terasa lengket penuh dengan garam dari keringat yang mengering saya harus berangkat lagi ke tempat kerja. Dan kembali bekerja lagi sampai pagi.

Dua semester awal saya masih bisa memaksa diri untuk mengikuti pola hidup seperti itu.

Tapi setelah itu akhirnya saya mulai menyerah, saya menyerah dengan komitmen saya yang kedua untuk bisa menyelesaikan kuliah saya.

Kuliah mulai jarang. Sampai puncaknya ketika uang SPP juga mulai tidak terbayar. Biaya kuliah di kampus saya yang baru ini hampir tiga kali lipat lebih mahal dari kampus yang sebelumnya yang sudah berstatus Universitas Negeri. Kampus ke dua ini kampus swasta yang kampus pusatnya ada di Jakarta.

Ada tiga teman satu angkatan saya di kampus yang terakhir, pada akhirnya bisa menyusul saya ke Qatar, tapi mereka berhasil menyelesaikan kuliahnya.

Bedanya mereka dengan saya, ya itu tadi, masalah komitmen. Walaupun mereka bekerja di waktu yang sama dengan saya, sibuknya sama dengan saya. Mereka bahkan lebih sibuk karena mengambil jurusan Teknik Kimia, tidak sesibuk jurusan Teknik Industri yang saya ambil.

Toh, pada akhirnya mereka lulus juga.

Dan pada akhirnya juga, mereka bisa menyusul saya ke bekerja di luar negeri.

Hampir dapat dipastikan, peluang mereka untuk mengembangkan karir di perusahaannya lebih terbuka lebar. Dengan posisi saya yang sekarang, dan latar belakang pendidikan yang hanya lulusan SMK, perkembangan karir yang paling mungkin ya hanya sekedar promosi naik Grade. Diperlukan kualifikasi yang lebih untuk menjadi level yang lebih tinggi, bahkan di posisi yang ada di departemen yang lain,  pendidikan setingkat sarjana menjadi syarat yang hampir mutlak.

Secara gelar akademis, tentu saja tidak ada gelar apa pun yang saya dapat, karena sama sekali tidak lulus. Secara keilmuan pun, ilmu yang saya dapat dari kuliah di jurusan Teknik Industri hanya sedikit sekali dibanding lamanya kuliah yang delapan semester.

Pengorbanan energi dan uang, serta perjuangan saya bertahun- tahun seolah- olah menguap habis begitu saja ketika saya memutuskan untuk meninggalkan bangku kuliah.

Memang sih ada alasan yang kuat, karena saya tidak melewatkan kesempatan yang mungkin hanya sekali seumur hidup untuk bisa bekerja ke luar negeri.

Komitmen Ketiga

 

Di pertengahan tahun dua ribu sepuluh, untuk ketiga kalinya saya berkomitmen untuk kuliah lagi. Kali ini saya memilih jurusan Manajemen, di Universitas Terbuka. Selain karena tidak ada jurusan teknik, pertimbangan bahwa jurusan Teknik Industri memiliki banyak mata kuliah yang sama dengan Manajemen juga menjadi faktor penentu.

Alhamdulillah, kali ini hampir tidak ada kendala.

Tidak ada kendala masalah biaya, karena UT tergolong murah.

Tempat ujian dekat dengan rumah saya.

Semua buku kuliah yang saya perlukan sampai lulus sudah saya beli sejak awal masa pendaftaran.

Dan justru karena tidak ada kendala ini, diri saya dituntut untuk memiliki komitmen yang lebih kuat agar bisa menyelesaikannya. Sekarang usaha dan pengorbanan saya tidak terlalu berat,. Tidak seperti ketika saya kuliah di Cilegon- Serang dulu. Semuanya membutuhkan perngorbanan yang sangat besar. Dari biaya kuliah, ongkos bolak- balik Cilegon- Serang, kelelahan yang luar biasa ketika sepulang bekerja seharian, harus langsung kuliah sampai jam sebelas malam, dan tiba di rumah menjelang tengah malam. Dan ongkos bolak- balik ke Jakarta ketika harus ada praktek.

Saya bisa berhenti kapan saja, karena hampir tidak ada beban dan pengorbanan apa pun.

Belajar di Universitas terbuka kali ini lebih menantang, terutama dari sisi komitmen dan penguatan disiplin diri.

Ada tugas online yang harus saya kerjakan setiap minggu selama delapan minggu. Ada forum diskusi, ada tugas makalah. Yang berbeda hanya semuanya bisa saya kerjakan di rumah. Rata- rata saya mengambil 20 SKS satu semester. Jauh lebih singkat dari yang saya perkirakan sebelumnya.

Alhamdulillah, tidak terasa sudah lebih dari 100 SKS yang sudah saya tempuh dari 144 SKS yang ada.

Saya akan merasa malu luar biasa jika kali ini kuliah saya tidak sampai selesai juga.

Insyaallah, semoga Allah menguatkan komitmen saya, agar saya bisa melanjutkan kuliah saya ke jenjang yang lebih tinggi. Jika sudah menyelesaikan tahap ini, tentunya akan memudahkan saya untuk mengambil Master Degree di jurusan yang lain.

Walau pun jurusan yang saya pilih kali ini adalah “Jurusan Sejuta Umat”, yaitu jurusan manajemen, yang secara kasat mata jelas- jelas tidak akan banyak membantu untuk pengembangan karir saya di tempat bekerja sekarang, tapi saya mempunyai keyakinan.

Ini Déjà vu.

Di buku pertama saya, “Oase Kehidupan Dari Padang Pasir”, tulisan pertamanya adalah “Dialog Lima Belas Juta”, yang menceritakan pengalaman saya yang sedikit dicibir karena telah mengumpulan buku senilai lima belas juta. Yang pada akhirnya, dengan pertolongan Allah, buku- buku itulah yang telah mengantarkan saya bekerja di luar negeri.

Seperti itu juga pilihan saya untuk kuliah kali ini. Saya yakin, dengan izin Allah, di masa depan, setiap detik yang saya habiskan, setiap riyal uang yang saya bayarkan, setiap kalori energi saya yang terbakar ketika belajar, di masa depan akan Allah ganti dengan sesuatu yang dahsyat.

Insyaallah!

Doha, 3 Juni 2013

http://www.didaytea.com

Satu Riyal Yang Ajaib

Satu Riyal Yang Ajaib


“Jangan pernah meremehkan amalan sekeciil apa pun,  walau hanya sekedar tersenyum, karena kita tidak akan pernah tahu sebesar dan sedahsyat apa balasan yang Allah siapkan untuk kita di masa depan.

Di suatu pagi hari yang panasnya sudah seperti siang itu (Di sini sudah mulai memasuki musim panas, adzan subuh  sudah berkumandang jam setengah empat pagi. Jadi jam setengah lima langit sudah terang benderang) seperti biasanya saya menyetir menuju tempat bis jemputan.

 
Hampir setiap pagi sih, saya melewati sebuah pertigaan jalan. Di atas trotoar tepat di pertigaan itu, ada seorang tukang koran yang bulak- balik dari trotoar itu ke trotoar di seberang jalan di belakangnya. Mungkin di situ adalah tempat agen besar mendrop koran untuk dijual hari itu. Setiap saya melewatinya, dia pasti terlihat sedang sibuk membereskan dagangannya. Pernah saya melewati jalan itu agak siang, sekitar jam tujuh, dia masih ada di sana.

 
Awalnya sih tidak ada yang istimewa atau luar biasa. Ya, tukang Koran kan di Indonesia juga banyak.

 
Setiap saya bekerja shift pagi melewati pertigaan itu, setiap kali itu pula saya melihat pemandangan yang sama di atas trotoar itu. Si Bapak Tua tukang koran yang sedang membereskan beberapa tumpukan koran.

 
Pada suatu pagi, entah kenapa saya tiba- tiba ingin membaca koran.

 
Dari kejauhan saya sudah pasang lampu sein untuk menghampiri trotoar di pertigaan kecil itu.

 
Tepat ketika saya berhenti dan membuka pintu jendela kanan mobil saya, si Bapak Tua langsung menghampiri dan menyapa dengan ramah.

 
“Good Morning Pare!” Sapanya sambil langsung memajang senyum di bibirnya.

 
“You are Muslim?” Dia langsung bertanya lagi, mungkin karena mendengar alunan merdu Syaikh Abdurrahman As Sudais dari dalam mobil.

 
“Good Morning! Yes, alhamdulillah I am Muslim. But I am not Filipino, I am Indonesian, please call me Pak or Mas!” Jawab saya dengan sigap, dan langsung menjelaskan.

 
“Oh Sorry Sir, Sorry, I don’t know you are Indonesian!” Dia menjawab lagi sambil tetap tersenyum.

 
Di sini sudah sering dan lumrah kalau orang Indonesia dikira orang Filipina.

 
O iya, “Pare” itu artinya kurang lebih Masbro lah kalau dalam bahasa Indonesia gaul.

 
“Its okay no problem. You have Gulf Times?” Saya langsung saja bertanya.

 
Di Qatar, Koran yang berbahasa Inggris yang paling terkenal, eh, yang paling saya kenal sih, adalah Gulf Times dan Peninsula.

 
Itu pun jarang sekali saya baca. Kalau pun membaca, paling limpahan dari bekas bacaan para atasan yang sudah kadaluwarsa. Dan lagi pula, saya merasa belum ada urgensinya untuk saya membaca Koran lokal, kan internet sudah dua puluh empat jam dalam genggaman tangan, kapan saja saya bisa mengetahui informasi terbaru dari belahan bumi mana pun.

 
Pernah sih sengaja membeli koran berbahasa Arab, Al Watan.

 

Walau pun tidak intensif, tapi saya juga sedang belajar bahasa Arab. Tadinya sih diniatkan untuk praktek belajar bahasa Arab, dengan membaca situasi aktual, di koarn yang berbahasa Arab. Saya pikir bakal tidak akan terlalu sulit karena sudah ada kamus dan tentunya, Google translate.  Eh, pada kenyataannya, Alhamdulillah, setelah seminggu koran itu saya beli, tidak satu artikel pun yang saya berhasil pahami. Blas, ngga ada yang ngerti dan nyambung terjemahannya. Hehehe.

 
“Have Sir!” Dia langsung dengan gesit dan sigap membawa sehelai koran yang saya maksud. Sedikit tidak terduga, karena hampir tidak ada bagian dari rambut si Bapa Tua itu yang berwarna hitam.

 
“Peninsula I also have Sir! You want?”  Dia menawarkan koran yang satunya lagi.

 
“Okay I will take!” langsung saja saya iyakan tawarannya.

 
Dua eksemplar koran pun tak lama berpindah ke jok di sebelah kanan.

 
Kuulurkan selembar uang berwarna hijau, uang lima riyal kepada si Bapak Tua.

 
“One riyal, for you! Halal! Halal! Okay?” Langsung saja saya klarifikasi, ketika dia lagi- lagi dengan sigap langsung mengeluarkan selembar uang satu riyal dari saku kemeja biru tuanya yang sudah lusuh.

 
“Thank you so much Sir!” Ucapnya dengan wajah yang sumringah, sambil memasukkan lagi uang yang sudah dia pegang tadi.

 
“Wa’alaikumsalaam!” Dia menjawab sambil mengangkat tangan kanannya dan menempelkan tangan itu di atas dadanya ketika aku pamit dan berlalu mengucapkan salam.

 
Sejak saat itu, hampir setiap kali saya masuk pagi, saya pasti akan membeli koran dari si Bapak Tua itu.

Pernah beberapa kali, karena sudah terlambat, saya tidak sempat berhenti di pertigaan itu. Tampak sekali wajahnya yang penuh dengan harapan ketika dia langsung berdiri sambil memegang dua koran, ketika dia mulai melihat mobil biru saya dari kejauhan.

Saya hanya bisa mengangkat tangan dan menunjuk ke arah jam tangan saya, dengan harapan dia akan mengerti bahwa saya sudah terlambat mengejar bis jemputan.

 

Ketika besoknya saya berhenti di tempatnya, senyumnya selalu lebih lebar dari biasanya. Seolah ingin menunjukkan terimakasihnya karena saya sudah membeli korannya.

 

Satu riyal bernilai sekitar dua ribu enam ratus rupiah.

 

Tentunya nilai itu tidak seberapa. Di Qatar, satu riyal hanya  bisa membeli satu botol air mineral berukuran lima ratus mililiter.

 

Hampir terasa tidak ada nilainya.

 
Tapi, bayangkan apa yang bisa uang satu riyal ini lakukan ketika saya sedekahkan.

 
Si Bapak Tua ini sangat mungkin menanggung nafkah keluarganya dengan jauh- jauh pergi ke luar dari negerinya. Dan menafkahi keluarga tentunya adalah pahala yang luar biasa besar.

 
Terus, bagaimana dengan koran yang saya beli tadi?

 
Oh, ini tentu saja bakal bermanfaat.

 
Teman- teman saya, termasuk saya sendiri  di tempat kerja kan tidak semuanya punya akses ke koran baru.

 
Kadang- kadang kami sampai berebut ketika ada koran yang tergeletak.

 
Setidaknya ini membuat saya jadi melek informasi dan bisa memberi kebahagiaan kecil bagi teman- teman di kantor saya.

 
Siapa tahu , mungkin di akhirat kelak uang satu riyal ini yang menjadi tiket saya masuk ke Surga kan?

 
Siapa tahu, sedikit kebahagiaan kecil karena teman- teman saya bisa membaca koran tanpa harus membeli, adalah pembuka jalan bagi saya untuk mendapatkan rejeki yang luar biasa di masa depan?

 
Ganjaran dari Allah memang tidak selalu instan atau seperti memakan keripik pedas. Jam tujuh makan keripiknya, seketika seperti ada api unggun yang menyala di dalam perut kita.

 
Tapi disitulah The Art of Giving, kata ustadz Yusuf Mansur.

 
Bersedekahlah walau pun satu sen.

 
Memberilah walau pun itu hanya sekedar benda- benda yang sudah kita anggap sampah.

 
Berbagilah walau pun dengan barang- barang yang kita anggap tidak berharga.

 
Jangan pernah meremehkan amalan sekeciil apa pun,  walau hanya sekedar tersenyum, karena kita tidak akan pernah tahu sebesar dan sedahsyat apa balasan yang Allah siapkan untuk kita di masa depan.

Doha, 1 Juni 2013
www.didaytea.com

Brute Force Attack Al Qur’an

“Belum berhasilnya kita menggapai keinginan kita, kemungkinan besar karena kita terlalu cepat menyerah dengan keadaan. Belum mencoba segala kemungkinan yang ada”

Hafalan Mentok

Ada salah satu adegan di dalam film Transformers, ketika si robot alien yang menjelma menjadi sebuah boom box, dengan mudahnya menjebol password dan sistem keamanan di  NSA hanya dalam beberapa saat.

“Even though it will do brute force attack to break the our security, it will take thousands of years, but this thing just breached our security wall in a matter of second!” Kata si Teteh berambut pirang dengan logat Britishnya yang sangat kental.

Brute force attack adalah metode untuk memecahkan suatu kode dengan mencoba satu per satu semua kemungkinan yang ada.

Pengertian dari PCMag: “The systematic, exhaustive testing of all possible methods that can be used to break a security system”.

Sederhananya, seperti kita lupa kombinasi kunci koper yang hanya tiga digit. Ada 4960 kemungkinan kombinasi yang harus kita coba satu per satu.

Sudah beberapa tahun ini saya selalu mentargetkan untuk bisa menghafal Juz’Amma. Dengan target jangka panjang, menghafal seluruh 30 Juz Al Qur’an tentunya.

Tapi entah kenapa, selalu mentok, bahkan di surat pertama: An Naba.

Dan biasanya, begitu mentok, ya sudah saya menyerah deh. Paling banyak yang bisa saya hafal, sepuluh ayat, itu pun timbul tenggelam. Kadang tidak hafal sebagian, kadang ingat sebagian. 😀

Takdir Allah, saya mendengar ceramah  Kajian Makrifatullah Aa Gym yang terbaru, di tahun  2013, ada bagian yang membahas tentang menghafal Al Qur’an, ada juga tweet dari ustadz Yusuf Mansur, dan @HapalQuran.

Intinya ya seperti Bruce Force Attack  tadi, ketika kita sudah berniat menghafal Al Qur’an, ya kita harus mencoba setiap langkah, daya dan upaya.

Kalau kata Aa Gym sih, hikmahnya ketika kita sudah berusaha keras tapi belum hafal- hafal juga, mungkin Allah ingin kita lebih sering lagi membaca Al Qur’an. Kan, makin susah hafal, kita seharusnya makin banyak membacanya. Dan ada sepuluh kebaikan dari setiap huruf yang kita baca.

Mungkin jika kita langsung hafal, kita malah jadi malas lagi membacanya, karena mentang- mentang sudah hafal.

Selama empat tahun, ya, empat tahun, saya selalu menyerah. Boro- boro bisa menghafal full 30 Juz, Juz Amma saja, di luar surat- surat pendek yang sudah biasa kita hafal sejak TPA sepulang sekolah SD dulu, aku sudah menyerah. Surat paling panjang yang saya hafal paling, Al Fajr, dan itu juga masih “belang- betong”, masih sering ada ayat yang terlewat. Kalau Al A’Laa dan Al Ghasyiyah mah Alhamdulillah, akurasinya sudah 99%. Ketiga surat ini pun, baru tahun- tahun ini saja bisa saya hafal.

Masih kalah sama anak- anak TPA atau SD Islam, yang rata- rata sudah hafal Juz 30.

Tadinya mau saya acak saja urutannya. Karena An Naba ngga hafal- hafal, coba yang lain. Al Bayyinah. Eh, ternyata walaupun Cuma delapan ayat, tapi sama aja, panjang.

Tapi ya kenyaataannya seperti itu.

Pada akhirnya, saya memilih untuk bersembunyi di balik alibi bahwa masih banyak orang Islam yang belum bisa membaca Al Qur’an, masih banyak orang Islam yang jarang mengaji Al Qur’an.

Keinginan saya kembali berakhir sebatas niat.

Saya menyerah. Dan di dalam sholat pun, surat yang saya baca tidak pernah beranjak dari At Takatsur, Alam Nasyrah, Al Maa’un, At Tiin, dan tentu saja trio “Qul”, Al Ikhlas, Al Falaq dan An Naas. :D.

Niat Lagi

Di Awal tahun 2013 ini, saya bertekad  untuk mencoba lagi menghafal Juz ‘Amma. Kali ini serius saudara- saudara. Apalagi setelah sering membaca tweetnya Ustadz Yusuf Mansur dan @HapalQuran tentang One Day One Ayat, makin kuatlah tekad saya tersebut.

Kembali ke adegan film Transformer tadi. Adegan pendek di film itu menginspirasi saya untuk melakukan hal yang sama: Brute Force Attack.

Tapi kali ini targetnya adalah Al Quran.

Target utama yang terdekat saya empat bulan yang lalu tentunya seperti biasanya: Surat An Naba.

Saya beli CD murottal yang per Juz.

Ketika mudik dua bulan yang lalu, saya membeli Al Qur’an hafalan.

Tidak satu atau dua, tapi tiga!

Satu saya simpan di tas. Satu di dekat komputer, dan satu lagi di rak buku. Agar setiap saat, ketiadaan Al Qur’an di dekat saya tidak menjadi alasan.

Di iQuran, saya book mark surat An Naba.

Di telepon genggam, saya buat playlist khusus untuk Juz 30.

Sepanjang perjalanan ke tempat pekerjaan yang menghabiskan waktu selama satu jam, saya hampir selalu menyetel Surat An Naba. Di bis Surat An Naba. Sholat, surat An Naba.

Sebelum tidur, hampir selalu surat An Naba yang saya putar. Dengan harapan akan masuk ke dalam alam bawah sadar saya, seperti yang dibilang di dalam buku Quantum Learning. Apa yang kita dengar sebelum tidur, dan selama tidur, akan lebih mudah masuk ke dalam pikiran dan otak kita.

Pokoknya mah, tiada hari tanpa Surat An Naba deh!

Eh ternyata setelah dua bulan, masih belum hafal juga.

Terus lagi nyoba.

Lebih sering, lebih sering, beli CD lagi, Syaikh Abdurrahman As Sudais, 17 CD, biar jelas suaranya.

Sebelumnya CD yang saya selalu putar adalah dari Syeikh Khalifa At Tunaiji, ini sangat lambat. Tapi bagusnya, ada dua kali bacaan. Yang pertama membaca adalah Syeikhnya sendiri, terus diulang oleh seorang muridnya, anak kecil.

Ketika shift malam, bisa digeder, diputar semalaman sambil bekerja. Eh, ngomong- ngomong, digeder apa ya bahasa Indonesianya?

Dikeureuyeuh?

Ini juga masih bahasa Sunda ya? Hehehe

Diikuti dengan membaca terjemah per katanya.

Kurang lebih, artinya melakukan pekerjaan yang sama berulang- ulang sesering mungkin.

Saya pecah hafalan menjadi dua bagian, halaman pertama (halaman 582) dan halaman ke dua (halaman 583). Biasanya sih, saya baca ketika sholat rawatib atau tahiyatul masjid.

Saya juga membaca tafsir surat An Naba.

Ah, pokoknya, semua alternatif dan langkah serta tips untuk menghafal Al Qur’an tadi saya lakukan semuanya.

Alhamdulillah, ada perkembangan yang signifikan walau pun masih “apal cangkem” (hafal saja, tanpa mengetahui artinya).

Ini sudah sangat lumayan, dibanding “niat- niat” saya yang sebelumnya. Walau pun masih sering nge-blank  ketika di dalam sholat, tapi mulai sering saya bisa membaca terus hingga halaman pertama hampir habis.

Tadinya saya ingin membuat sibuk sebagai alasan. Kenapa masih belum hafal juga, padahal sudah dua bulan.

Memang pastinya kasus akan berbeda dengan lingkungan yang sengaja dibentuk seperti Daarul Quran, atau Rumah Hafiz. Mereka minimal bisa menghafal satu halaman dalam satu hari. Tujuh sampai delapan jam waktu mereka dalam sehari sepenuhnya digunakan untuk menghafal.

Tapi tidak bisa jadi alibi. Waktu luang bisa kita buat dan usahakan, bukan kita yang menunggu waktu luang. Yang lebih penting adalah niat.

Kalau niat menghafal saja tidak ada, bagaimana mau rutin membaca Al Qur’an kan?

Untuk orang seperti saya, yang bekerja shift,  kadang ketika sudah berkomitmen kuat pun, selalu saja ada kendala untuk mengkhususkan waktu. Sangat sulit untuk bisa menghafal pada waktu yang sama.

Jadi cara yang agak berhasil sih, ya itu tadi brute force attack, karena tidak terikat jadwal. Harus seperti striker oportunis, yang pandai memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Ada momen sedikit saja, langsung deh saya eksekusi. Jika kuat, dan niat sholat sunat, tidak ada surat lain yang saya baca selain An Naba.

Berhasil!

Dan lima hari yang lalu, Alhamdulillah, Allahuakbar! Empat puluh ayat Surat An Naba berhasil saya baca dari awal sampai akhir di dalam sholat tahiyyatul masjid. Setelah empat tahun berniat menghafal Juz Amma.

Alhamdulillah,  walau pun tidak sepenunya lancar, dan hanya 60 persen artinya yang mengikuti bacaaan saya, tapi ini pertamax kalinya saya bisa membaca Surat An Naba di luar kepala.

Dengan karunia Allah, dan Brute Force Attack tadi akhirnya saya berhasil.

Belum berhasilnya kita menggapai keinginan kita, kemungkinan besar karena kita terlalu cepat menyerah dengan keadaan. Belum mencoba segala kemungkinan yang ada.

Semoga setelah ini jalan saya untuk menjadi penghafal Al Qur’an menjadi lebih mudah, lebih luas dan lebih lapang.

Mari menghafal Al Qur’an!

(Terima kasih kepada Ustadz Yusuf Mansur, Aa Gym dan @HapalQuran)

http://www.didaytea.com