Toga Biru


 

Sekolah Mahal

Di Qatar, sampai tulisan ini dibuat, belum ada sekolah khusus untuk orang Indonesia seperti di beberapa negara lain.

Alhamdulillah, akhirnya saya bisa memasukkan si sulung ke salah satu sekolah yang ada, dan termasuk ke dalam sekolah yang termasuk ke dalam daftar yang ditanggung langsung oleh perusahaan.

O iya, perusahaan saya, dan perusahaan Oil & Gas atau Petrokimia lainnya di Qatar biasanya menanggung biaya pendidikan hingga anak ke-empat. Fasilitas ini juga yang menjadi salah satu pertimbangan saya untuk membubuhkan tanda tangan saya di atas surat penawaran dari perusahaan tempat saya bekerja sekarang.

Biaya pendidikan di sini super muahhall.

Biaya pendidikan per bulan sekolah setingkat TK Nol Besar saja bisa mencapai hampir lima juta rupiah! Padahal sekolah itu bukan termasuk sekolah yang elit, masih sekolah yang tingkatnya biasa- biasa saja. Salah satu sekolah elit yang ada di Doha, malah ada yang biaya per bulannya mencapai hampir delapan belas juta rupiah. Ya, anda tidak salah membaca dan saya juga tidak salah mengetik, delapan belas juta rupiah per bulan!

Di Indonesia, TK yang paling elit pun tidak akan memungut biaya sebegitu besar, bahkan bisa membiayai kuliah S2.

Ah, tapi ya sudahlah, ilustrasi biaya tadi hanya untuk pembuka tulisan saya saja.

Hari Pertama Sekolah

Langsung saja ke intinya deh, walau pun pasti untuk pembaca yang berada di Indonesia masih terkaget- kaget begitu mengetahui biaya sekolah di sini yang super mahal luar biasa.

Hari pertama anak saya sekolah adalah hari di mana saya benar- benar merasa menjadi orang tua yang sesungguhnya. Bahkan perasaan campur aduk antara bangga, taku, khawatir, perasaan menjadi tua, dan perasaan lain yang bertumpuk dan bercampur di dalam pikiran dan hati itu sudah muncul sejak hari pendaftaran.

Berlanjut ke persiapan sekolahnya. Dari mulai membeli seragam, peralatan sekolah, sepatu. Kami biarkan dia memilih sendiri model dan warna yang dia inginkan untuk peralatan sekolah. Walau pun ada efek sampingnya juga sih. Adik perempuannya yang baru beranjak dua tahun, ternyata ikut- ikutan seperti kakaknya. Pada akhirnya hanya satu anak yang sekolah, tapi belanjaan jadi dua kali lipat, karena si kecil meniru kakaknya dengan memasukkan benda- benda yang dia inginkan ke dalam kereta belanjaan.

Di hari pertama itu, perasaan kami berdua sudah campur aduk seperti bubur ayam yang sudah diaduk, tadinya rapih dengan topping kerupuk, daging ayam suwir, irisan seledri, kacang kedelai yang sudah digoreng garing, taburan merica, dan sedikit tetelan tulang ayam yang tenggelam di tengah adonan bubur, dilengkapi dengan sambel super pedas berwarna Jingga teronggok di sudut salah satu lekukan kerupuk

Gembira, karena kami akhirnya menaiki salah satu tangga fase kehidupan di dalam kehidupan berumah tangga, mengantar anak ke sekolah.

Sedih, karena sejak hari itu dan dua belas tahun, atau mungkin lebih, di hari selain hari libur kami sudah tidak akan mungkin lagi bisa mendengar canda tawanya di dalam rumah ketika matahari terbit.

Di hari itu pula kami bisa membayangkan perasaan orang tua kami ketika dulu melepas kami di hari pertama sekolah.

Entah apa yang ada dibenaknya, tapi di benak saya dan istri hanya ada satu perasaan: khawatir.

Khawatirnya cuma satu, tapi hal- hal kami khawatirkan banyak sekali.

Khawatir dia tidak akan bisa mengikuti pelajaran di sekolahnya, dan harus mengulang lagi di TK Nol Kecil tahun depan.

Khawatir dia tidak akan mengerti gurunya, yang tidak mungkin bisa berbahasa Indonesia.

Eh, tanpa terasa, serasa baru kemarin kami mengantarkannya ke sekolah.

Serasa baru kemarin kami dengar tangis dan teriakannya yang masih terdengar sampai gerbang sekolah, karena tidak ingin ditinggal. Hanya hari pertama sekolah saja kami boleh mengantarnya sampai ke dalam kelas . Besoknya, kami sudah tidak boleh melangkah lebih jauh dari garis pintu gedung kelasnya.

Pada hari pertama itu, gedung anak kelas Reception riuh rendah oleh tangis anak- anak TK yang tidak ingin ditinggal oleh orang tuanya. Ada yang berteriak- teriak. Ada yang bertahan sekuat tenaga memegang pintu kelasnya agar tidak tertutup. Ada yang menangis meraung- raung tak henti- henti. Gedung itu penuh sesak oleh para orang tua yang khawatir meninggalkan anaknya yang masih menangis.

“Don’t worry Sir, Maam, please leave now. This is normal. We are used to it already. We will take care of your children!” Ujar gurunya dengan memasang wajah yang sangat manis.

Padahal di saat yang sama, kaki kanannya sedang menghalangi pintu yang sedang didorong paksa oleh seorang anak, tangan kirinya memegangi tangan seorang anak laki- laki yang hendak lari keluar, dan mulutnya langsung berteriak kepada guru yang lain:

 “I need somebody here, please!” 

Karena dia melihat seorang anak berhasil berlari dari hadangan para guru dan lolos ke halaman kelas. Ketika dia tidak menemukan orang tuanya di sana, stadium kedua dimulai untuk anak itu.

Kali ini aktifitasnya bertambah. Tidak hanya menangis dan meraung- raung, tapi juga dilengkapi dengan teriakan dan kokosehan (duduk sambil menendang-nendangkan kaki), dan bahkan ada yang sampai berguling- guling.

Tadinya sih kami kira anak kami tidak akan sampai seperti itu.

Eh, ternyata di dalam kelas ada beberapa anak yang juga sudah mencapai stadium dua. Padahal, satu kelas yang hanya berisi dua puluh orang anak, dijaga oleh tiga orang guru.

Ah, pokoknya seru deh hari pertama itu.

Kalau di Indonesia kan jauh berbeda kondisinya.

Bukan hanya anak TK, bahkan seringkali anak sudah berseragam Putih- Merah pun masih ditunggui oleh Ibunya di kelas.

Mungkin hari yang “seru” itu sudah sering dihadapi oleh para guru, tapi bagi kami yang baru pertama kali mengalami chaos dan keseruan seperti itu, sangatlah luar biasa.

Luar biasa karena pertama kalinya.

Dan yang utama, luar biasa menambah lagi kekhawatiran kami terhadap si sulung yang masih menangis dan berteriak- teriak ketika kami tinggalkan di dalam.

Akhirnya kami tenang- tenangkan saja pikiran kami. Dan kami serahkan kepada Allah dan gurunya saja.

Ternyata periode seperti itu hanya berlangsung satu atau dua minggu saja.

Alhamdulillah, si sulung tidak susah dibangunkan. Walau pun dengan mata yang masih tertutup, dia tetap bangun untuk berdoá kala bangun tidur dan beranjak dari tempat tidur mungilnya untuk mandi. Dan ketika air sudah menyiram tubuhnya yang kini tidak super montok lagi, langsung segar bugar seketika. Masalahnya paling hanya tidak mau sarapan, tidak mau sekolah dengan berjuta alasan, atau tidak mau memakai seragam.

Alhamdulillah, setelah periode itu berlalu, kami sendiri yang malah terkaget- kaget dengan perkembangannya.

Ternyata kekhawatiran kami tidak terbukti sama sekali. Dia berhasil beradaptasi dengan hebat di lingkungan yang tadinya sama sekali asing baginya. Dan lagi dia langsung kami masukkan ke TK Nol Besar, bukan TK Nol kecil. Pertimbangannya sih ya itu tadi, perusahaan baru menanggung biaya sekolah anak karyawan di tingkat Nol Besar.

Bayi super montok itu kini sudah mempelajari tiga bahasa asing: Arab, Inggris, dan Prancis. Dan setelah term (Catur Wulan atau semester) pertama, dia sudah mulai cas-cis-cus berbahasa Inggris, dan dia mulai sering protes kalau diajak berbahasa Indonesia di rumah.

English, please!” Mulut mungilnya berucap dan mata belonya semakin besar karena sambil melotot.

Tidak berbeda jauh sih dengan orang tuanya, sama- sama tiga bahasa.

Hanya bahasa yang kami pelajari adalah Indonesia, Inggris dan Sundanese.

Hehehe.

Wisuda TK

Bayi super montok yang menjadi “mainan” sehari- hari kami sejak tiba di sini kini sudah tumbuh tinggi, kemarin berbaris melangkah masuk gedung ke tempat acara wisuda, memakai toga dan seragam kebesaran kain satin berwarna Biru sambil melambai- lambaikan tangannya yang masih montok dan pejal itu ke semua orang. Tentu saja bibirnya tidak lupa dia sejajarkan dengan pipinya yang masih tembem untuk membentuk senyum yang mungkin di masa depan akan membuat lawan jenisnya kelepek- kelepek. Hehehe.

Dia kemarin dengan lincahnya mentas di panggung bersama- puluhan teman- teman sekelasnya,  menari dan menyanyikan lagu “Transportation Song” dan “Graduation Song.”

Dia kemarin sudah berfoto dengan ijazah pertamanya dengan Toga Biru yang membalut tubuh mungilnya.

Padahal bapaknya seumur- umur belum pernah memakai Toga. Hehehe.

Selamat ya Nak! Kamu sudah lulus TK!

Kami sangat bangga kamu berhasil melewati tantangan besar pertama di awal kehidupanmu.

Doha, 11 Juni 2013

http://www.didaytea.com

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s