Satu Riyal Yang Ajaib


Satu Riyal Yang Ajaib


“Jangan pernah meremehkan amalan sekeciil apa pun,  walau hanya sekedar tersenyum, karena kita tidak akan pernah tahu sebesar dan sedahsyat apa balasan yang Allah siapkan untuk kita di masa depan.

Di suatu pagi hari yang panasnya sudah seperti siang itu (Di sini sudah mulai memasuki musim panas, adzan subuh  sudah berkumandang jam setengah empat pagi. Jadi jam setengah lima langit sudah terang benderang) seperti biasanya saya menyetir menuju tempat bis jemputan.

 
Hampir setiap pagi sih, saya melewati sebuah pertigaan jalan. Di atas trotoar tepat di pertigaan itu, ada seorang tukang koran yang bulak- balik dari trotoar itu ke trotoar di seberang jalan di belakangnya. Mungkin di situ adalah tempat agen besar mendrop koran untuk dijual hari itu. Setiap saya melewatinya, dia pasti terlihat sedang sibuk membereskan dagangannya. Pernah saya melewati jalan itu agak siang, sekitar jam tujuh, dia masih ada di sana.

 
Awalnya sih tidak ada yang istimewa atau luar biasa. Ya, tukang Koran kan di Indonesia juga banyak.

 
Setiap saya bekerja shift pagi melewati pertigaan itu, setiap kali itu pula saya melihat pemandangan yang sama di atas trotoar itu. Si Bapak Tua tukang koran yang sedang membereskan beberapa tumpukan koran.

 
Pada suatu pagi, entah kenapa saya tiba- tiba ingin membaca koran.

 
Dari kejauhan saya sudah pasang lampu sein untuk menghampiri trotoar di pertigaan kecil itu.

 
Tepat ketika saya berhenti dan membuka pintu jendela kanan mobil saya, si Bapak Tua langsung menghampiri dan menyapa dengan ramah.

 
“Good Morning Pare!” Sapanya sambil langsung memajang senyum di bibirnya.

 
“You are Muslim?” Dia langsung bertanya lagi, mungkin karena mendengar alunan merdu Syaikh Abdurrahman As Sudais dari dalam mobil.

 
“Good Morning! Yes, alhamdulillah I am Muslim. But I am not Filipino, I am Indonesian, please call me Pak or Mas!” Jawab saya dengan sigap, dan langsung menjelaskan.

 
“Oh Sorry Sir, Sorry, I don’t know you are Indonesian!” Dia menjawab lagi sambil tetap tersenyum.

 
Di sini sudah sering dan lumrah kalau orang Indonesia dikira orang Filipina.

 
O iya, “Pare” itu artinya kurang lebih Masbro lah kalau dalam bahasa Indonesia gaul.

 
“Its okay no problem. You have Gulf Times?” Saya langsung saja bertanya.

 
Di Qatar, Koran yang berbahasa Inggris yang paling terkenal, eh, yang paling saya kenal sih, adalah Gulf Times dan Peninsula.

 
Itu pun jarang sekali saya baca. Kalau pun membaca, paling limpahan dari bekas bacaan para atasan yang sudah kadaluwarsa. Dan lagi pula, saya merasa belum ada urgensinya untuk saya membaca Koran lokal, kan internet sudah dua puluh empat jam dalam genggaman tangan, kapan saja saya bisa mengetahui informasi terbaru dari belahan bumi mana pun.

 
Pernah sih sengaja membeli koran berbahasa Arab, Al Watan.

 

Walau pun tidak intensif, tapi saya juga sedang belajar bahasa Arab. Tadinya sih diniatkan untuk praktek belajar bahasa Arab, dengan membaca situasi aktual, di koarn yang berbahasa Arab. Saya pikir bakal tidak akan terlalu sulit karena sudah ada kamus dan tentunya, Google translate.  Eh, pada kenyataannya, Alhamdulillah, setelah seminggu koran itu saya beli, tidak satu artikel pun yang saya berhasil pahami. Blas, ngga ada yang ngerti dan nyambung terjemahannya. Hehehe.

 
“Have Sir!” Dia langsung dengan gesit dan sigap membawa sehelai koran yang saya maksud. Sedikit tidak terduga, karena hampir tidak ada bagian dari rambut si Bapa Tua itu yang berwarna hitam.

 
“Peninsula I also have Sir! You want?”  Dia menawarkan koran yang satunya lagi.

 
“Okay I will take!” langsung saja saya iyakan tawarannya.

 
Dua eksemplar koran pun tak lama berpindah ke jok di sebelah kanan.

 
Kuulurkan selembar uang berwarna hijau, uang lima riyal kepada si Bapak Tua.

 
“One riyal, for you! Halal! Halal! Okay?” Langsung saja saya klarifikasi, ketika dia lagi- lagi dengan sigap langsung mengeluarkan selembar uang satu riyal dari saku kemeja biru tuanya yang sudah lusuh.

 
“Thank you so much Sir!” Ucapnya dengan wajah yang sumringah, sambil memasukkan lagi uang yang sudah dia pegang tadi.

 
“Wa’alaikumsalaam!” Dia menjawab sambil mengangkat tangan kanannya dan menempelkan tangan itu di atas dadanya ketika aku pamit dan berlalu mengucapkan salam.

 
Sejak saat itu, hampir setiap kali saya masuk pagi, saya pasti akan membeli koran dari si Bapak Tua itu.

Pernah beberapa kali, karena sudah terlambat, saya tidak sempat berhenti di pertigaan itu. Tampak sekali wajahnya yang penuh dengan harapan ketika dia langsung berdiri sambil memegang dua koran, ketika dia mulai melihat mobil biru saya dari kejauhan.

Saya hanya bisa mengangkat tangan dan menunjuk ke arah jam tangan saya, dengan harapan dia akan mengerti bahwa saya sudah terlambat mengejar bis jemputan.

 

Ketika besoknya saya berhenti di tempatnya, senyumnya selalu lebih lebar dari biasanya. Seolah ingin menunjukkan terimakasihnya karena saya sudah membeli korannya.

 

Satu riyal bernilai sekitar dua ribu enam ratus rupiah.

 

Tentunya nilai itu tidak seberapa. Di Qatar, satu riyal hanya  bisa membeli satu botol air mineral berukuran lima ratus mililiter.

 

Hampir terasa tidak ada nilainya.

 
Tapi, bayangkan apa yang bisa uang satu riyal ini lakukan ketika saya sedekahkan.

 
Si Bapak Tua ini sangat mungkin menanggung nafkah keluarganya dengan jauh- jauh pergi ke luar dari negerinya. Dan menafkahi keluarga tentunya adalah pahala yang luar biasa besar.

 
Terus, bagaimana dengan koran yang saya beli tadi?

 
Oh, ini tentu saja bakal bermanfaat.

 
Teman- teman saya, termasuk saya sendiri  di tempat kerja kan tidak semuanya punya akses ke koran baru.

 
Kadang- kadang kami sampai berebut ketika ada koran yang tergeletak.

 
Setidaknya ini membuat saya jadi melek informasi dan bisa memberi kebahagiaan kecil bagi teman- teman di kantor saya.

 
Siapa tahu , mungkin di akhirat kelak uang satu riyal ini yang menjadi tiket saya masuk ke Surga kan?

 
Siapa tahu, sedikit kebahagiaan kecil karena teman- teman saya bisa membaca koran tanpa harus membeli, adalah pembuka jalan bagi saya untuk mendapatkan rejeki yang luar biasa di masa depan?

 
Ganjaran dari Allah memang tidak selalu instan atau seperti memakan keripik pedas. Jam tujuh makan keripiknya, seketika seperti ada api unggun yang menyala di dalam perut kita.

 
Tapi disitulah The Art of Giving, kata ustadz Yusuf Mansur.

 
Bersedekahlah walau pun satu sen.

 
Memberilah walau pun itu hanya sekedar benda- benda yang sudah kita anggap sampah.

 
Berbagilah walau pun dengan barang- barang yang kita anggap tidak berharga.

 
Jangan pernah meremehkan amalan sekeciil apa pun,  walau hanya sekedar tersenyum, karena kita tidak akan pernah tahu sebesar dan sedahsyat apa balasan yang Allah siapkan untuk kita di masa depan.

Doha, 1 Juni 2013
www.didaytea.com

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s