Tarawih Yang Hening

 

Malam ini adalah pertama kalinya saya bisa sholat tarawih berjamaah di masjid di malam pertama bulan Ramadhan, padahal ini Ramadhan ke enam yang saya jalani di negeri orang. Kebanyakan sih penyebabnya karena jadwal kerja yang pas sekali bertepatan dengan malam pertama Tarawih, atau bertepatan dengan jadwal mudik saya ke Indonesia.

 

Alhamdulillah, delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat sholat witir bisa saya ikuti dengan sempurna.

 

Saya merasakan perbedaan yang sangat signifikan, antara suasana sholat Tarawih, terutama malam pertama di Qatar, dibandingkan dengan di Bandung, atau Cilegon, dua kota tempat saya hidup sebelum hijrah ke sini di tahun 2008.

 

Tarawih di Bandung 

 

Suasana mesjid di Bandung ketika Tarawih malam pertama tidak jauh berbeda dengan pasar malam. Mesjid yang penuh sesak dengan jamaah dari segala kelompok umur dan kelamin. Dari bayi yang masih merah, sampai kakek- kakek dan nenek- nenek yang jalan pun sudah harus memakai iteuk (tongkat), dari ABG- ABG alay yang centil- centil sampai Ibu- ibu jamaah pengajian pun hadir tanpa alpa. Dari anak- anak TPA sampai anak- anak yang sehari- harinya bandel pun anda bisa lihat hadir di mesjid.

 

Di mesjid dekat rumah saya di Bandung, jamaah sholat Isya paling banyak hanya empat atau lima baris.

 

Tapi di awal Ramadhan sampai luber ke halaman luar mesjid, ramainya mengalahkan suasana ketika sholat Jumát. Bahkan setengah jam sebelum adzan Isya, mesjid sudah riuh rendah ribut dan pastinya ribet oleh penuh sesaknya para jamaah tahunan ini.

 

Dan tentu saja jangan lupakan kehadiran pemeriah suasana yang bahkan selalu hadir lebih dulu dibanding jamaah mesjid itu sendiri.

 

Tukang Cuankie.

 

Tukang Batagor.

 

Tukang Cilok.

 

Tukang Bubur sumsum.

 

Tukang Bakso

 

Mereka tanpa dikomando akan berjajar rapi di sepanjang gang di luar pelataran mesjid.

 

Semangat yang sangat luar biasa hebat.

 

Walau pun seiring dengan berlalunya hari- hari di bulan Ramadhan, isi mesjid mulau menyusut, tapi suasana seperti itu tidak pernah saya rasakan dan nikmati lagi, bahkan ketika di Cilegon.

 

Tarawih di Doha

 

Suasana tarawih awal Ramadhan di Doha berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat dengan suasana di Bandung.

Tulisan ini saya buat segera setelah saya tiba dari mesjid.

 

Biasanya, sholat Isya berjamaah di sini akan dimulai setengah jam setelah adzan Isya. Cukup lama memang, tidak seperti di Indonesia, yang jarak antara adzan dan iqomah paling lama sepuluh menit, kadang molor sih sampai lima belas menit, untuk menunggu selesainya sholat jamaah tidak tahu diri yang kadang datang terlambat, tapi masih saja memaksakan diri untuk sholat sunah tahiyatul mesjid. Padahal dia seharusnya tahu kalau dia datang terlambat.

Kalau di sini, begitu waktu iqomah tiba, muadzin tak akan terhentikan, walau pun ada jamaah yang masih sholat.

 

Tidak seperti biasanya, kali ini baru seperempat jam, muadzin sudah mengumandangkan iqomah. Mungkin karena terbiasa selama setahun jarak antara adzan Isyadan iqomah selalu dua puluh menit, bahkan kadang setengah jam, banyak jamaah yang terlambat.

 

Ketika imam takbir pun, hanya baris pertama yang terisi, itu pun tidak penuh. Tidak bisa mengalahkan penuhnya mesjid ketika sholat Jumát.

 

Dan ketika salam, mesjid baru terasa ramai karena kali ini ada enam atau tujuh baris yang penuh, dari kapasitas mesjid yang sepuluh atau sebelas baris.

 

Sepi dan sunyi.

Selama delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat sholat witir itu, nyaris hanya suara imam yang terdengar. Hampir tidak ada suara riuh rendah Ibu- ibu yang mengobrol di sela- sela dua rakaat Tarawih.

Walau di mesjid ada tempat khusus untuk wanita, tapi tetap, hanya hening yang ada.

 

Paling ada suara tangis bayi, itu pun tidak terlalu lama.

 

 

Kangen Kampung

 

            Dari sisi kekhusyuan sholat, tentu saja suasana sholat di Doha jauh lebih kondusif dan mendukung, karena jamaah sholat tidak terganggu oleh keributan di dalam dan di luar mesjid.

 

Tapi, dari sisi semangat, jamaah di sini terkesan adem- ayem saja. Tidak terasa kekuatan semangat ketika menghadapi Ramadhan.

 

Tidak terasa semangat luar biasa seperti jamaah sholat Tarawih di Bandung yang saya ceritakan tadi.

 

Di sini Butuh energi dan kekuatan yang lebih untuk bisa mempertahankan semangat sholat Tarawih.

 

Sebenarnya ada sih tempat yang merupakan perpaduan antara semangat di mesjid dekat rumah saya dulu di Bandung, dan kekhusyuan suasana shalat seperti di Doha.

 

Salah satunya di mesjid Daarut Tauhiid Bandung.

 

Ah, jadi kangen weh kangen ka Bandung kalau sudah begini mah!

 

 

Doha, 09012013

1 Ramadhan 1434H

 

http://www.didaytea.com

Diary Ramadhan Day 1

Setiap menjelang Ramadhan seperti ini, bahkan berminggu- minggu sebelumnya, pati selalu ada target yang ingin saya capai.

O iya, ramadhan kali ini adalah ramadhan keenam yang insyaallah akan saya lalui di Doha, Qatar.

Sejujurnya sih, selama lima Ramadhan yang telah saya lalui di Qatar, prestasi amalan saya sangat buruk.

Sholat tarawih tidak pernah full tiga puluh hari di mesjid. Membaca Al Qurán tidak pernah sampai setengahnya. Apalagi Itikaf, selama lima kali Ramadhan itu tidak ada satu hari pun.

Sejuta alasan bisa saya cari dan saya buat sih. Dari jadwal shift saya yang dua belas jam. Atau kondisi di rumah yang hanya berempat, dengan istri dan kedua anak-anak saya. Yang menyebabkan kurangnya waktu luang untuk beribadah ketika ada di rumah. Saya malah lebih sering sibuk bermain- main dengan anak- anak, berkumpul, atau jalan- jalan ke mall dan taman di Doha.

Lima kali Ramadhan seperti berlalu begitu saja, terasa hampir tidak bermakna. Tidak seperti ketika di Indonesia. Terkadang saya menyalahkan suasana di sini yang kurang mendukung.

Padahal keadaan dan sarana pendukung yang saya miliki sekarang jauh lebih lengkap dibanding ketika masih di Indonesia.

Al Qurán ada di tablet saya, sehingga seharusnya saya bisa membacanya sepanjang perjalanan dari rumah ke tempat bekerja yang memakan waktu satu jam setengah.

Sudah ada istri yang selalu sigap menyiapkan sahur dan makanan berbuka saya ketika di rumah. Tidak harus pusing- pusing ketika saya hampir tujuh tahun menjadi anak kost di Cilegon, yang melakukan semuanya serba sendirian.

Saya bekerja di lab, sehingga lebih mudah untuk bisa mengambil waktu luang untuk bisa sholat Dhuha sebentar. Atau bisa meluangkan waktu juga untuk sholat tarawih ketika masuk bekerja shift malam.

Ah, lagi- lagi ini kegagalan saya mengalahkan kemalasan. Kali ini saya harus kuat! Saya harus menang mengalahkan kemalasan!

Di senja ini, untuk keenam kalinya, saya menyambut Ramadhan di Qatar, yang jatuh pada hari yang sama dengan di Indonesia.

Selamat datang wahai Ramadhan.

Ku mengharapkan Ramadhan kali ini penuh makna,

Agar dapat kulalui dengan sempurna

 

Doha, Qatar

090113 18:23

1 Ramadhan 1434H

Masakan Paling Enak Sedunia



“Sesuatu yang menurut kita biasa saja, mungkin untuk orang lain adalah hal yang luar biasa”

Menu Favorit

Ketika baru beberapa kali bekerja di Qatar, saya memiliki seorang kenalan baru, seorang Chef di sebuah restoran yang terkenal. Restorannya berada tepat di depan pintu masuk salah satu mall yang terbesar di Doha.
Saya beberapa kali berkunjung ke restorannya, dan Alhamdulillah setiap itu pula saya hampir tidak pernah membayar. Sering saya memaksa untuk membayar, tapi dia paling hanya membiarkan saya membayar minumannya saja. Itu pun tidak seberapa dibanding harga  makanan utamanya.
Di restoran Italia yang dia kepalai, menu favorit saya adalah semacam Mie Ayam, tapi berbahan tambahan udang, disajikan dengan sangat unik. Bagian atas si mangkuk saji ditutup, atau ditangkupi oleh semacam kulit pangsit.

 

Ketika kita menusukkan sendok ke atasnya, langsung deh partikel- partikel aroma pedas, segar, dan menggiurkan yang ada di dalam mie/spageti tersebut berebutan masuk ke setiap sensor indra penciuman kita. Sekilas sih aroma yang keluar ini mirip dengan salah satu menu di restoran Pizza terkenal, Spicy Shrimp Fushili, hanya aroma nya jauh lebih segar dan lebih sedikit aroma kejunya.
Ceglug. Silahkan menelan ludah dulu sebelum melanjutkan membaca. Hehehe.

 

Menu favorit kedua saya, Pizza. Pizza buatan restoran ini sangat mirip dengan Pizza buatan waralaba terkenal.

Tapi, ada perbedaan yang sangat signifikan.

 

Pizza buatan restoran ini walau pun sudah dingin, tapi masih terasa crunchy. Tidak umes dan lunak seperti Pizza buatan waralaba yang terkenal itu.Bahkan walau pun sudah  dihangatkan dengan microwave.

 

Ketika saya sudah menikah dan membawa keluarga berkunjung ke restorannya , dan akhirnya bisa membayar dengan normal seperti konsumen lainnya, tetapi, selalu ada pelayanan yang spesial.

 

Minuman gratis, extra udang di dalam menu yang tadi saya sebutkan, dan lain-
lain.

 

Makanan Super Lezat

 

Saya beberapa kali menginap di rumahnya yang berada tepat di tengah kota  Doha.

 

Tempat kosan saya dulu di luar kota Doha. Jadi kadang kalau kemalaman setelah beredar seharian atau besok paginya ada kegiatan di Doha, saya biasanya menginap di rumahnya.
Di rumahnya ada beberapa orang yang mengisi, mereka juga Chef.

Hal pertama yang saya bayangkan ketika pertama kali menginap, tentu saja saya akan merasakan makan malam yang super nikmat dan mewah. Bayangkan saja, ada lebih dari satu orang juru masak di restoran Italia.

 

Dan perkiraan saya semakin nyata, ketika sebelum ke rumahnya saya diajak berbelanja dahulu ke supermarket.

 

Saya tidak tahu apa yang dia beli, karena saya hanya menunggu di mobil.

Sehabis melepas lelah, dia pun bertanya: “Mau makan apa nih ?” Tanya si mas  Chef sambil membereskan belanjaan tadi.
“Terserah, apa aja, pasti enak lah masakan Chef mah!” Saya menjawab sambil meraih sebotol air mineral di dalam kulkas.
“Beneran nih? Gua mau masak masakan yang menurut gua paling enak. Makanan favorit orang serumah nih. Tapi kayanya lu ngga bakalan sukaYakin ngga mau dimasakin apa- apa?” Tanya dia berusaha meyakinkan.
“Iya, yakin. Pasti enak lah masakn Chef internasional mah!” Jawab saya lagi.

“Oke deh, tunggu bentar ya! Nonton film atau apa dulu kek ya!” Kata si mas Chef, sambil berlalu membawa tubuh suburnya berjalan ke arah dapur.
“Siip! Tenang aja Mas!” Jawab saya sambil merebahkan tubuh lelah saya di atas sofa.

Kalau Chef tapi ukuran tubuhnya subur, menurut saya itu adalah nilai tambah, karena menunjukkan bahwa makanan hasil masakan dia pasti enak sekali.

 

Karena pasti mencicipinya banyak. Hehehe.
Kurang dari setengah jam, si mas Chef ini sudah sibuk bolak- balik dari dapur ke ruang tamu untuk menyiapkan beberapa piring dan mangkok dan peralatan makan lainnya.

“Broo! Makanan dah siap nih!” Si Mas bro berteriak memanggil temannya yang sedang  menyendiri di dalam kamar.

“Okee, bentar lagi gua keluar!” Ada suara laki- laki menjawab dari dalam kamar yang tertutup itu.
Dan tak lama sesosok tubuh kurus dan setinggi saya keluar dari kamar itu. Dia masih mengenakan seragam koki. Katanya sih dia mau berangkat kerja malam.

Ketika semua orang sudah duduk melingkar, dan sudah ada satu set peralatan makan lengkap di depannya, si mas Chef beranjak lagi dari duduknya menuju ke dapur.

Dasar Chef, peralatan makan biasa pun, dia susun begitu rupa sehingga terkesan sangat rapi, tidak seperti kita orang rumahan biasa yang menyusun sendok, garpu, piring dan mangkok sekenanya saja.
Semakin yakinlah saya bahwa  malam ini saya akan memakan masakan Italia yang super spektakuler dan maknyuuss…
“Niih…Makan malam kita udah jadi!” Kata si mas Chef sambil membawa panci yang berukuran lumayan besar.
Sejak dia keluar dari dapur saja, air liur saya sudah mengalir deras, sehingga saya harus ber-ceglug ria beberapa kali karena membayangkan seperti apa makan malam saya kali ini. Pasti masakan Italia yang belum pernah saya makan di restoran si mas Chef.

Menu Ajaib
Panci itu dia bawa dalam keadaan tertutup, dan sampai panci itu mendarat di tengah- tengah kami, saya masih belum bisa menebak makanan jenis apakah itu yang dia masak.

Tidak ada bocoran sekali untuk menebaknya, karena tidak ada satu pun partikel bau dan aroma dari masakan itu yang mampir ke dalam hidungku.
Eh, begitu dia buka pancinya, betapa terkejutnya saya melihat masakan yang ada di situ.

Ternyata,yang dia masak itu mie rebus pake telor!

 

Halah, gubraag..

 

Kalau adegan ini ada di film kartun, mungkin yang terlihat di televisi hanya gambar kaki saya saja yang terjengkang ke belakang.

“ Ayo cepetan, katanya laper! Udah gua buka lu malah melongo aja!” Dengan cueknya si mas Chef berkata seperti itu, tanpa menyadari bahwa saya masih syok melihat menu yang sejak dulu memang sudah jadi santapan sehari- hari saya di tempat kosan.

“Mas masak mie rebus pake telor?” Tanya saya untuk memastikan.

“Bukan Spicy Shrimp Linguini ala menu di restoran Mas?” Tanya saya lagi dengan masih memegang mangkok putih di depan dada.
“Loh, kamu pengen makan itu toh? Kenapa kagak bilang dari tadi?! Kalau lu bilang ya pasti gua masakin lah! Hahahaa” Dia menjawab sambil tertawa terbahak- bahak dan mengaduk- ngaduk mie rebus yang sudah tersaji di dalam panci aluminium berukuran jumbo itu.

“Ya gua nyangkanya mas bakal masak kaya menu di restoran lah. Trus tadi mas bilang juga bakal masak masakan paling enak dan favorit orang- orang di kosan ini. Mie rebus pake telor kaya gini mah gua hampir tiap hari makan. Ampe bosen!” Jawab saya sambil mulai menyendoki kuah mie rebus pake telor di dalam panci itu ke dalam
mangkok bagian saya.

 
“Hahaha..Menu paling enak di rumah ini ya ini, mie rebus pake telor. Eh, bukan masakan paling enak di rumah ini deng, tapi masakan paling enak sedunia selama kami kerja di Qatar. Kita hampir dua puluh empat jam nyium bau masakan Italia, megang pleus nyicipin masakan Italia, makan masakan Italia.”

 
“Bosen kali!” Kata si mas Chef sambil dengan lahapnya memindahkan semangkuk mie rebus ke dalam mulutnya yang masih komat kamit, sambil sesekali meremas botol saus pedas di atas mangkoknya, dan kadang terkekeh- kekeh lagi  mentertawakan saya yang malam itu terlihat sangat cupu.

Makan malam waktu itu bercampur dengan tawa terbahak- bahak.

Mie rebus pake telor makanan paling enak sedunia?

Menurut anda?

www.didaytea.com
Doha, 27 Juni 2013

Super Sya’ban Moon

Sejak kecil, saya sudah meyakini dan melihat sendiri bahwa ada kelinci di bulan. Setiap bulan purnama datang, memang siluet bayangan, atau area gelap di bulan itu membentuk siluet seperti kelinci.

Bulan purnama juga sering dibuat frase untuk merayu sang pujaan hati, dengan ungkapan “wajahmu secantik rembulan”. Kalau zaman sekarang, mungkin si wanita tidak akan terima wajahnya disamakan dengan wajah rembulan.Image

Karena semua orang sekarang tahu bahwa wajah bulan itu tidak mulus dan cantik, akan tetapi banyak kawahnya.

Saya sangat beruntung diberi jalan oleh Allah untuk bisa belajar sedikit ilmu fotografi. Tadi, ada yang memposting status dan foto supermoon di FB. Naluri tukang foto saya langsung aktif, dan langsung meloncat keluar sambil memboyong kamera kesayangan saya+lensa tele 18-200 satu- satunya.

Jepret, jepret, jepret, edit sedikit, selesai deh.

Dan hari ini saya melengkapi keyakinan saya, dengan mata kepala dan kamera sendiri,  menjadi Haqqul yakin bahwa wajah bulan  itu tidak indah.:)

Sekarang tepat pertengahan bulan Sya’ban, artinya dua minggu lagi bulan suci Ramadhan akan tiba.

Semoga kita masih diberi kesempatan untuk beramal dengan amalan yang terbaik kita di bulan yang terbaik.

Dan menjadi jalan agar kita menjadi suci bersih tanpa dosa, seperti bayi yang baru lahir dari rahim Ibunya.

Aamiin.

 

Jujur Itu Indah

JUJUR ITU INDAH

Surat Yang Rumit

Proses seseorang menjadi karyawan di perusahaan saya lumayan berat. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui.

Di akhir bulan September, saya mengikuti tes tertulis  dan wawancara dua hari berturut- turut. Sebulan kemudian , saya harus berangkat lagi ke Jakarta untuk mengikuti tes kesehatan.

Di antara tes kesehatan dan tes tertulis dan wawancara, kegiatan paling melelahkan yang harus saya lakukan adalah ketika membuat SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian), yaitu surat keterangan dari kepolisian yang menerangkan bahwa seseorang pernah atau tidak pernah berurusan dengan tindak pidana yang tercatat pada instansi kepolisian.

Saya harus meminta surat rekomendasi dari RW, Kelurahan, Kecamatan. Lalu harus ke Polres, Polsek dan sampai Polda.

Dan ini tidak bisa dilakukan dalam satu hari.

Karena saya tidak bekerja shift, jadi setiap keperluan yang berhubungan dengan pembuatan passport, bahkan sejak pembuatan SKCK tadi saya harus mengorbankan cuti saya.

Momennya juga pas sekali menjelang Lebaran.

Proses terakhir pembuatan SKCK adalah tanda tangan dari Kapolda. Dan saya ingat betul bahwa itu adalah bulan Ramadhan hari terakhir. Sampai- sampai saya harus mengorbankan waktu lebaran saya dengan keluarga di Bandung.

Di setiap tahapan ketika saya harus membuat dokumen- dokumen tersebut, setidaknya jatah cuti tahunan saya yang tinggal beberapa hari saja terpakai.

Dan sampai akhirnya cuti tahunan saya tidak ada yang tersisa, semuanya terpakai untuk pembuatan SKCK tadi, karena prosesnya yang sangat rumit dan menghabiskan waktu, dan juga tidak di satu tempat. Beda kota malah. Saya tinggal di Cilegon. Tapi Kantor Kecamatan, Polres, Polsek dan Polda ada di Serang. Yang paling dramatis ya ketika di Polda itu.

Dari rumah saya harus naik angkot ke tempat bis antar kota. Lalu naik bis sampai ke terminal pakupatan Serang yang sudah sangat jauh. Dan dari terminal ini pun, saya masih harus naik ojek lagi yang ongkosnya sepuluh ribu rupiah. Bayangkan saja jauhnya.

Ongkos ojek dari rumah kontrakan saya ke pangkalan bis yang berjarak sekitar tiga kilo meter saja hanya dua ribu rupiah.

Belum lagi keringat yang tak henti- henti bercucuran di setiap lipatan tubuh saya, yang seketika merubah wangi parfum menjadi bau asem, bahkan sejak duduk di pangkalan bis ke arah Serang.

Belum lagi ketika pembuatan paspor, saya harus bolak- balik Jakarta- Merak untuk mendapatkan surat rekomendasi dari agen perekrutan karyawan.

Cuti Habis         

 

Ada panggilan terakhir untuk mengikuti semacam penataran dari agen yang menjadi perantara perekrutan karyawan oleh perusahaan tempat saya bekerja. Penataran ini kata agen penyalur tenaga kerja itu wajib, karena kalau saya tidak tercatat pernah mengikutinya, kemungkinan besar saya tidak akan bisa berangkat.

Waktu itu saya benar- benar bingung bagaimana caranya agar besoknya bisa berangkat ke Jakarta, padahal cuti saya sudah habis.

Sampai pulang kerja pun kepala saya masih berputar bagaimana caranya agar saya bisa berangkat ke Jakarta besok pagi.

Satu- satunya cara yang mungkin adalah izin tidak masuk karena sakit. Sick Leave. Tapi saya tidak mau berbohong jika harus bilang bahwa saya sakit, padahal saya sama sekali tidak sakit. Saya takut nanti malah benar- benar sakit, dan tidak jadi berangkat ke Jakarta.

Tapi, berhubung pikiran saya sudah mentok dan karena hanya cuti sakit itulah cara agar saya tidak masuk kerja besoknya.

Urusan surat dari dokter, ya saya sudah berniat akan tetap jujur dengan tetap bilang ke dokter kondisi saya yang sebenarnya, hanya memerlukan surat darinya agar bisa cuti sakit, untuk keperluan saya pergi bekerja ke luar negeri.

“Ya sudahlah, Allah kan Maha Mengetahui, kali ini saya kan berbohong demi kebaikan. Saya berniat untuk pergi ke luar negeri agar bisa memperbaiki kehidupan saya dan orang tua saya. Semoga Allah mengampuni dan mengerti.”

 

Walau pun masih menyisakan pergolakan batin, tapi akhirnya tubuh lelah dan pikiran saya yang seharian bekerja dan berpikir keras, akhirnya saya tertidur tanpa sempat berganti baju, mandi, apalagi makan malam.

Allah Memberi Jalan

Saya tidak ingat jam berapa saya terlelap.

Saya ingat betul, waktu itu sekitar jam tiga pagi, ketika saya terbangun dengan perasaan tidak enak di perut, melilit seperti ada yang mengaduk- ngaduk dan diperas- peras.

Sakit luar biasa.

Dengan kelopak mata yang masih terasa sangat berat untuk dibuka, dan tubuh terhuyung- huyung karena masih belum sadar sepenuhnya saya beranjak dari sehelai kasur Palembang di kamar depan ke kamar mandi.

Tangan saya baru saja memegang bingkai pintu, ketika tiba- tiba seluruh isi perut saya tiba- tiba mendesak keluar dengan sangat kuat. Ya, semua yang ada di perut saya keluar dan saya terus muntah- muntah sampai tidak ada yang keluar lagi.

Kalau bahasa Sundanya mah, utah uger. Hehehe.

Saat itu juga saya langsung ganti baju dan bergegas menuju ke pangkalan ojek yang selalu ada dua puluh empat di komplek rumah kontrakan saya, menuju ke klinik terdekat yang buka non stop.

Alhamdulillah, saya bisa langsung bertemu dokter jaga di klinik itu.

Kata dia maag saya kambuh, kemungkinan pemicunya dari stress dan saya semalam lupa makan malam.

Sesaat sebelum saya beranjak keluar, tiba- tiba saya teringat sesuatu.

Surat Izin Sakit!” Teriakku di dalam hati.

Tanpa banyak bertanya si dokter muda yang umurnya paling lebih tua lima tahun saja segera mengambil secarik kertas blanko Surat Izin Sakit dari sudut mejanya. Dan segera membubuhkan tulisan khas dokter yang tidak pernah saya mengerti, dan tanda tangannya.

Surat itu pun akhirnya berpindah ke tangan saya setelah dimasukkan ke dalam amplop putih kecil, setelah saya menandatangani form tanda terima dari asuransi.

Walau pun perut masih terasa agak mual, tapi pikiran saya tiba- tiba menjadi tenang dan riang gembira, karena Allah sudah melindungi saya dari berbohong.

Setibanya di rumah kontrakan, saya langsung menelepon atasan saya, bahwa saya tidak bisa masuk karena sakit, dan utah uger sejak jam dua pagi. Tanpa banyak bertanya lagi dia pun mengiyakan, dan langsung memberikan izin setelah saya bilang bahwa saya baru saja pulang dari klinik.

Selepas sholat subuh berjamaah di mesjid, saya langsung mandi dan memakai baju setelan “melamar kerja”: celana panjang hitam+kemeja lengan panjang+sabuk yang gespernya mengkilat+sepatu vantopel yang baru saja disemir kemarin. Hehehe.

Alhamdulillah, sakit dan mual di perut saya sudah mulai reda. Mungkin karena obat yang tadi langsung saya minum di klinik dan sepotong roti cokat yang tersisa di dalam kulkas mungil saya.

Dan sakit serta mual itu akhirnya hilang sama sekali ketika tiga jam kemudian, saya sudah duduk dengan manis mendengar pengarahan dari agen tenaga kerja itu bersama teman- teman yang juga akan berangkat ke Qatar.

Jujur itu indah!

Diday Tea

12062013

http://www.didaytea.com