Oleh: Diday Tea
“Saya tidak punya waktu!”
Itu adalah alasan klasik dari orang-orang pemalas. Baik pemalas duniawi atau pemalas ukhrowi. Pemalas urusan dunia, atau pun pemalas urusan akhirat.
Buat saya, itu adalah pernyataan yang sangat bisa dibantah. Bagaimana bisa dia tidak punya waktu? Setiap orang, tanpa kecuali, pasti diberi “jatah” yang sama, dua puluh empat jam per harinya. Orang-orang besar di dunia ini memiliki jatah waktu yang sama, dua puluh empat jam. Orang-orang biasa seperti kita pada umumnya juga tentunya memiliki jatah waktu yang sama tanpa berbeda sedikit pun.
Perbedaaan mereka dengan kita orang-orang yang biasa-biasa saja ini hanyalah takdir Allah dan bagaimana mereka mengatur waktu mereka.
Ada orang yang dalam waktu dua puluh empat jam bisa mengurus negara.
Tapi ada juga orang, dengan jatah waktu yang sama mengurus dirinya sendiri tidak bisa.
Ada orang yang jauh lebih sibuk dari kita tapi dia bisa membaca minimal satu Juz Al Qurán, tapi ada orang yang sekedar mendirikan sholat tepat waktu saja sudah berjuang mati-matian. Dengan alasan itu tadi, “sibuk”.
Masalah sesungguhnya bukan pada jumlah waktu yang tersedia, akan tetapi melulu hanya kemalasan dan kekurangmampuan untuk mengelola waktunya dengan benar.
Ada konglomerat yang sejak baligh sampai sekarang hampir tidak pernah melewatkan sekali pun sholat Dhuha.
Tapi ada orang-orang yang secara duniawi juga kesusahan, tapi boro-boro sholat Dhuha, sholat wajib pun kadang terlewatkan.
Ada pengacara kondang yang sudah sejak pagi-pagi buta memulai aktifitas dan seharian bisa mengurus urusan klien seabrek-abrek. Tapi ada juga orang biasa saja yang bangun tidur pagi saja sudah merupakan keajaiban.
Ada ulama besar yang setiap perjalanan ke luar kota pasti bisa menyelesaikan satu naskah buku untuk umat, tapi ada juga orang yang bermimpi menjadi penulis, tapi selalu menyalahkan kesibukan dan kegiatan sebagai alibi kemalasan dirinya untuk menulis setiap hari.
Mereka adalah yang belum bisa mengatur skala prioritas.
Dan malas.
Penyebab utama seseorang menjadi malas untuk memasuki “dunia baru”, atau mempelajari sesuatu yang baru, atau belajar, adalah kurangnya motivasi. Ketika seseorang sudah berada di dalam zona nyaman di dalam kehidupannya, akan semakin kurang pula keinginannya untuk belajar.
Padahal, Kata Jim Collins, yang dikutip oleh Rhenald Kasali dalam bukunya, Change! “Good is The Enemy of The Great”. Kondisi bagus adalah lawan dari kejayaan. Orang yang sudah puas akan berhenti belajar dan menjadi angkuh. Pada saat itulah kita menghadapi ujian yang sesungguhnya di dalam kehidupan kita.
Segeralah keluar dari “tempurung” anda, buka mata anda terhadap dunia yang sekarang. Hiduplah di masa kini. Jangan lekas berpuas diri dengan kesuksesan diri anda di masa lalu, karena bisa menjebak anda di dalam pandangan sempit tentang kehidupan anda yang sebenarnya sangat luas tak terhingga.
Di masa kini kita hidup di dunia tanpa batas, di dunia yang memanjakan kita dengan kemajuan teknologi yang terus berkembang dengan kecepatan yang sulit kita bayangkan.
Semua orang bisa menjadi ahli dalam bidang apa pun. Hanya dengan memanfaatkan dahsyatnya kecepatan dan ketersediaan informasi dan ilmu di dunia maya.
Segala macam ilmu bisa kita pelajari. Dari ilmu duniawi sampai ilmu akhirat, semua terhampar dengan luas di dunia yang sudah hampir tanpa batas.
Kenapa sih, kita harus repot-repot menambah skill, menambah kemampuan, menambah wawasan?
Jawabannya adalah salah satu hadits Rasulullah SAW:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR Ahmad).
Yakinlah bahwa masih banyak yang bisa kita lakukan untuk terus menjadi lebih baik!
Belajarlah ilmu dunia dan ilmu agama sebanyak-banyaknya agar bisa menjadi manusia yang lebih bermanfaat untuk sebanyak mungkin orang lain di muka bumi.
Doha, 24 Oktober 2018
#30dwcjilid15 #30dwc #30dwcjilid15squad7