Hari Pertama Bagian Dua


“Tantangan untuk melawan hawa nafsu seperti kejadian tadi, seringkali datang tak terhenti, tiba tak tercegah, dan hadir tanpa disadari oleh hati sanubari”

 

            Awal hari pertama puasa saya sudah diuji dengan kejadian yang sangat menjengkelkan.

Hari pertama puasa tadi bertepatan juga dengan hari pertama kerja saya setelah libur rutin.

Seperti biasa, saya sudah menyetir ke tempat jemputan bis jam setengah lima tepat. Dan seperti biasanya juga, saya selalu tiba jauh sebelum jam empat lima puluh lima, jadwal bus jemputan tiba di tempat menunggu jemputan.

Ketika jam di hape saya menunjukkan jam empat lima puluh dua, terlihatlah bis jemputan itu dari kejauhan. Saya ya bersikap biasa saja, tidak berdiri atau bagaimana. Karena tahu bahwa si supir akan otomatis berhenti di situ.

Ehhhh…

Ternyata saya tidak dilirik sama sekali oleh si supir itu.

Dengan kepala lurus ke depan, tidak pake acara melirik dulu ke kanan, untuk memeriksa apakah ada karyawan yang sedang menunggu atau tidak, dia terus saja membawa bus besar itu melaju kencang.

Tepat di depan hidung saya.

Tapi saya masih sempat sih melihat mukanya. Ternyata bukan supir yang biasanya menjemput saya.

Seharusnya, prosedur yang dia ikuti adalah dia harus berhenti di setiap pos tempat menunggu jemputan, walau pun hanya beberapa saat. Untuk memastikan bahwa tidak ada karyawan yang tertinggal.

Untuk karyawan yang mempunyai mobil sih enak, tinggal membawa mobil ke tempat kerja.

Bayangkan jika karywan yang dia tinggalkan itu belum mempunyai mobil. Taksi pun tidak akan diijinkan masuk sampai ke daerah industri tempat saya bekerja.

Walhasil, dengan sangat terpaksa saya harus menyetir ke tempat kerja.

Penuh perjuangan.

Karena mood saya sudah mood untuk tidur di dalam bis dan merebahkan tubuh lemas saya yang semalam hanya tidur tiga jam, saya harus berjuang sangat keras untuk menahan kedua kelopak mata saya agar tetap terbuka sepanjan delapan puluh kilometer perjalanan.

Kalau sudah niat dari awal sih, sama sekali tidak ada masalah kalau saya harus menyetir sejauh itu.

Kadang- kadang pikiran saya langsung terasa segar dan bersemangat tancap gas sampai mobil pun tidak terasa melaju terlalu kencang, melebihi batas kecepatan seratus dua puluh kilometer yang dibolehkan.

Segar dan semangatnya sih, karena didorong amarah, dan ingin segera cepat sampai untuk mendamprat si supir belekok itu.

Dan benar saja, ternyata saya sampai lebih dulu dibanding bis jemputan itu.

Segera setelah supir itu memparkir bisnya, saya langsung hampiri dan saya marahi habis- habisan.

Walau puntidak sampai keluar kata- kata kasar, tapi saya komplen dengan nada tinggi dan mungkin hampir terdengar berteriak di sampign jendela supir itu.

Dia pun berjanji kalau besok dia akan berhenti di tempat saya menunggu jemputan.

Dengan mata yang masih melotot dan mulut yang masih komat- kamit menggerutu dan mengumpat si supir itu, saya tinggalkan dia menuju gedung ganti (Change Room, ruang tempat loker karyawan).

Astaghfirulloh.

Ketika saya terduduk di depan pintu loker saya untuk mengganti sandal saya dengan safety shoes, saya baru teringat kalau itu adalah hari pertama puasa saya.

Untuk muslim seusia saya, yang sudah belasan atau bahkan puluhan kali menjalani ibadah puasa, seharusnya tantangan untuk menahan sekedar lapar dan haus sih sudah tidak menjadi masalah lagi.

Tantangan untuk melawan hawa nafsu seperti kejadian tadi, seringkali datang tak terhenti, tiba tak tercegah, dan hadir tanpa disadari oleh hati sanubari.

Tantangan yang sesungguhnya.

Doha, 10 Juli 2013 19:21

2 Ramadhan 1434 H  

Iklan

Satu pemikiran pada “Hari Pertama Bagian Dua

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s