Paya dan Porotta


Paya dan Porotta

Sarapan rutin orang Indonesia, terutama orang Sunda seperti saya tidak akan jauh- jauh dari Bubur Ayam, Nasi Udux, Nasi Kuning, Lontong Sayur, dan Kupat Tahu. Kalau pun agak telat, ya tidak akan jauh juga dari Mie Ayam.

Di Qatar, biasanya menu- menu ini hanya tersedia di hari libur kerja resmi, Jumát dan Sabtu saja.

Tapi…

Lama- lama, kalau terlalu sering juga, pasti rasa bosan akan melanda lidah kita.

Kadang- kadang kita perlu alternative, sekedar untuk mengkalibrasi lidah kita.

Nah, beberapa bulan ini, sudah saya temukan alternative sarapan yang rasanya maknyos sekali. Untuk “pemula” masakan India, paling yang diketahui hanya sebatas Porotta+ Chicken Curry + Sabji.

Untuk orang Indonesia pun, ketiga makanan dasar ini seringkali malah membuat eneg dan mual, jauh dari nikmat atau sedap, apalagi sampai ke tahap berucap “Maknyuusss..!” seperti Bondan Winarno.

Ada satu menu yang ternyata hanya tersaji di Jumát pagi, itu pun tidak semua restoran India menyajikannya. Di teman- teman satu pekerjaan, menu ini sangat populer. Jika hari Jumat pagi bertepatan dengan waktu pulang shift malam, pasti orang- orang Indonesia langsung mampir ke restoran ini.

Menu ini tidak tersedia di semua restoran- restoran India yang biasa. Hanya restoran tertentu saja. Salah satunya restoran Kasar Kana.

Image

Restoran kecil ini berada di daerah Sana Roundout, tepat di belakang Sana Store.

Selain restoran ini ada juga sih, tapi kata mereka, Paya di sini paling pas pedasnya, dan paling maknyus rasanya.

Menu sarapan spesial super maknyus itu bernama Paya.

Entah bagaimana penulisannya yang benar, pokoknya terdengarnya Paya deh.

Image

Seperti menu India pada umumnya, wujud Paya tidak jauh dari bumbu kuning kekemasan a la kari atau gulai yang sangat pedas.

Pasangan sejati, atau soul matenya si Paya ini sudah pasti Porotta (ini juga entah benar atau tidak penulisan yang aslinya, hehehe).

Bahan dasar Paya ini adalah kaki kambing.

Tidak seperti Bulalo, menu sup khas Filipina yang terbuat dari kaki sapi, Paya lebih sedikit mengandung daging.

Bentuknya cenderung seperti tetelan.

Kemungkinan besar sih, memang sisa setelah dagingnya habis dibuat kari kambing, dan menu- menu daging kambing lainnya.

Rasanya, jelas lah tidak seperti daging. Yang akan kita makan kebanyakan adalah otot ligamen dan lemak yang masih tertinggal.

Entah kenapa, perpaduan renyahnya otot ligamen di seputar sendi- sendi kaki- kaki kambing yang mungil itu ngeblend dengan sangat sempurna dengan legitnya sobekan Porotta yang sudah dicelupkan dahulu ke dalam kuah kari Paya ini.

Sama sekali tidak ada bau perengus khas kambing, karena tertutup oleh maknyusnya kari pedas si Paya.

Hampir bisa dipastikan, kita tidak akan berhenti hanya di satu Paya dan satu Porotta.

Kebanyakan yang memesan menu ini, akan memesan lagi satu paket, Paya+Porotta.

Dan kalau masih kesengsem juga, kemungkinan besar juga bakal ngebungkus.

Karena kalau harus nambah lagi, pastinya agak sedikit malu. Kita bakal diledek sebagai penduduk RW06. Atau Rewog (Sundanese=gembul, banyak makan).

Seperti di foto sebelah kiri inilah, kondisi meja di depan anda akan berakhir.

Pokoknya percaya saya deh, enak banget!

Image

Ditambah perut kenyang dan posisi duduk yang agak menggelosor, lengkap dengan perasaan cepel dan lengket dari lemak sumsum tulang.

Sensasi menyobek Porotta yang masih panas, lalu dicelupkan ke kuah pedas paya, dan renyahnya ketika menggigit lepas otot ligamen kaki kambing dari tulang- tulang mungil ini, plus kedua tangan dan mulut yang agak cumang cemong sehabis menyedot sumsum di dalam potongan tulang- tulang mungil itu tentunya tidak akan lengkap tanpa kehangatan segelas Cay.

Sampai jumpa Jumát pagi di acara Paya Party!

Diday Tea

Doha, 220320130908

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s