Tangga Kejujuran yang Paling Tinggi
“Ada sebagian orang yang mencari alasan untuk meninggalkan apa yang diwajibkan padanya untuk mencari keselamatan.” (Imam Ibnu Taimiyah)
Suatu subuh di hari Senin, Abu Hamid al Ghazali mengambil wudhu dan melakukan shalat. Setelah selesai, ia berkata pada saudara kandungnya, Ahmad, agar mengambilkannya kain kafan. Kain itu kemudian ia kenakan menutupi tubuhnya, hingga kedua matanya, ia lalu berkata: “Aku mendengar dan taat menanti datangnya malaikat.” Setelah itu ia meluruskan kedua kakinya dan menghadap kearah kiblat. Abu Hamid AL Ghazalu tak lama kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir sebelum matahari terbit pada hari itu.” Itulah sepenggal kisah kehidupan terakhir Hujjatul Islam Al Ghazalu rahimahullah, yang diceritakan saudara kandungnya, Ahmad. (Ats Tsabat Indal Mamat, Imam Ibnul Jauzi).
Saudaraku
Tak ada yang paling bertanggung jawab menentukan langkah hidup ini, kecuali kita sendiri. Keadaan apa pun yang melingkari hidup kita pun sebenarnya tak dapat memaksa kita melakukan apapun, kecuali kita sendiri yang akan mengayunkan langkah. Baik buruk, menang kalah, untung ruginya kehidupan. Kitalah yang menentukannya. “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum mecuali kaum itu sendiri yang merubahnya.” Begitu arti firman Allah dalam surat Ar Ra’dayat 11.
Kitalah yang akan menentukan ke mana kita akan pergi. Kita juga yang akan paling bertanggung jawab atas akibat dari semuanya. “Tataplah cermin yang paling dekat denganmu. Di sanalah berdiri satu-satunya orang yang paling bertanggung jawab atas kesuksesan atau kegagalanmu dalam hidup. Tersenyumlah. Ingat, tak ada orang lain yang bisa menanggung kegagalan atau kesuksesanmu.” Pesan seorang psikolog itu penting juga untuk kita renungi. Allah swt telah memberikan rambu dan pelita untuk kita. Selanjutnya, kita yang menentukan, apakah kita akan mengikuti rambu dan pelita itu, atau tidak.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah pernah membahas firman Allah swt yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa melihat apa yang telah ia lakukan untuk hari esok. Dan bertaqwalah pada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian lakukan.” (QS. AL Hasyr : 18). Ibnul Qayyim mengatakan, bahwa perintah Allah dalam ayat tersebut mengandung anjuran kepada setiap orang untuk dua hal. Pertama, mengevaluasi diri masing-masing. Dan kedua melihat dan menghitung, apakah perbekalan yang telah ia persiapkan di dunia sudah cukup saat ia bertemu Allah atau belum.
Saudaraku
Kita pasti pernah melakukan kesalahan. Tapi mungkin, kita kerap melempar kesalahan yang kita lakukan kepada pihak lain. Atau mungkin, bila kita sulit mendapatkan orang yang akan dipersalahkan, kita akan menyalahkan, keadaan, atau mengutuki nasib. Sedikit orang yang mau berdiri, jujur mempertanggungjawabkan semua keadaan pada dirinya dan melihat siapa sebenarnya orang yang paling bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Sedikit juga orang yang mau mengakui kesalahan kemudian memperbaiki langkah dan meluruskan kekeliruan. Padahal kunci perbaikan itu dimulai dari kesadaran akan kekeliruan yang menyebabkan kegagalan.
Sikap melempar kesalahan pada pihak lain, adalah sikap mencari-cari alasan. Sedangkan mencari-cari alasan adalah gejala mendustai diri sendiri yang ada pada tingkatan kedustaan yang paling berat. Sebagaimana kejujuran pada diri sendiri menempati tingkat kejujuran yang paling tinggi. “Kebohongan berawal dari jiwaaaa. Lalu merembet pada lisan dan merusak perkataan. Kemudian merembet pada anggota badan dan merusak segala perbuatan. Dan akhirnya kebohongan itu menyelimuti perkataan, perbuatan dan segala keadaan.” Demikian ungkapan Ibnul Qayyim rahimahullah.
Saudaraku,
Dahulu, sikap mendustakan pada diri sendiri dan mencari-cari alasan dilakukan sekelompok orang munafiqin. Pernah, suatu ketika mereka mengangkat alasan tidak bisa ikut berjihad karena cuaca panas. Perkataan mereka dsebutkan dalam surat At Taubah ayat 81. Sayyid Quthb dalam tafsirnya mengatakan, “Berjuang di jalan Allah itu waktunya sebentar dan terbatas meski di bawah teriknya matahari di bumi. Tapi panasnya jahannam tidak ada yang mengetahui kedahsyatannya kecuali Allah.
Ada juga yang mencoba mencari alasan untuk diizinkan tidak ikut dalam perang Tabuk karena takut terkena fitnah wanita Bani Ashfar. “Semua orang di kaumku tahu bahwa aku tidak kuat melihat Bani Ashfar. Izinkan aku tidak berperang. Aku akan membantumu dengan harta yang aku miliki.” Demikian pinta Jidd bin Qais kepada Rasulullah saw. Sebenarnya Jidd bin Qais tidak berangkat perang karena tahu kesulitan yang akan dialaminya dalam perang Tabuk melawan pasukan Romawi. Peristiwa yang disinggung dalam surat At Taubah ayat 39 ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Taimiyah, “Ada sebagian orang yang mencari alasan untuk meninggalkan apa yang diwajibkan padanya untuk mencari keselamatan.“ (Majnu Fatawa, 28/166).
Saudaraku,
Peristiwa serupa bahkan terjadi di kalangan para sahabat ra. Imam Qurthubi mengutipkan hadits shahih dari Ali bin Abi Thalib, “Suatu malam Rasulullah datang mengetuk pintu rumahku ketika aku bersama Fatimah. Rasul mengatakan, “Tidakkah kalian shalat?” Aku mengatakan “Ya Rasulullah sesungguhnya jiwa kita ada pada kekuasaan Allah. Jika Allah berkehendak kami untuk bangun maka kami akan bangun.” Mendengar perkataanku itu Rasulullah pergi berpaling sambil menepuk pahanya dan mengatakan firman Allah, “Dan adalah manusia itu banyak membantah.” (Al Jami Li Ahkamil Quran : 66)
Saudaraku,
Jangan menyesali atau menyalahkan keadaan. Karena sampai detik ini, Allah terus menerus memberi nikmat yang melimpah ruah pada kita. Nikmat hidayah, nikmat kesejahteraan, nikmat kesehatan, nikmat rizki yang halal bahkan nikmat hidup itu sendiri yang berarti nikmat kesempatan. Ucapkanlah perlahan-lahan lalu renungkanlah sepenggal do’a yang pernah dianjurkan dibaca setiap hari oleh rasulullah, “…Abuu’u laka bini’matika alaiyya wa abuu’u bidzanbi faghfirlii fainnahu laa yaghfiru dzunuba illa anta.” (Ya Allah) Aku menyadari betapa banyaknya nikmat-Mu padaku, dan aku juga menyadari betapa banyak dosa-dosaku. Ampunilah kesalahanku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosaku kecuali Engkau.
Ingat saudarakua, kunci perbaikan itu berawal pada sikap jujur pada diri sendiri. Dari sanalah segala kesalahan bisa diluruskan. Dan karenanya, itulah tangga kejujuran paling tinggi yang harus kita capai.
Mencari mutiara di Dasar Hati