“Siapa yang bisa menandingimu wahai anak cucu Adam dalam hal bertaubat? Engkau bisa datang ke mihrab kapanpun engkau mau, untuk menghadap Tuhanmu. Tak ada apapun yang membatasi antara dirimu dan Tuhanmu. Tak ada perantara. Tak ada penterjemah.” (Bakr bin Abdillah Al Muzani)
“Jangan melangkah dijalan keputusasaan. Di alam ini terhampar berjuta harapan. Jangan pergi ke arah kegelapan. Di alam ini terdapat banyak cahaya….” Kalimat itu ditulis besar-besar di sebuah papan tulis oleh seorang ulama. Sebelum menuliskan pesan indah itu, dikisahkan seorang muridnya bertanya, “Wahai Syaikh, bila engkau sudah tidak lagi bersama kami, kalimat apa yang dapat kami pegang untuk berhasil menjalani hidup ini?”
Semoga Allah masih mempersatukan hati kita, wahai saudaraku.
Putus asa simbol ketidakberdayaan dan gelap adalah simbol kesesatan. Dalam hidup ini, ternyata ada sebagian orang yang cenderung asyik dengan keputusasaan, kekecewaan dan kehilangan harapan. Meskipun kalau mau, ia bisa mendapatkan kenyataan yang bisa membuatnya optimis, bersemangat dan penuh harapan. Ternyata,memang ada pula sekelompok yang cenderung asyik berada dalam gelap. Meskipun kalau mau, ia bisa mengetahui betapa luasnya dan betapa banyak cahaya yang bisa menerangi jalan dihadapannya. Orang yang sudah putus harapan dan lebih suka ada dalam kegelapan adalah kelompok orang yang sama sekali tak merasakan bahagia dan indahnya hidup.
Sederhana sekali Ibnul Qayyim memberi jawaban tentang sumber kebahagiaan hidup, “Allah”. Orang yang telah memiliki rahasia kebahagiaan itu, menurut Ibnul Qayyim, akan menjadi raja di dunia dan akhirat. Di dunia, orang itu disegerakan oleh Allah memperoleh surga akhirat. “Hatinya memandang, kefakiran adalah kekayaan saat dirinya bersama Allah. Memandang kekayaan itu kefakiran saat dirinya tidak bersama Allah. Kemuliaan itu hina tanpa Allah. Kehinaan itu mulia bersama Allah. Kenikmatan itu adzab tanpa Allah. Adzab itu nikmat bersama Allah. Kesimpulannya ia tidak melihat kehidupan kecuali dengan Allah. Merekalah orang-orang yang telah mendapatkan dua surga. Surga di dunia yang disegerakan Allah ketika ia hidup di dunia dan surga di akhirat yang menantinya.” (Nafa-5is Al Fawaidh/202)
Saudaraku,
Tanamkan keyakinan bahwa Allah bersama kita.
Ketergantungan hati kepada Allah, sebagaimana diuraikan Ibnul Qayyim, hanya bisa dimiliki oleh orang yang sungguh-sunguh membina dan mendidik jiwanya. Membina dan mendidik jiwa dengan selalu mengaitkan segala persoalan dari sudut yang benar.
Kebenaran memandang hidup itulah yang menjadikan seseorang memiliki ketenangan jiwa, ketentraman, kebahagiaan, perasaan lezat dengan iman. Apapun yang terjadi. Seperti diungkapkan Ibnul Qayyim selanjutnya, “Orang-orang seperti ini tidak merasa gelisah ketika orang lain gelisah. Tidak takut ketika orang lain takut, tidak menangis ketika orang lain menangis. Wajah dan hati mereka bersinar karena cahaya Allah. Lisan mereka tidak lepas dari dzikir kepada Allah. Hati mereka lekat dengan mesjid. Mereka sungguh-sungguh berpacu dengan waktu untuk mengisi catatan amal mereka dihari akhir …. “ Disanalah inti kebahagiaan.
Saudaraku,
Keputusasaan bisa terjadi tanpa disadari. Begitupun kegelapan. Kerap kali kegelapan itu melalaikan. Seperti orang mabuk. Tak sadar bila dirinya mabuk. Keburukan selalu menarik pelakunya untuk melakukan keburukan dan menjadikan pelakunya lupa apa yang ia lakukan. Perhatikanlah firman Allah swt dalam surat Ash Shaff ayat 5 yang artinya “… Maka ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka (dari kebenaran)… ”
Tapi jangan lupa, prinsip itu juga berlaku untuk kebaikan. Kebaikan selalu mendorong pelakunya untuk melakukan kebaikan yang lain, sehingga menjadikan pelakunya selalu bersemangat untuk melakukan kebaikan demi kebaikan. “Jika engkau melihat seseorang melakukan keburukan, ketahuilah bahwa keburukan itu memiliki saudara keburukan yang lain. Dan jika engkau melihatnya melakukan kebaikan, maka ketahuilah kebaikan itu akan mempunyai saudara kebaikan-kebaikan yang lain.” Kata Zubair bin Awwam. (Tahdzibu Tahdzib, 7/183).
Said bin Jubair, salah seorang imam generasi Tabi’in mengatakan, “Sesungguhnya termasuk pahala kebaikan adalah kebaikan.” (Majmu Fatwa Ibju Taimiyah 10/11)
Syaikh Muhammad Ahmad Rasyid, penulis kitab Al Awa’iq, mengisahkan sebuah ironi. Saya, tulisnya, telah menyaksikan langsung bagaimana orang-orang yang berada dalam komunitas orang-orang baik kemudian mengundurkan diri dari lingkungan itu. Ia kecewa dan putus asa karena keinginannya tidak diperoleh. “Selanjutnya orang itu mulai tidak melakukan amar ma’ruf. Lalu meninggalkan shalat wajib dan mencukupkan diri hanya shalat Jum’at saja. Tak sampai disitu akhirnya ia juga tidak puasa di bulan Ramadhan bahkan kemudian menjadi terbiasa melakukan sesuatu yang membatalkan puasa disiang hari. Ia menghisap rokok dengan tenang dan menghembuskan asapnya kepada orang-orang yang berpuasa….”
Saudaraku,
Iman dalam hati kita ibarat pelita. Bila cahayanya meredup berarti kita akan larut dalam gelap dan kehilangan petunjuk dalam menjalani kehidupan. Dan semakin cahayanya menyala, berarti kita semakin bisa melihat segala sesuatu di hadapan kita dengan jelas.
Wajar saja jika pelita itu kadang meredup, karena memang begitulah tabiat iman sebagaimana digambarkan oleh Rasulullah, bahwa iman itu terkadang bertambah dan berkurang. Tapi tentu kita harus berupaya agar tidak redup terus menerus bahkan padam. Hanya ada satu cara untuk menyalakan kembali pelita yang meredup itu : Taubat.
Seorang ulama bernama Bakar bin Abdillah AL Muzani menegaskan “Siapa yang bisa menandingimu wahai anak cucu Adam dalam hal bertaubat? Engkau bisa datang ke mihrab kapanpun engkau mau, untuk menghadap Tuhanmu. Tak ada apa pun yang membatasi antara dirimu dan Tuhanmu. Tak ada perantara. Tak ada penterjemah.”
(Mencari Mutiara di Dasar Hati)