Jangan Pernah Kalah


“Bersungguh-sungguhlah dengan kehinaanmu, niscaya Ia menolongmu dengan kemuliaan-Nya. Bersungguh-sungguhlah dengan ketidakberdayaanmu, niscaya Ia menolongmu dengan kekuasaan-Nya. Bersungguh-sungguhlah dengan kelemahanmu niscaya Ia menolongmu dengan kekuatan-Nya.” (Ibnu ‘Athailah)

Saudaraku,

Suatu ketika, mungkin kita pernah berpikir, betapa berat dan kerasnya perjalanan hidup ini. Saat hati kita seolah tak mampu lagi menahan beban masalah. Saat kita merasa lunglai, lemah dan berat melangkahkan kaki, merasa tak kuat dan bingung menghadapi berbagai suasana hidup yang sulit dan berat. Ketika kita tak lagi merasa mampu berdiri menopang beban berat yang harus dipikul.

Tidak. Itu bukan tanda-tanda kelemahan yang patut disesali. Sebab manusia memang diciptakan dalam keadaan serba lemah. Tapi Allah berjanji tidak akan menimpakan beban masalah kepada seseorang, di atas kemampuan orang tersebut untuk memikulnya.

Buya Hamka pernah mengatakan bahwa tingkat cobaan iman itu tak ubahnya dengan anak tangga yang bertingkat-tingkat. Tiap satu anak tangga dinaiki, datang dari bawah suatu pukulan hebat mengenai tubuh orang yang mendaki. Kalau tangannya kuat bergantung, kalau kakinya kuat berpijak, dan kalau akal pikirannya tetap waspada, pukulan itu malah akan mendorong menaikkannya ke anak tangga yang lebih tinggi. Tapi kalau tangannya lemah, kakinya tidak kuat, akalnya hilang, pikirannya kusut, maka pukulan itu akan dapat menjatuhkan dan merobohkannya. Yang paling disayangkan, kalau robohnya tidak hanya satu dua buah anak tangga ke bawah, tapi jatuh ke anak demi anak tangga di bawahnya yang sangat banyak. Bahkan karena lemahnya, seseorang bisa sulit bangkit lagi.

Dalam ungkapan yang lain Imam Hasan AL Basri mengatakan, “Ketika badan sehat dan hati senang, semua orang mengaku beriman. Tetapi setelah datang cobaan barulah diketahui benar tidaknya pengakuan itu. Orang yang ingin permintaannya cepat terkabul hari ini dan tidak sabar menunggu, itulah orang yang lemah iman.”

Saudaraku, coba renungkan

Memang, ada orang pintar yang hidupnya miskin, orang bodoh yang hidupnya kaya raya, pembela kebenaran hdup terisolir, orang kafir memiliki harta benda,berbidang-bidang tanah, orang Islam jadi penyapu jalanan.

Tapi, renungkan lagi, saudaraku

Nabiyullah Ya’qub harus kehilangan anaknya, Yusuf yang sangat dicintainya. Bertahun-tahun kemudian hilang pula adiknya yang bernama Bunyamin. Ketika anak yang kedua itu hilang, karena ditangkap oleh wakil raja Mesir yang sebenarnya adalah Yusuf sendiri, Ya’qub tetap tidak putus asa berharap pada Allah. Dia hanya menerima kejadian itu dengan harapan yang lebih besar, “Semoga Allah mengembalikan anak-anakku itu semuanya.” (QS. Yusuf:83). Katanya lagi, “Sabarlah yang lebih baik, dan kepada Allah lah tempat minta tolong.” (QS. Yusuf:18).

Bagaimana penderitaan Nabiyullah Yusuf as sendiri? Ia tidak disukai saudara-saudaranya sejak kecil. Bahkan dilempar ke dalam sumur yang gelap gulita. Diperdagangkan sebagai budak belian. Lalu dijebloskan ke penjara meski ia tak pernah melakukan kejahatan sedikitpun.

Lihatlah Nabiyullah Musa as. Ia dilahirkan dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Dikirimkan dalam sebuah peti oleh ibunya di sungai Nil karena takut dibunuh raja Fir’aun. Setelah besar diutus menjadi Nabi, dan sekian lama menumpang dirumah ayah angkatnya sendiri, Fir’aun. Setelah itu datang petunjuk dari Allah bahwa ayah angkat itulah musuhnya.

Allah juga membebani kehidupan yang sungguh berat pada Nabi Musa as. Dari keluarga miskin dan dari bangsa yang miskin, menempuh perjuangan diantara kekafiran yang sangat kuat dan besar.

Lihat juga, Nabiyullah Ibrahim as. Cobaan apa yang melebihi cobaan yang menimpa kekasih Allah itu? Imannya diuji dengan ujian yang beratnya tidak ada tandingnya. Diperintahkan untuk menyembelih anak kandung sendiri.

Mana yang lebih besar penderitaan dengan penderitaan Nabi Adam as? Bersenang –senang dalam surga bersama istrinya,tapikemudian diperintahkan untuk keluar dari surga.

Di mana kesulitan kita dibandingkan penderitaan Nabi Nuh as yang menyeru umatnya, tapi anak dan istrinya sendiri tidak mau menjadi pengikutnya? Bahkan ketika Allah memerintahkannya untuk naik perahu, anaknya tetap menolak dan akhirnya tertelan dalam gulungan banjir. Isa Al Masih as pun seperti itu. Rasulullah Muhammad saw lebih tinggi lagi.

Pernahkah mereka mengeluh? Tidak. Mereka yakin bahwa iman kepada Allah memang menghendaki perjuangan, pengorbanan sekaligus keteguhan hati. Mereka tidak terlalu menuntut kemenangan lahir, karena mereka selalu menang di dalam bathin. Mereka memikul beban berat, menjadi Rasul Alllah, memikul perintah Allah, dan karena itulah mereka tempuh kesulitan. Pertama, untuk membuktikan kecintanya pada Allah, dan kedua untuk menggembleng bathinnya agar menjadi semakin kokoh.

Saudaraku,

Di situlah tersimpan kekuatan iman. Tanpa kekuatan iman, sujud dan ruku’ menjadi kering. Karena sesungguhnya ia hanya laksana dahan yang berasal dari batang keimanan. Dahan akan kurus, daun akan kering, bila batang tak memiliki akar yang kuat, kokoh dan tak mudah goyah diterpa angin dan badai. Dahan dan ranting sangat tergantung oleh suplai makanan dari batang dan akar. Batang dan akar itulah substansi iman.

Saudaraku, sekali lagi

Jangan pernah kalah oleh beratnya cobaan hidup. Tidak semua permintaan kita harus dikabulkan. Karena Allah lah yanglebih mengenal bathin kita dari pada kita sendiri. Imam Ibnul Qayyim memberi pemisalan, seperti seorang anak kecil yang bersedih karena belum pantas diberi uang melebihi kekuatan akalnya, padahal belum tentu ia bahagia bila permintaannya terkabul. Teka-teki hidup ini sangat banyak. Jangan menyangka Allah lemah menolong hamba-Nya.

Saudaraku,

Lalu, kapan dan bagaimana pertolongan dan bantuan Allah itu? Ibnu Athaillah memberi pengarahan yang sangat bagus dalam hal ini. “Tampilkan dengan sesungguhnya sifat-sifat kekuranganmu niscaya Allah menolongmu dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Bersungguh-sungguhlah dalam kehinaanmu, niscaya Ia menolongmu dengan kemuliaan-Nya. Bersungguh-sungguhlah dengan ketidakberdayaanmu, niscaya Ia menolongmu dengan kekuasaan-Nya. Bersungguh-sungguhlah dengan kelemahanmu niscaya Ia menolongmu dengan kekuatan-Nya.

Pertolongan, bantuan, dukungan dan kemenangan dari Allah itu pasti. “Adalah hak bagi Kami menolong orang-orang beriman.” (QS. Ar Ruum : 47). Sedetikpun Allah tak pernah meninggalkan hamba-Nya yang beriman. Dan, jika Ia berkehendak, tak ada yang dapat menghalangi turunnya pertolongan dan bantuan-Nya. Masalahnya hanya ada pada proses turunnya pertolongan dan bantuan itu. Karenanya, sekali lagi, jangan pernah kalah oleh cobaan.
(Mencari Mutiara di Dasar Hati)


didaytea!

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s