Nasihat Seorang Ibu

Nasihat Seorang Ibu

Seorang ibu memberi nasihat kepada putrinya ketika melepaskannya untuk diboyong sang suami dengan ucapan:

“Hai putriku, kamu akan berpisah dengan tempat kamu dilahirkan dan meninggalkan sarang tempat kamu dibesarkan, pindah ke sangkar yang belum kamu kenal dan kepada kawan pendamping yang belum kamu kenali sebelumnya.”

“Dengan kekuasaan suamimu atas dirimu dia menjadi pengawas dan penguasa. Jadilah pengabdi baginya, supaya ia juga menjadi pengabdi bagimu.”

“Hai, putriku, camkan pesanku yang sepuluh sebagai pusaka dan peringatan untukmu.”

“Bergaullah (berkawan) atas dasar kerelaan (ikhlas). Bermusyawarahlah dengan kepatuhan dan ketaatan yang baik. Jagalah selalu pandangan matanya, jangan sampai ia melihat segala sesuatu yang buruk dan tidak menyenangkan hatinya.”

“Jaga bau-bauan yang sampai ke hidungnya, dan hendaklah ia selalu mencium wewangian darimu. Celak mata memperindah yang indah dan air dapat mengharuimkan bila tidak ada wewangian.”

“Jagalah waktu-waktu makannya dan ketenangan saat tidurnya, sebab perihnya perut disebabkan rasa lapar dapat mengobarkan amarah dan kurangnya tidur sering menimbulkan rasa jengkel.”

“Peliharalah rumah dan harta bendanya, dirinya, kehormatannya, dan anak-anaknya. Sesungguhnya, menjaga harta bendanya ialah suatu penghargaan yang baik dan menjaga anak-anaknya adalah suatu perbuatan yang mulia.”

“Janganlah engkau sekali-kali membocorkan rahasianya dan jangan menentang perintahnya. Bila membocorkan rahasianya kamu tidak akan aman dari tindakan balasannya dan bila kamu menentang perintahnya berarti kamu menanam dendam dalam dadanya.”

“Janganlah engkau terlihat gembira di saat dia sedang sedih dan susah, dan jangan bersikap murung saat dia bergembira. Kedua hal ini dapat menimbulkan kesalahpahaman yang akan membuat keruh rumah tanggamu.”

“Muliakanlah dia agar dia juga memuliakanmu dan banyaklah bersikap setuju agar dia lebih lama menjadi pendampingmu.”

“Kamu tidak akan mencapai apa yang kamu inginkan, kecuali bila mengutamakan keridhaannya atas keridhaanmu, dan mendahulukan hawa nafsunya terhadap hawa nafsumu dalam hal-hal yang kamu senangi dan yang kamu benci.”

(Hikmah dalam Humor, Kisah, dan Pepatah)

Bisikan-Pikiran-Nafsu Birahi-Kehendak Maksiat-Kebiasaan

Bisikan-Pikiran-Nafsu Birahi-Kehendak Maksiat-Kebiasaan

Ulama besar, Ibnul Qayyim, berkata, “Pertahankanlah bisikan yang berdetak agar tetap di hatimu, kalau tidak, hal itu akan berubah menjadi buah pikiran. Bila telah berubah, pertahankanlah semampumu agar ia tetap dalam pikiranmu. Dan kalau tidak mampu, ia akan menjadi nafsu birahi.

Kendalikan nafsu agar ia tertundukkan, dan jika akan lahir rencana buruk dalam bentuk kehendak. Jagalah kehendak itu, karena tidak dijaga niscaya akan menjadi perbuatan maksiat.

Kalau perbuatan maksiat tidak bisa dicegah, ia akan menjadi temanmu sebagai suatu kebiasaan dan adalah sulit bagi manusia meninggalkan suatu kebiasaan.”

Hakikat Doa

Hakikat Doa

”Jangan sampai permintaanmu kepada Allah engkau jadikan alat untuk mendapatkan pemberian Allah, niscaya akan kurang pengertianmu (ma’rifatmu) kepada Allah. Namun, hendaknya doa permintaanmu semata-mata untuk menunjukkan kehambaanmu dan menunaikan kewajiban terhadap kemuliaan Tuhanmu.” (Imam Ibnu Atha’illah)

Allah menyuruh kita berdoa, bukan berarti Allah tidak tahu kebutuhan kita. Allah jauh lebih tahu kebutuhan kita dibanding kita sendiri. Hakikatnya, permintaan yang kita panjatkan terlalu sedikit dibanding dengan karunia yang telah Allah berikan pada kita.

Allah juga tidak membutuhkan doa kita. Walau seluruh manusia dan jin menolak berdoa kepada-Nya, kemuliaan Allah tidak akan berkurang. Sebaliknya, jika seluruh manusia dan jin memohon kepada Allah, kemuliaan-Nya pun tidak akan berubah.

Lalu, mengapa Allah dan Rasul-Nya menyuruh kita berdoa? Ada empat alasan.

Pertama, memperjelas kedudukan kita sebagai hamba dan Allah sebagai Al Khalik. Memahami hakikat diri sebagai hamba, akan menjadikan kita rendah hati. Karena itu, seorang pendoa yang baik akan terhindar dari sikap sombong, malas, dan bergantung selain kepada Allah.

Kedua, doa sebagai sarana dzikir. Allah menyuruh kita berdoa agar kita ingat kepada-Nya. Dengan mengingat Allah, hati kita akan tenang. Dan ketenangan adalah kunci kebahagiaan. Allah berfirman dalam QS Ar Ra’d [13] ayat 28, ”(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenang dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenang.”

Ketiga, doa adalah target. Doa hakikatnya adalah tujuan, keinginan, atau target yang ingin kita raih. Saat kita mengucapkan doa sapu jagat misalnya, maka itulah target kita: selamat dunia akhirat. Saat kita berdoa lunas hutang, maka itulah target kita: bebas utang. Tentu target tidak akan pernah tercapai bila kita tidak mengusahakannya.

Doa adalah pupuk, sedangkan ikhtiar sebagai bibitnya. Tidak mungkin kita akan panen, bila kita segan menebar bibit. Jadi doa yang baik adalah doa yang disertai dengan ikhtiar maksimal. Itulah iman dan amal saleh.

Keempat, doa adalah penyemangat. Pada saat seorang hamba berdoa, maka yakinlah bahwa hamba tersebut memiliki harapan, dan harapan akan melahirkan semangat.

Saudaraku, semangat itu mahal harganya. Sebab, semangat akan menentukan sukses tidaknya seseorang. Pertolongan Allah hanya akan mendatangi orang yang bersemangat; bersungguh-sungguh. Bukankah saat kita bersungguh-sungguh kepada Allah, maka Allah akan lebih bersungguh-sungguh lagi kepada kita?

Saudaraku, perbanyaklah berdoa kepada Allah. Doa adalah inti ibadah. Doa adalah senjata orang beriman. Doa adalah pengubah takdir. Doa pun menjadi kunci terbukanya pertolongan Allah. Karena itu, yang terpenting dari doa bukan urusan terkabul tidaknya doa kita. Yang terpenting dari doa adalah berubah tidaknya diri kita karena doa. Wallaahu a’lam.
aa gym


didaytea!

Khawatirlah!

Dari situsnya bapak Mario Teguh..
dengan sedikit modifikasi..

By Ferry Permadi,
“KEKHAWATIRAN”

Dalam hidup, sering kali kita merasa khawatir.

Saya sangat khawatir sekali akan banyak hal;

Saya sangat khawatir, bahwa anak saya nanti tidak mendapatkan pendidikan yang baik untuk masa depannya.

Saya sangat khawatir, ketika menyadari bahwa pendapatan saya hanya bersaing dengan kebutuhan yang semakin lama semakin menunjukan potensi kemenangannya.

Saya sangat khawatir, ketika setiap tahun berkurangnya usai tidak sebanding dengan kebaikan dan manfaat yang telah kita berikan.

Saya sangat khawatir, ketika banyak impian dan cita-cita yang belum dapat terwujudkan.

Saya sangat khawatir, ketika ternyata upaya kita selama ini, masih jauh dari cukup dibanding mereka yang telah mencapai keberhasilan yang kita impikan.

Kebahagiaan adalah tidak adanya ketidak-bahagiaan.

Ketidak-bahagiaan adalah keadaan di mana hadir kekhawatiran dan atau ketakutan.

Dengan demikian kita bisa disebut berbahagia bila kita bisa terlepas dari rasa khawatir atau rasa takut.
Dan ternyata memang benar, tidak mungkin seseorang bisa menyebut dirinya berbahagia,
bila kualitas hidupnya terlukai oleh hadirnya rasa khawatir atau rasa takut.

Rasa khawatir adalah bibit dari rasa takut. Dan rasa khawatir yang tidak dikelola dengan baik akan tumbuh menjadi sebuah ketakutan,
yang kemampuan merusaknya jauh lebih besar dari rasa khawatir.

Apakah banyaknya rasa kekhawatiran saya menjadi penghalang bagi Kebahagiaan?
Apakah saya tidak bisa berbahagia dengan banyaknya rasa khawatir?.

Hidup ini demikian penuh dengan alasan untuk merasa khawatir dan merasa takut,
sehingga bila suatu hari kita mendapati hati ini terbebas dari rasa khawatir,
sama sekali tidak merasa khawatir,… justru itu-lah saat untuk mulai merasa khawatir.

Kedengarannya sebagai sebuah double-standard, karena kenyataan yang satu membatalkan yang lain.

Sebetulnya tidak. Yang dari luar tampak sebagai sebuah standar ganda,
sebetulnya lebih sering berupa pengamatan tentang dua titik ekstrim dari sebuah kontinum.
Seperti, membalas atas kejahatan orang kepada kita itu dibenarkan,
tetapi akan lebih baik bagi kita apabila kita memaafkan.

Orang yang benar-benar khawatir akan berupaya lebih sungguh-sungguh.

Jadi, … khawatirlah.

Ternyata pengertian dari anugerah rasa khawatir itu sangat indah.

Rasa khawatir merupakan satu sumber kekuatan yang diciptakan seperti kesulitan yang dibaliknya terdapat kemudahan.

Rasa khawatir yang tidak dikelola dengan baik, yang dibiarkan tumbuh menjadi ketakutan, akan menjadikannya sebagai penghalang kebahagiaan.

Sebagai kesulitan, karena dengan rasa takut yang ditimbulkannya menjadikan kita tidak lagi berani mengupayakan perbaikan.

Tidak berani keluar dari zone kenyamanan yang kita anggap tidak akan ada perubahan.

Tidak berani mengupayakan sesuatu yang baru, yang menjadi pemungkin keadaan baru.
Bagaimana kita bisa mengharapkan hasil yang baru dengan upaya yang tidak baru?.

Rasa Khawatir, yang menjadikan kita berupaya lebih bersungguh-sungguh didalamnya dijanjikan kemudahan didalam upaya dan kesungguhan kita.

Sahabat dalam kesempatan baik ini, ijinkan saya untuk mengutip tulisan indah dari guru kita ” Kepada Engkau yang sedang Gelisah”.

Semoga tulisan yang menenangkan kegelisahaan ini, dapat menjadikan kita lebih kuat dan berhasil memenangkan kekhawatiran-kekhawatiran kita.

Dia,

Tuhan mu Yang Maha Pengasih,

menunggu mu

agar engkau datang bermanja-manja kepada-Nya

meminta maaf karena keraguan mu,

mengembalikan kesadaran mu

kedalam kasih sayang-Nya

Dia,
ingin mendengar mu berjanji lagi

dengan meminjam kesungguhan

dari janji mu yang terakhir,

bahwa engkau tidak akan lupa lagi,

bahwa apa pun yang terjadi

adalah untuk kebaikan mu.

Katakanlah bahwa engkau telah mengerti

bahwa semua upaya dan hasil mu tidak penting

bila dalam pencapaiannya

engkau menjauh dari-Nya.

Berjanjilah kepada Tuhan mu,

bahwa dalam keraguan mu yang akan datang,

engkau akan menjaga diri mu

bermanja-manja dekat dengan-Nya;

karena engkau tahu

bahwa bila Dia berkenan,

tidak ada yang tidak akan Dia berikan

kepada mu,

meskipun apa pun,

Bila Dia berkenan.

Seberapa jauh pun perjalanan mu,

engkau akan sampai bila engkau dekat dengan-Nya.

Seberapa sulit pun pencarian mu,

engkau akan menemukan

bila engkau mencari.

Seberapa jauh pun engkau hilang,

engkau akan dicari dan ditemukan

bila engkau mencarikan jalan

bagi saudara mu yang kehilangan jalan.

Maka bila kegelisahan datang lagi kepada mu,

sambutlah ia dengan penghormatan bagai kepada tamu

yang membutuhkan pengertian baik.

Sesungguhnya,

kegelisahan mu hanyalah kekuatan mu

yang sedang kebingungan.

Maka, damaikanlah diri mu.

Pulihkanlah jiwa mu

kepada keindahan asli mu.

Keindahan jiwa mu

adalah sumber dari semua kekuatan mu.

– MT –

Tangga Kejujuran yang Paling Tinggi

Tangga Kejujuran yang Paling Tinggi

“Ada sebagian orang yang mencari alasan untuk meninggalkan apa yang diwajibkan padanya untuk mencari keselamatan.” (Imam Ibnu Taimiyah)

Suatu subuh di hari Senin, Abu Hamid al Ghazali mengambil wudhu dan melakukan shalat. Setelah selesai, ia berkata pada saudara kandungnya, Ahmad, agar mengambilkannya kain kafan. Kain itu kemudian ia kenakan menutupi tubuhnya, hingga kedua matanya, ia lalu berkata: “Aku mendengar dan taat menanti datangnya malaikat.” Setelah itu ia meluruskan kedua kakinya dan menghadap kearah kiblat. Abu Hamid AL Ghazalu tak lama kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir sebelum matahari terbit pada hari itu.” Itulah sepenggal kisah kehidupan terakhir Hujjatul Islam Al Ghazalu rahimahullah, yang diceritakan saudara kandungnya, Ahmad. (Ats Tsabat Indal Mamat, Imam Ibnul Jauzi).

Saudaraku

Tak ada yang paling bertanggung jawab menentukan langkah hidup ini, kecuali kita sendiri. Keadaan apa pun yang melingkari hidup kita pun sebenarnya tak dapat memaksa kita melakukan apapun, kecuali kita sendiri yang akan mengayunkan langkah. Baik buruk, menang kalah, untung ruginya kehidupan. Kitalah yang menentukannya. “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum mecuali kaum itu sendiri yang merubahnya.” Begitu arti firman Allah dalam surat Ar Ra’dayat 11.

Kitalah yang akan menentukan ke mana kita akan pergi. Kita juga yang akan paling bertanggung jawab atas akibat dari semuanya. “Tataplah cermin yang paling dekat denganmu. Di sanalah berdiri satu-satunya orang yang paling bertanggung jawab atas kesuksesan atau kegagalanmu dalam hidup. Tersenyumlah. Ingat, tak ada orang lain yang bisa menanggung kegagalan atau kesuksesanmu.” Pesan seorang psikolog itu penting juga untuk kita renungi. Allah swt telah memberikan rambu dan pelita untuk kita. Selanjutnya, kita yang menentukan, apakah kita akan mengikuti rambu dan pelita itu, atau tidak.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah pernah membahas firman Allah swt yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa melihat apa yang telah ia lakukan untuk hari esok. Dan bertaqwalah pada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian lakukan.” (QS. AL Hasyr : 18). Ibnul Qayyim mengatakan, bahwa perintah Allah dalam ayat tersebut mengandung anjuran kepada setiap orang untuk dua hal. Pertama, mengevaluasi diri masing-masing. Dan kedua melihat dan menghitung, apakah perbekalan yang telah ia persiapkan di dunia sudah cukup saat ia bertemu Allah atau belum.

Saudaraku

Kita pasti pernah melakukan kesalahan. Tapi mungkin, kita kerap melempar kesalahan yang kita lakukan kepada pihak lain. Atau mungkin, bila kita sulit mendapatkan orang yang akan dipersalahkan, kita akan menyalahkan, keadaan, atau mengutuki nasib. Sedikit orang yang mau berdiri, jujur mempertanggungjawabkan semua keadaan pada dirinya dan melihat siapa sebenarnya orang yang paling bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Sedikit juga orang yang mau mengakui kesalahan kemudian memperbaiki langkah dan meluruskan kekeliruan. Padahal kunci perbaikan itu dimulai dari kesadaran akan kekeliruan yang menyebabkan kegagalan.

Sikap melempar kesalahan pada pihak lain, adalah sikap mencari-cari alasan. Sedangkan mencari-cari alasan adalah gejala mendustai diri sendiri yang ada pada tingkatan kedustaan yang paling berat. Sebagaimana kejujuran pada diri sendiri menempati tingkat kejujuran yang paling tinggi. “Kebohongan berawal dari jiwaaaa. Lalu merembet pada lisan dan merusak perkataan. Kemudian merembet pada anggota badan dan merusak segala perbuatan. Dan akhirnya kebohongan itu menyelimuti perkataan, perbuatan dan segala keadaan.” Demikian ungkapan Ibnul Qayyim rahimahullah.

Saudaraku,

Dahulu, sikap mendustakan pada diri sendiri dan mencari-cari alasan dilakukan sekelompok orang munafiqin. Pernah, suatu ketika mereka mengangkat alasan tidak bisa ikut berjihad karena cuaca panas. Perkataan mereka dsebutkan dalam surat At Taubah ayat 81. Sayyid Quthb dalam tafsirnya mengatakan, “Berjuang di jalan Allah itu waktunya sebentar dan terbatas meski di bawah teriknya matahari di bumi. Tapi panasnya jahannam tidak ada yang mengetahui kedahsyatannya kecuali Allah.

Ada juga yang mencoba mencari alasan untuk diizinkan tidak ikut dalam perang Tabuk karena takut terkena fitnah wanita Bani Ashfar. “Semua orang di kaumku tahu bahwa aku tidak kuat melihat Bani Ashfar. Izinkan aku tidak berperang. Aku akan membantumu dengan harta yang aku miliki.” Demikian pinta Jidd bin Qais kepada Rasulullah saw. Sebenarnya Jidd bin Qais tidak berangkat perang karena tahu kesulitan yang akan dialaminya dalam perang Tabuk melawan pasukan Romawi. Peristiwa yang disinggung dalam surat At Taubah ayat 39 ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Taimiyah, “Ada sebagian orang yang mencari alasan untuk meninggalkan apa yang diwajibkan padanya untuk mencari keselamatan.“ (Majnu Fatawa, 28/166).

Saudaraku,

Peristiwa serupa bahkan terjadi di kalangan para sahabat ra. Imam Qurthubi mengutipkan hadits shahih dari Ali bin Abi Thalib, “Suatu malam Rasulullah datang mengetuk pintu rumahku ketika aku bersama Fatimah. Rasul mengatakan, “Tidakkah kalian shalat?” Aku mengatakan “Ya Rasulullah sesungguhnya jiwa kita ada pada kekuasaan Allah. Jika Allah berkehendak kami untuk bangun maka kami akan bangun.” Mendengar perkataanku itu Rasulullah pergi berpaling sambil menepuk pahanya dan mengatakan firman Allah, “Dan adalah manusia itu banyak membantah.” (Al Jami Li Ahkamil Quran : 66)

Saudaraku,

Jangan menyesali atau menyalahkan keadaan. Karena sampai detik ini, Allah terus menerus memberi nikmat yang melimpah ruah pada kita. Nikmat hidayah, nikmat kesejahteraan, nikmat kesehatan, nikmat rizki yang halal bahkan nikmat hidup itu sendiri yang berarti nikmat kesempatan. Ucapkanlah perlahan-lahan lalu renungkanlah sepenggal do’a yang pernah dianjurkan dibaca setiap hari oleh rasulullah, “…Abuu’u laka bini’matika alaiyya wa abuu’u bidzanbi faghfirlii fainnahu laa yaghfiru dzunuba illa anta.” (Ya Allah) Aku menyadari betapa banyaknya nikmat-Mu padaku, dan aku juga menyadari betapa banyak dosa-dosaku. Ampunilah kesalahanku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosaku kecuali Engkau.

Ingat saudarakua, kunci perbaikan itu berawal pada sikap jujur pada diri sendiri. Dari sanalah segala kesalahan bisa diluruskan. Dan karenanya, itulah tangga kejujuran paling tinggi yang harus kita capai.

Mencari mutiara di Dasar Hati