AS-SALAAM: Yang Maha Sejahtera

AS-SALAAM

Yang Maha Sejahtera

As-Salaam sebagai sifat Allah hanya sekali disebut dalam Alqur’an yaitu pada Q.s. Al-Hasr 59: 23. Kata ini terambil dari akar kata salima yang maknanya berkisar pada keselamatan dan keterhindaran dari segala yang tercela. Allah adalah As-Salaam, karena Yang Maha Esa itu terhindar dari segala aib, kekurangan dan kepunahan yang dialami oleh para makhluk. Demikian tulis Ahmad Ibnu Faris dalam bukunya “ Maqaayisul Lughah”.

Ibnu Al’ Araby -sebagaimana dikutip oleh Hamzah Annasyrati dan kawan-kawan dalam buku mereka “ Asmaa’ AlHusnaa” – berpendapat bahwa, “seluruh ulama sepakat bahwa nama As-Salaam yang dinisbahkan kepada Allah berarti ‘Zuz zalaamah’, “yang memiliki keselamatan/keterhindaran”

. Hanya saja -tulisnya lebih jauh- mereka berbeda dalam memahami istilah ini. Ada yang memahaminya dalam arti Allah terhindar dari segala aib dan kekurangan. Ada juga yang berpendapat bahwa Allah yang menghindarkan semua makhluk dari penganiayaan-Nya dan yang kelompok ketiga berpendapat bahwa As-Salaam yang dinisbahkan kepada Allah itu berarti. ‘yang member isalam kepada hamba-hamba-Nya di surga kelak’. Pendapat ketiga ini sejalan dengan Firman-Nya, “Salam sebagai ucapan dari Tuhan Yang Maha Pengasih (kepada penghuni surga)”. (Q.s. Yasin 36:58).

AL-Ghazali menjelaskan bahwa maknanya adalah keterhindaran zat Allah dari segala aib, sifat-Nya dari segala kekurangan dan perbuatan-Nya dari segala kejahatan dan keburukan, sehingga dengan demikian tiada keselamatan/keterhindaran dari keburukan dan aib yang diraih dan terdapat di dunia ini kecuali merujuk kepada-Nya dan bersumber dari-Nya.

Kalau anda telah merasa yakin akan kesempurnaan Allah dan bahwa segala yang dilakukan-Nya adalah baik dan terpuji, maka anda harus percaya bahwa tidak sedikit keburukan/kejahatan pun yang bersumber dari-Nya.

Dari sisi lain anda dapat bertanya. “Mengapa ada kejahatan, mengapa ada penyakit dan kemiskinan, bahkan mengapa Tuhan menganugerahkan si A segala macam kenikmatan, dan menjadikan si B tenggelam dalam bencana?”.

Jawaban menyangkut pertanyaan tadi merupakan salah satu yang amat musykil, khususnya bila ingin memuaskan semua nalar. Dengan sedikit rinci jawabannya dapat anda temukan dalam buku tafsir Penulis khususnya ketika menafsirkan surah Al-‘Alaq. Berikut sekelumit kutipannya:

“Sementara pakar agama, termasuk agama islam, menyelesaikan persoalan ini dengan menyatakan bahwa apa yang dinamai kejahatan/keburukan sebenarnya ‘tidak ada’ atau paling tidak, hanya pada pandangan nalar manusia yang seringkali memandang secara parsial. Bukankah Allah menegaskan dalam Alqur’an bahwa, ‘Dialah yang membuat segala sesuatu dengan sebaik-baiknya’. (Q.s. As-Sajdah 32:7).

Kalau demikian, segalanya diciptakan Allah dan segalanya baik. Keburukan, adalah akibat keterbatasan pandangan, ia sebenarnya tidak buruk, tetapi nalar manusia mengiranya demikian. “Boleh jadi engkau membenci/tidak senang kepada sesuatu, padahal dia itu baik untukmu dan boleh jadi (juga) engkau menyenangi sesuatu padahal itu buruk untuk mu. Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui”. (Q.s. Al-Baqarah 2:216).

Pandangan ini menekankan bahwa keburukan bersifat nisbi. Memenjarakan seorang penjahat adalah buruk dalam pandangan si penjahat, tetapi baik dalam pandangan masyarakat dan pandangan Allah. Hujan baik bagi petani tetapi buruk bagi penatu yang ingin segera mengeringkan pakaian. Singa adalah bahaya bagi yang diancamnya, tetapi dia adalah baik ditinjau dari sisi hikmah yang diketahui Allah dari penciptaannya. Demikian seterusnya, sehingga jangan memandang kebijaksanaan Allah secara mikro, kalau pun anda tak mampu memandangnya secara makro, maka yakinilah bahwa dibalik setiap yang anda duga keburukan atau kejahatan, pasti ada hikmahnya, ada kebaikan yang lebih besar yang akan diraih”.

Albiqa’iy (W. 1.480M) dalam tafsirnya menjelaskan makna As-Salaam serta penempatannya setelah sifat Al-Malik dan Al-Quddus, bahwa tidak dapat tergambar dalam benak, Allah Swt -disentuh zat, sifat dan perbuatan-Nya dengan sedikit kekurangan pun; -disediakan oleh kesempurnaan kerajaan dan kesucian-Nya dan karena itu pemusnahan dari sisi-Nya, atau sentuhan mudharaat kapanpun di dunia dan di akhirat dan dalam keadaan apapun- tidak dinilai sebagai keburukan. Bukankah pengetahuan Yang Maha suci itu menyangkut lahir dan batin dalam tingkat yang sama? Bukankah Dia meletakkan segala sesuatu pada tempat yang sebaik-baiknya yang pada dasarnya tidak dapat dijangkau, atau tidak dapat dijangkau sepenuhnya oleh siapapun? Karena itu, setelah penyebutan kedua sifat Al-Malik dan Al-Quddus diperlukan adanya penjelasan yang dapat memberi rasa selamat dan aman. Penjelasan itu adalah dengan menyebut sifat As-Salaam, karena keselamatan adalah batas antara keharmonisan/kedekatan dan perpisahan, serta batas antara rahmat dan siksaan. Karena As-Salaam lebih banyak berkaitan dengan hal-hal lahiriah, maka ia disusul dengan Al-Mukmin, karena rasa aman adalah batas antara cinta dan benci bagi yang tidak mampu meraih cinta. Inilah minimal yang dapat diraih oleh pemilik hak dari siapa yang wajar memberinya cinta. Karena itu pula seseorang yang merasa wajar menerima cinta tidak akan rela bila hanya menerima hak, sebagaimana; belum sempurna iman seseorang dengan sekedar beriman oleh dorongan cinta, tetapi ia harus mendahulukan cinta kepada-Nya melebihi cintanya kepada yang lain dan mempersamakan cinta untuk sesamanya, sebagaimana cinta untuk dirinya sendiri.

Seorang yang meneladani Allah dalam sifat As-Salaam, dituntut untuk menghindarkan hatinya dari segala aib dan kekurangan, dengki dan hasud serta berkehendak untuk berbuta kejahatan, dan seperti ditulis Al-Ghazali, “Siapa yang selamat hatinya dari hal-hal tersebut- maka akan selamat pula anggota badannya dari segala kejahatan dan selamat pula hatinya dari Al-intikaas (kejungkir balikan) dan Al in’ikaas (ketolak belakangan), dan dengan demikian ia akan datang menghadap Allah dengan hati yang saliim/selamat- Dialah As-Salaam dari hamba-hamba Allah yang mendekati dalam sifat-sifatnya dengan As-Salaam yang mutlak dan yang tidak ada duanya dalam sifat-Nya itu.

Yang dimaksud oleh Al-Ghazali dengan Al-intikas dalam sifatnya adalah yang akalnya ditawan oleh syahwat dan amarahnya, karena yang berlawanan dan bertolak belakang dengan itu yang seharusnya terjadi yakni syahwat dan amaralah yang seharusnya ditawan oleh akal serta tunduk kepadanya. Jika terjadi in’ikaas (tolak belakang), maka pasti terjadi intikaas (kejungkir balikan). Tiada salam, jika yang memerintah menjadi yang diperintah atau raja menjadi hamba sahaya. Tidak juga wajar seseorang menyandang sifat salam dan Islam kalau selamanya tidak selamat dari gangguan lidah dan tangannya.

Seseorang yang meneladani sifat Allah As-Salaam, paling tidak, bila tidak dapat memberi manfaat kepada selainnya, maka jangan sampai dia mencelakakannya. Kalau dia tidak dapat memasukkan rasa gembira ke dalam hatinya, maka paling tidak jangan ia meresahkannya,.. kalau dia tidak dapat memujinya, maka paling tidak dia jangan mencelanya.

Jangankan terhadap yang tidak berbuat baik, terhadap yang berbuat jahil pun Alqur’an menganjurkan agar diberikan kepadanya “salam” karena demikian itulah sifat hamba-hamba Allah yang Rahman:

“Hamba-hamba Allah yang Rahman ialah mereka yang berjalan di bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil menyapa (memperlakukan mereka dengan kejahilan) mereka berkata (bersikap) salaama (mengandung keselamatan)”. (Q.s. Al-Furqaan 25:63).

Sikap itu yang diambilnya karena seperti dikemukakan di atas As-Salaam (keselamatan) adalah batas antara keharmonisan (kedekatan) dan perpisahan, serta batas antara rahmat dan siksaan. Inilah yang paling wajar atau batas minimal yang diterima seorang jahil dari hamba Allah yang Rahman, atau si penjahat dari yang kuasa. Itu dalam rangka menghindari kejahilan yang lebih besar atau menanti waktu untuk lahirnya kemampuan mencegahnya. Salah satu nasehat yang amat berharga disampaikan oleh Ja’far As-Shadiq kepada ‘Unwaan yang datang meminta nasehatnya adalah, “Siapa yang mendoakan kehancuran untukmu; maka mohonlah keselamatan baginya. Jika ada yang datang kepadamu berkata, “Jika engkau berucap satu cercaan, maka kau mendengar dari ku sepuluh”; maka jawablah dia dengan berkata. “Jika engkau memakiku sepuluh, Engkau tak mendengar dari ku walau satu. Jika engkau memakiku, maka bila makianmu benar aku akan bermohon semoga Tuhan mengampuniku dan bila keliru, kubermohon semoga Tuhan mengampunimu”.

Demikian makna-makna As-Salaam, dan aktualisasinya dalam kehidupan muslim.

M Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Illahi

AL-WAKIIL: Yang Maha Mewakili/Pemelihara

AL-WAKIIL

Yang Maha Mewakili/Pemelihara

Kata Al-Wakiil terambil dari akar kata “wakala” yang pada dasarnya bermakna “ pengandalan pihak lain tentang urusan yang seharusnya ditangani oleh yang mengandalkan ”. Demikian Ibnu Faris.

Siapa yang diwakilkan atau diandalkan peranannya dalam satu urusan, maka perwakilan tersebut boleh jadi menyangkut hal-hal tertentu dan boleh jadi juga dalam segala hal. Allah dapat diandalkan dalam segala hal. “ Dia (Allah) atas segala sesuatu menjadi wakiil”. (Q.s. Al-An’am 6:102).

Yang diwakilkan boleh jadi wajar untuk diandalkan karena adanya sifat-sifat dan kemampuan yang dimiliki, shingga menjadi tenang hati yang mengandalkannya dan boleh jadi juga yang diandalkan itu tidak sepenuhnya memiliki kemampuan bahkan dia sendiri pada dasarnya masih memerlukan kemampuan dari pihak lain agar dapat diandalkan. Allah adalahwakiil yang paling dapat diandalkan karena Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Yang mewakilkan boleh jadi berhasil memenuhi semua harapan yang diwakilkannya, sehingga yang mewakilkan merasa cukup denganwakiilnya itu, dan boleh jadi juga tidak maka ketika itu yang mewakilkan mendambakanwakiil lain. Allah Maha Kuasa memenuhi semua harapan yang mewakilkan-Nya, karena itu Dia menegaskan bahwa, “Cukuplah Allah sebagaiwakiil”. (Q.s. An-Nisa 4:81).

Bila seseorang mewakilkan orang lain (untuk suatu persoalan), maka ia telah menjadikannya sebagai dirinya sendiri dalam persoalan tersebut, sehingga yang diwakilkan (wakil) melaksanakan apa yang dikehendaki oleh yang menyerahkan kepadanya perwakilan.

Menjadikan Allah sebagai wakiil dengan makna yang digambarkan di atas, berarti menyerahkan kepada-Nya segala persoalan. Dialah yang berkehendak dan bertindak sesuai dengan “kehendak” manusia yang menyerahkan perwakilan itu kepada-Nya.

Makna seperti ini dapat menimbulkan kesalahpahaman jika tidak dijelaskan lebih jauh. Dalam hal ini, pertama sekali yang harus diingat adalah bahwa keyakinan tentang keesaan Allah berarti antara lain bahwa perbuatan-Nya Esa, sehingga tidak dapat dipersamakan denga perbuatan manusia, walaupun penamaannya mungkin sama. Sebagai contoh, Allah Maha Pengasih (Rahim), Maha Pemurah (karim). Kedua sifat ini dapat dinisbahkan kepada manusia, namun hakekat dan kapasitas rahmat dan kemurahan Tuhan tidak dapat dipersamakan dengan apa yang dimiliki oleh manusia, karena mempersamakannya mengakibatkan gugurnya makna keesaan itu.

Allah Swt yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan, adalah Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, dan segala Maha yang mengandung makna pujian yang wajar untuk-Nya. Manusia, sebaiknya memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam segala hal. Kalau demikian “perwakilan” yang diserahkan kepada-Nya berbeda dengan perwakilan manusia kepada manusia yang lain.

Benar bahwawakiil diharapkan/dituntut untuk dapat memenuhi kehendak dan harapan yang mewakilkan kepadanya. Namun karena dalam perwakilan manusia “seringkali” atau paling tidak “boleh jadi” yang mewakilkan lebih tinggi kedudukan dan atau pengetahuannya dari sangwakiil, maka ia dapat saja tidak menyetujui/membatalkan tindakan sangwakiil atau menarik kembali perwakilannya – bila ia merasa berdasarkan pengetahuan dan keinginannya – bahwa tindakan tersebut merugikan. Ini bentuk perwakilan manusia. Tetapi jika seseorang menjadikan Allah sebagai wakiil, maka hal serupa tidak akan dan tidak wajar terjadi, karena sejak semula seseorang telah harus menyadari keterbatasannya dan menyadari pula kamahamutlakan Alah Swt. Apakah ia tahu atau tidak tahu hikmah satu kebijaksanaan yang ditempuh Allah, ia akan menerimanya dengan sepenuh hati karena, “Allah mengetahui dan kamu sekalian tidak mengetahui”. (Q.s. Al-Baqarah 2:216).

Ini salah satu segi perbedaan antara perwakilan manusia terhadap Tuhan dan terhadap selain-Nya.

Perbedaan yang kedua adalah dalam keterlibatan yang mewakilkan. Jika anda mewakilkan orang lain untuk melaksanakan sesuatu, maka anda telah menugaskannya melaksanakan hal tersebut. Anda tidak perlu atau tidak harus lagi melibatkan diri. Dalam kamus-kamus bahasa, makna ini secara jelas digarisbawahi. Dalam Kamus Almunjid misalnya diuraikan makna “mewakilkan” antara lain berarti “menyerahkan, membiarkan serta merasa cukup” (pekerjaan tersebut dikerjakan oleh seorang wakiil).

Dalam hal menjadikan Allah Swt sebagai “wakil”, maka manusia masih tetap dituntut untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya. Allah, jangan dibiarkan bekerja sendiri selama masih ada upaya yang dapat dilakukan manusia.

Kata “tawakkal” yang juga berakar kata sama dengan “wakil, bukanya berarti penyerahan secara mutlak kepada Allah, tetapi penyerahan tersebut harus didahului dengan usaha manusiawi. Seorang sahabat Nabi menemui beliau di masjid tanpa terlebih dahulu menambatkan untanya. Ketika Nabi Saw menanyakan tentang untanya, dia menjawab, Äku telah bertawakkal kepada Allah”. Nabi meluruskan kekeliruannya tentang arti “tawakal” dengan bersabda, “’iqilha Tsumma Tawakkal” (Tambatkanlah terlebih dahulu (untamu) kemudian setelah itu bertawakkallah) (H.R. Attirmizi).

Dalam Alqurán kata wakiila terulang sebanyak 13 kali, Sembilan diantaranya merupakan perintah tegas atau tersirat untuk menjadikan Allah wakiila. Di sisi lain perlu dikemukakan bahwa perintah menjadikan-Nya wakiil, kesemuanya dapat dikatakan didahului oleh perintah melakukan sesuatu, baru disusul dengan perintah bertawakkal. Perhatikan misalnya Q.s. Al-Anfal 8:61; “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepada-Nya dan bertawakkallah kepada Allah.” Demikian juga Q.s. Hud 11:123; “Kepada-Nya dikembalikan segala persoalan maka sembahlah Dia dan bertawakkallah kepada-Nya.” Dan yang lebih jelas lagi adalah Q.s. Al-Maidah 5:23; “Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota), maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal jika kamu benar-benar orang yang beriman.”

Dari sini jelas bahwa agama bukannya menganjurkan perintah bertawakkal atau menjadikan Allah sebagai “wakiil” agar seseorang tidak berusaha atau mengabaikan hukum-hukum sebab akibat. Tidak! Islam hanya menginginkan agar ummatnya hidup dalam realita, realita yang menunjukkan bahwa tanpa usaha tak mungkin tercapai harapan dan tak ada gunanya berlarut dalam kesedihan jika realita tidak dapat diubah lagi. “Hadapilah kenyataan, jika kenyataan itu tidak berkenan di hati anda atau tidak sesuai dengan harapan anda, maka usahakanlah agar anda menerimanya.”

Menjadikan-Nya sebagai “wakiil”, berarti seseorang harus meyakini bahwa Allah yang mewujudkan segala sesuatu yang terjadi di alam raya ini. Juga mengharuskan yang mengangkat-Nya sebagai wakiil agar menjadikan kehendak dan tindakannya sejalan dengan kehendak dan ketentuan Allah Swt. karena dengan menjadikan-Nya “Wakiil”, manusia tadi terlebih dahulu telah sadar bahwa pilihan Allah adalah pilihan terbaik.

Seorang muslim dituntut untuk berusaha, tapi dalam saat yang sama ia dituntut untuk berserah diri kepada Allah, ia dituntut melaksanakan kewajibannya, kemudian menanti hasilnya sebagaimana kehendak dan ketetapan Allah.

Anda boleh berusaha dalam batas-batas yang dibenarkan disertai dengan ambisi yang meluap-luap untuk meraih sesuatu, tetapi jangan ketika anda gagal meraihnya anda meronta atau berputus asa serta melupakan anugerah Tuhan yang selama ini telah anda capai.

Seorang muslin berkewajiban menimbang dan memperhitungkan segala segi sebelum ia melangkah kaki. Tetapi bila pertimbangannya keliru atau perhitungannya meleset, maka ketika itu akan tampillah di hadapannya Alah Swt yang dijadikannya “Wakiil”, sehingga ia tidak larut dalam kesedihan dan keputusasaan, karena ketika itu ia sungguh yakin bahwa “Wakilnya” telah bertindak dengan sangat bijaksana dan menetapkan untuknya pilihan yang terbaik. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi (pula sebaliknya) kamu mencintai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.s. Al-Baqarah 2:216).

Meneladani sifat Allah ini, menuntut anda untuk tidak menerima perwakilan, jika anda merasa tidak akan mampu melaksanakannya, sehingga tidak wajar anda diandalkan. Sebaliknya jika menerimanya maka hendaknya segala daya yang anda miliki anda gunakan untuk meraih yang terbaik untuk yang mewakilkan anda. Demikian Wa Allah Álam.

M Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Illahi

AR-RAHMAN WA AR-RAHIM: Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang

AR-RAHMAN WA AR-RAHIM

Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang

Jika anda sependapat dengan mereka yang tidak memasukkan lafal Allah dalam Asmaul AlHusna, maka Ar-Rahman dan Ar-Rahim adalah nama pertama dan kedua dari nama-nama-Nya yang amat baik itu.

Ar-Rahman dan Ar-Rahim adalah dua nama Allah yang amat dominan, karena kedua nama inilah yang ditempatkan menyusul penyebutan nama Allah. Ini pula agaknya, yang menjadi sebab sehingga Nabi Saw melukiskan setiap pekerjaan yang tidak dimulai dengan Bismillahirrahmanir Rahim adalah buntung, hilang berkatnya. Basmalah yang diperintahkan itu mengandung dalam kalimatnya kedua nama tersebut, dan dengan susunan penyebutan sifat Allah seperti dikemukakan di atas.

Di dalam Alqur’an kata Ar-Rahman terulang sebanyak 57 kali, sedangkan Ar-Rahim sebanyak 95 kali.

Banyak ulama berpendapat bahwa kata Ar-Rahman dan Ar-Rahim keduanya terambil dari akar kata yang sama, yakni rahmat, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa kata Ar-Rahman tidak berakar kata, dan karena itu pula -lanjut mereka-, orang-orang musyrik tidak mengenal siapa Ar-Rahman. Ini terbukti dengan membaca Firman-Nya, “ Apabila diperintahkan kepada mereka sujudlah kepada Ar-Rahman, mereka berkata/bertanya: Siapakah Ar-Rahman itu? Apakah kami bersujud kepada sesuatu yang engkau perintahkan kepada kami? Perintah ini menambah mereka enggan/menjauhkan diri dari keimanan” (Q.s. Al-Furqan 25:60).

Demikian juga ketika terjadi Perjanjian Alhudaibiyah, Nabi Saw memerintahkan menulis Basmalah, tetapi pemimpin delegasi musyrik Mekkah – Suhail bin ‘Amer – menolak kalimat tersebut dengan alasan, “Kami tidak mengetahui Bismillahirrahmanirrahim, tetapi tulislah Bismika Allahuma (Dengan nama-Mu Ya Allah)”.

Demikian juga ketika orang-orang musyrik Mekkah mendengar kaum muslimin mengucapkan Basmalah – dimana terdapat kata Ar-Rahman, mereka berkata, “Kami tidak mengenal Ar-Rahman kecuali Musalimah”, yakni seorang yang mengaku nabi pada masa Rasul Saw dan menamakan dirinya Ar-Rahman”.

Alqur’an melukiskan sikap kaum musyrik dan penjelasan Allah tentang Ar-Rahman bahwa, “Demikianlah kami telah mengutus engkau kepada suatu ummat yang telah mendahului mereka ummat-ummat (lainnya) supaya engkau membacakan kepada mereka yang Kami wahyukan kepadamu (Alqur’an) padahal mereka ingkar kepada Ar-Rahman. Katakanlah ‘Dia Tuhanku, tidak ada Tuhan kecuali Dia, hanya kepada-Nya aku berserah diri dan hanya kepada-Nya tempat kembali” (Q.s. Ar-Ra’ ed 13:30).

Itulah sebagian alasan mereka yang berpendapat bahwa Ar-Rahman tidak memiliki akar kata. Sementara ulama penganut paham ini melanjutkan bahwa kata Ar-Rahman, pada hakekatnya terambil dari bahasa Ibrani dan karena itu kata tersebut dalam Basmalah dan dalam surah Al-Fatihah disusul dengan kata Ar-Rahim, untuk memperjelas maknanya.

Banyak ulama yang berperndapat bahwa baik Ar-Rahman maupun Ar-Rahim keduanya terambil dari akar kata “rahmat”, dengan alasan bahwa “timbangan” kata tersebut dikenal dalam bahasa Arab. Rahman setimbang dengan fa’lan dan Rahim dengan fa’il. Timbangan “fa’lan” biasanya menunjukkan kepada kesempurnaan atau kesementaraan. Sedangkan timbangan “fa’il” menunjuk kepada kesinambungan dan kemantapan. Itu salah satu sebab, sehingga tidak ada bentuk jamak dari kara rahman, karena kesempurnaannya itu. Dan tidak ada juga yang wajar dinamai Rahman kecuali Allah SWT. berbeda dengan kata Rahim, yang dapat dijamak dengan Ruhama, sebagaimana ia dapat menjadi sifat Allah dan juga sifat makhluk. Dalam Alqurán kata “rahim” digunakan unutk menunjuk sifat Rasul Muhammad Saw yang menaruh belas kasih yang amat dalam terhadap ummatnya, sebagaimana bunyi firman Allah:

“Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min”. (Q.s. At-Taubah 9:128).

Allah Swt dinamai juga dengan “Ärhamurrahimin”, Yang paling Pengasih di antara seluruh yang Rahim/Pengasih, bahkan oleh Alqurán Dia disifati pula sebagai “Khairur Rahimin”, Sebaik-baik Pengasih (Q.s. Al-Mukminun 2:118).

Ar-Rahman, -seperti dikemukakan di atas- tidak dapat disandang kecuali oleh Allah Swt. karena itu pula ditemukan dalam ayat Alqur’an yang mengajak manusia menyembah-Nya dengan menggunakan kata Ar-Rahman – sebagai ganti kata Allah atau menyebut kedua kata tersebut sejajar dan bersamaan. Perhatikan firman-firman-Nya berikut:

“Katakanlah; serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaul husna nama-nama yang terbaik”. (Q.s. Al-Isra’17:110).

“Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu. Ädakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pemurah)?” (Q.s. Az-Zukhruf 43:45).

Kita semua mengetahui bahwa yang berhak disembah hanyalah Allah, dan bahwa lafaz Allah hanya khusus tertuju kepada Tuhan Yang berhak disembah dan Maha Esa itu. Tetapi kedua ayat diatas menggunakan kata Ar-Rahman untuk yang berhak disembah mempersamakannya dengan lafaz Allah. Semua itu menunjukkan bahwa kata Ar-Rahman hanya khusus digunakan untuk Tuhan Yang Maha Esa, tidak untuk selain-Nya.

Penulis cenderung menguatkan pendapat yang menyatakan baik Ar-Rahman maupun Ar-Rahim terambil dari akar kata Rahmat. Dalam salah satu hadist qudsi dinyatakan bahwa Allah berfirman:

“Aku adalah Ar-Rahman, Aku menciptakan rahim, kuambilkan untuknya nama yang berakar dari nama-Ku. Siapa yang menyambungnya (silaturrahim) akan Ku-sambung (rahmat-Ku) untuknya dan siapa yang memutuskannya Kuputuskan (rahmat-Ku baginya). (H.r. Abudaud dan Attirmizi melalui Abdurrahman bin ‘Áuf).

Menurut pakar bahasa Ibnu Faris (w. 395 H) semua kata yang terdiri dari huruf-huruf Ra’ Ha’ dan Mim, mengandung makna “kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan”. Hubungan silaturahim adalah hubungan kasih sayang. Rahim adalah peranakan/kandungan yang melahirkan kasih sayang. Kerabat juga dinamai rahim, karena kasih sayang yang terjalin diantara anggota-anggotanya.

Rahmat lahir dan nampak dipermukaan bila ada sesuatu yang dirahmati dan setiap yang dirahmati pastilah sesuatu yang butuh, karena itu yang butuh tidak dapat dinamai rahim. Di sisi lain siapa yang bermaksud memenuhi kebutuhan pihak lain tetapi secara faktual dia tidak melaksanakannya, maka ia juga dapat dinamai Rahim. Bila itu tidak terlaksana karena ketidakmampuannya, maka boleh jadi dia dinamai rahim, ditinjau dari segi kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan yang menyentuh hatinya. Tetapi yang demikian ini adalah sesuatu yang tidak sempurna.

Rahmat yang menghiasi diri seseorang, tidak luput dari rasa pedih yang dialami oleh jiwa pemiliknya. Rasa itulah yang mendorongnya untuk mencurahkan rahmat kepada yang dirahmati. Rahmat dalam pengertian demikian adalah rahmat makhluk, Al-Khaliq (Allah) tidak demikian. Seperti -tulis Al-Ghazali- “Jangan Anda duga bahwa hal ini mengurangi makna rahmat Tuhan, bahkan di sanalah kesempurnaannya. Rahmat yang tidak dibarengi oleh rasa pedih – sebagaimana rahmat Allah – tidak berkurang karena kesempurnaan rahmat yang ada di dalam, ditentukan oleh kesempurnaan buah/hasil rahmat itu saat dianugerahkan kepada yang dirahmati dan betapapun Anda memenuhi secara sempurna kebutuhan yang dirahmati, yang bersangkutan ini tidak merasakan sedikitpun apa yang dialami oleh yang memberinya rahmat. Kepedihan yang dialami oleh sipemberi merupakan kelemahan makhluk”. Adapun yang menunjukkan kesempurnaan rahmat Ilahi walaupun Yang Maha Pengasih itu tidak merasakan kepedihan, maka menurut Imam Al-Ghazali adalah karena makhluk yang mencurahkan rahmat saat merasakan kepedihan itu, hampir-hampir saja dapat dikatakan bahwa saat ia mencurahkannya – ia sedang berupaya untuk menghilangkan rasa pedih itu dari dirinya, dan ini berarti bahwa pemberiannya tidak luput dari kepentingan dirinya. Hal ini mengurangi kesempurnaan makna rahmat, yang seharusnya tidak disertai dengan kepentingan diri, tidak pula untuk menghilangkan rasa pedih tetapi semata-mata demi kepentingan yang dirahmati. Demikianlah Rahmat Allah Swt.

Pemilik rahmat yang sempurna adalah yang mengkehendaki dan melimpahkan kebajikan bagi yang butuh serta memelihara mereka. Sedang Pemilik rahmat yang menyeluruh adalah yang mencurahkan rahmat kepada yang wajar maupun yang tidak wajar menerimanya.

Rahmat Allah bersifat sempurna karena setiap Dia menghendaki tercurahnya rahmat, seketika itu juga rahmat tercurah. Rahmat-Nyapun bersifat menyeluruh karena ia mencakup yang berhak maupun yang tidak berhak serta mencakup pula aneka macam rahmat yang tidak dapat dihitung atau dinilai.

Kata rahmat dapat dipahami sebagai sifat zat dan karena itu rahman dan rahim merupakan sifat zat Allah Swt. dan dapat juga dipahami dalam arti sesuatu yang dicurahkan. Bila demikian rahmat menjadi sifat perbuatan-Nya. Ketika Anda berdoa seperti yang diajarkan Alqurán surah Ali-Imran 3:8; “Wa Hab lana Min Ladunka rahmatan,” anugerahkanlah bagi kami dari sisi-Mu rahmat; maka kata rahmat di sini merupakan sesuatu yang dicurahkan Allah, bukan merupakan sifat Zat-Nya, karena sifat zat tidak dapat dianugerahkan.

Apakah sama makna Rahman dan Rahim? Ada yang mempersamakannya, namun pandangan ini tidak banyak didukung oleh ulama. Dua kata yang seakar, bila berbeda timbangan pasti mempunyai perbedaan makna dan bila salah satunya memiliki huruf berlebih maka biasanya kelebihan huruf menunjukkan kelebihan makna. “Ziyadatul mabna yadllu ‘ala ziyadatil ma’na”. demikian bunyi kaedah yang mendukung pandangan di atas. Jika demikian apa perbedaan antara Rahman dan Rahim? Banyak ragam jawaban terhadap pertanyaan ini.

Imam Ghazali dalam bukunya “Almaqshad All-A’la” setelah menjelaskan bahwa kata Rahman merupakan kata khusus yangmenunjuk kepada Allah dan kata Rahim bisa disandang oleh Allah dan selain-Nya. Maka berdasar pembedaan itu Hujjatul Islam ini berpendapat bahwa rahmat yang dikandung oleh kata Rahman seyogyanya merupakan rahmat yang khusus dan yang tidak dapat diberikan oleh makhluk, yakni yang berkaitan dengan kebahagiaan ukhrawi. Sehingga Ar-Rahman adalah Tuhan Yang Maha Kasih terhadap hamba-hamba-Nya melalui beberapa tahapan proses. Pertama dengan penciptaan, kedua dengan petunjuk hidayat meraih iman dan sebab-sebab kebahagiaan, ketiga dengan kebahagiaan ukhrawi yang dinikmati kelak, serta keempat adalah kenikmatan memandang wajah-Nya (di hari kemudian). Pendapat imam Ghazali di atas, tidak memuaskan, karena dengan demikian, makhluk-makhluk lain yang tidak dibebani taklif atau katakanlah tumbuh-tumbuhan dan binatang sama sekali tidak tersentuh oleh rahmat-Nya yang dikandung oleh kata Rahman. Bukankah makhluk-makhluk itu tidak akan meraih surga apalagi memandang wajah-Nya kelak?

Pendapat lain dikemukakan oleh mereka yang melakukan tinjauan kebahasaan. Seperti dikemukakan sebelum ini bahwa “timbangan fa’lan” biasanya menunjukkan kepada kesempurnaan dan atau kesementaraan, sedang timbangan Fa’il menunjuk kepada kesinambungan dan kemantapan. Karena itu Syekh Muhammad Abduh berpendapat bahwa Rahman adalah rahmat Tuhan yang sempurna tapi sifatnya sementara dan yang dicurahkan-Nya kepada semua makhluk. Kata ini dalam pandangan Abduh adalah kata yang menunjuk sifat Fi’il/perbuatan Tuhan. Dia Rahman, berarti Dia mencurahkan rahmat yang sempurna tetapi bersifat sementara/tidak langgeng. Ini antara lain dapat berarti bahwa Allah mencurahkan rahmat yang sempurna dan menyeluruh, tetapi tidak langgeng terus menerus. Rahmat menyeluruh tersebut menyentuh semua manusia -mukmin atau kafir- bahkan menyentuh seluruh makhluk di alam raya, tetapi karena ketidak lenggengan/kesementaraanny

a, maka ia hanya berupa rahmat di dunia saja. Bukankah rahmat di dunia menyentuh semua makhluk, begitu juga rahmat yang diraih di dunia tidak bersifat abadi? Adapun kata Rahim yang patronnya menunjukkan kemantapan dan kesinambungan, maka ia menunjuk kepada sifat zat Allah atau menunjukkan kepada kesinambungan dan kemantapan nikmatnya. Kemantapan dan kesinambungan hanya dapat wujud di akhirat kelak. Di sisi lain rahmat ukhrawi hanya diraih oleh orang taat dan bertaqwa:

“Katakanlah; “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikelurkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?”. Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (Q.s. Al-A’raaf 7:32).

Karena itu rahmat yang dikandung oleh kata Rahim adalah rahmat ukhrawi yang akan diraih oleh yang taat dan bertaqwa kepada-Nya.

Ada juga yang berpendapat bahwa kata Rahman menunjuk kepada Allah dari sudut pandang bahwa Dia mencurahkan rahmat secata faktual. Sedangkan rahmat yang disandang-Nya dan yang melekat pada diri-Nya menjadikan Dia berhak menyandang sifat Rahim, sehingga dengan gabungan kedua kata itu tergambarlah di dalam benak bahwa Allah Rahman (mencurahkan rahmat kepada seluruh makhluk-Nya) karena Dia Rahim; Dia adalah wujud/zat Yang memiliki sifat rahmat.

Memang sekali-sekali boleh jadi seorang yang bersifat kikir, mengulurkan tangan memberi bantuan kepada orang lain. Di sini bantuan yang diberikannya itu tidak mengubah kepribadiaannya yang kikir; bantuan yang diberikannya itu tidak bersumber dari sifat pribadinya yang sesungguhnya. Berbeda dengan seorang pemurah yang ketika mengulurkan bantuan. Dengan kata Ar-Rahman tergambar bahwa Allah mencurahkan rahmat-Nya dan dengan Ar-Rahim dinyatakan bahwa Dia memiliki sifat rahmat yang melekat pada diri-Nya.

Penyebutan Ar-Rahim setelah Ar-Rahman sebagaimana halnya dalam surah Al-Fatihah, bertujuan menjelaskan bahwa anugerah Allah apapun bentuknya sama sekali bukan untuk kepentingan Allah atau sesuatu pamrih, tetapi semata-mata lahir dari sifat rahmat dan kasih sayang-Nya yang telah melekat pada diri-Nya.

Rahmat Allah tidak terhingga bahkan dinyatakan: “Rahmat-Ku mencakup segala sesuatu”(Q.s. Al-Araf 7:156); dan dalam sebuah hadist qudsi Allah berfirman, “Sesungguhnya rahmat-Ku mengatasi/mengalahkan amarah-Ku”. (H.R. Bukhari dan Muslim dai Abu Hurairah).

Ar-Rahman dan Ar-Rahim seperti dikemukakan di atas berakar dari kata rahim yang juga telah masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia.

Apabila disebutkan kata rahim, maka yang terlintas di dalam benak adalah ibu yang memiliki anak dan pikiran ketika itu akan melayang kepada kasih sayang yang dicurahkan sang ibu kepada anaknya. Tetapi, jangan diduga bahwa sifat rahmat Tuhan sepadan dengan sifat rahmat ibu, betapapun besarnya kasih sayang ibu. Bukankah kita harus meyakini bahwa Allah adalah wujud yang tidak kita memiliki persamaan dalam zat, sifat dan perbuatan-Nya dengan siapapun dalam kenyataan hidup atau dalam khayalan?

Rasulullah Saw memberikan suatu ilustrasi menyangkut besarnya rahmat Allah sebagai dituturkan oleh Abu hurairah:

Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: ‘Allah SWT menjadikan rahmat itu seratus bagian, disimpan disisi-Nya Sembilan puluh Sembilan dan diturunkan-Nya ke bumi ini satu bagian; yang satu bagian inilah yang dibagi pada seluruh makhluk, (yang tercermin antara lain) pada seekor binatang yang mengangkat kakinya dari anaknya terdorong oleh rahmat kasih sayang, kuatir jangan sampai menyakitinya.(H.R. Muslim).

Kini kita bertanya, apakah buah yang dihasilkan oleh ucapan yang lahir dari lubuk hati? Ketika seseorang membaca Ar-Rahman dan atau Ar-Rahim maka diharapkan jiwanya akan dipenuhi oleh rahmat dan kasih sayang dan saat itu rahmat dan kasih sayang akan memancar dalam bentuk perbuatan-perbuatan. Bukankah perbuatan merupakan cerminan dari gejolak jiwa? Bukankah seseorang sedang dirundung kesedihan atau kesakitan, keindahan dapat dianggapnya keburukan? Tidakkah kalau ia sedang dimabuk asmara, segalanya terlihat indah? Bukankah “Setiap wadah menumpahkan isinya”. Sebuah gelas berisi sirup, jangan duga akan ada yang tumpah selain sirup.

Di atas telah dikemukakan pendapat-pendapat menyayangkan perbedaan antara Rahman dan Rahim. Menurut Al-Ghazali buah yang dihasilkan oleh Rahman pada aktivitas seseorang adalah bahwa “ia akan merasakan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-hamba Allah yang lengah, dan ini mengantar yang bersanguktan untuk mengalihkan mereka dari jalan kelengahan, menuju Allah. Dengan memberinya nasehat secara lemah lembut – tidak dengan kekerasan, memandang orang-orang berdosa dengan pandangan kasih sayang- bukan dengan gangguan. Memandang setiap kedurhakaan yang terjadi di alam raya, bagai kedurhakaan terhadap dirinya, sehingga dia tidak menyisihkan sedikit upaya apapun untuk menghilangkannya sesuai kemampuannya – sebagai pengejewantahan dari rahmatnya terhadap si durhaka jangan sampai ia mendapatkan murka-Nya dan kejauhan dari sisi-Nya”.

Sedang buah Ar-Rahim menurut Al-GHazali adalah, “Tidak membiarkan seorang yang butuh kecuali berupaya memenuhi kebutuhannya, tidak juga membiarkan seorang fakir disekililingnya atau di negerinya kecuali dia berusaha untuk membantu dan menampik kefakirannya, dengan harta, kedudukan, atau berusaha melalui orang ketiga, sehingga terpenuhi kebutuhannya. Kalau semua itu tidak berhasil ia lakukan, maka hendaklah ia membantunya dengan doa serta menampakkan rasa kesedihan dan kepedihan atas penderitaanaya. Itu semua, sebagai tanda kasih sayang dan dengan demikian ia bagaikan serupa dengan yang dikasihnya itu dalam kesulitan dan kebutuhan. Demikian Al-Ghazali.

Kita juga dapat berkata bahwa seseorang yang menghayati bahwa Allah adalah Rahman (Pemberi Rahmat) karena Dia Rahim (melekat pada dirinya sifat rahmat), akan berusaha memantapkan pada dirinya sifat rahmat dan kasih sayang, sehingga menjadi ciri kepribadiannya. Selanjutnya ia tak akan ragu atau segan mencurahkan rahmat kasih sayang itu kepada sesama manusia tanpa membedakan suku, ras atau agama maupun tingkat keimanan serta memberi pula rahmat dan kasih sayang kepada makhluk-makhluk lain baik yang hidup maupun yang mati. Ia akan menjadi bagai matahari yang tidak kikir atau bosan memancarkan cahaya dan kehangatannya kepada siapapun dan dimanapun. Kalaupun terdapat perbedaan dalam perolehan cahaya dan kehangatan, maka itu lebih banyak disebabkan oleh posisi penerima bukan posisi pemberi, karena matahari selalu konsisten dalam perjalannya lagi memiliki aturan atau hukum-hukum yang tidak berubah. Itulah buah yang diharapkan dari bacaan Ar-Rahman dan Ar-Rahim.

M Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Illahi

AL-GHAFUUR: Yang Maha Pengampun

AL-GHAFUUR

Yang Maha Pengampun

Kata Al-Ghafuur sama dengan Al-Ghafar ditinjau dari akar katanya yakni “ghafara”, dengan segala makna yang telah diuraikan ketika menjelaskan makna “Al-Ghaffaar”. Dalam Al-Qur’an kata Ghafuur terulang sebanyak 91 kali, jauh lebih banyak dari Al-Ghaffaar yang hanya terulang sebanyak lima kali. Pada umumnya sifat Allah ini dirangkaikan dengan sifat-Nya yang lain, khususnya Ar-Rahim. Selebihnya dirangkaikan dengan Halim, ‘afuw dan lain-lain dan hanya dua yang berdiri sendiri. Perangkaiannya dengan Ar-Rahim, memberi kesan bahwa pengampunan dan anugerah-Nya yang dicakup oleh pengertian sifat ini – tidak terlepas dari rahmat kasih-Nya.

Banyaknya disebut sifat Al-Ghafuur dalam Al-Qur’an memberi kesan bahwa Allah membuka pintu seluas-luasnya bagi hamba-Nya untuk memohon. Bahkan secara tegas dinyatakan, “Allah mengajak ke surga dan pengampunan-Nya atas izin-Nya” (Q.s. Al-Baqarah 2:221). Perhatikan bagaiamana ayat ini, di samping menegaskan bahwa “Allah mengajak” juga menguatkan ajakan itu dengan pernyataan “atas izin-Nya”, sehinga terasa benar bahwa ini adalah ajakan yang sangat serius di samping memberi kesan bahwa langkah yang diambil oleh seseorang menuju Allah tidak terlepas dari izin-Nya. Dengan demikian, Allah bukan hanya mendorong, sebagaimana firman-Nya, “Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” (Q.s. Ali Imran 3:133), tetapi juga menyiapkan situasi kejiwaan yang dapat mengantar manusia meraih pengampunan.

Sifat Allah yang terambil dari akar kata ini adalah Ghafuur, Ghaffaar dan Ghafir. Ibnu Al-‘Arabi mengemukakan beberapa pendapat menyangkut perbedaan kata-kata tersebut. Ghafir adalah “pelaku”. Maksudnya ia sekedar menetapkan adanya sifat ini pada sesuatu, tanpa memandang ada tidaknya yang diampuni atau ditutupi aib dan kesalahannya. Perbedaan antara Ghaffaar dan Ghafuur adalah Ghaffaar “yang menutupi aib, kesalahan di dunia,” sedang Ghafuur menutupi aib di akhirat. Atau Ghafuur dapat juga berarti, “banyak memberi maghfirah”, sedang Ghaffaar mengandung arti “banyak dan berulangnya maghfirah” serta “kesempurnaan dam keleluasaan cakupannya. Dengan demikian, Ghaffaar lebih dalam dan kuat kandungan maknanya dari Ghafuur dan karena itu pula ada yang berpendapat bahwa ia dapat mencakup orang-orang yang bermohon maupun yang tidak bermohon.

Pendapat lain mengatakan bahwa Ghafir adalah yang menutupi “sebahagian”, Ghafuur yang menutupi “kebanyakan”dan Ghaffaar yang menutupi “keseluruhan”.

Pendapat ini tidak beralasan, apalagi dengan memperhatikan kandungan ayat berikut dan penutupnya. “Katakanlah; Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Al-Ghafuur Ar-Rahim, Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(Q.s. Az-Zumar 39:53).

Terbuka kemungkinan bagi yang tidak bermohonpun -selama dosanya bukan mempersekutukan Allah- untuk diampuni oleh-Nya. “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa yang mempersekutukan-Nya dengan sesuatu dan mengampuni dosa selain dari itu bagi siapa yangdikehendaki-Nya” (Q.s. An-Nisa’4:48 dan 116).

“Hamba-Ku, seandainya engkau datang kepada-Ku membawa hampir sebanyak isi bumi dosa, Aku akan datang menyambutmu dengan hampir seisi bumi maghfirah, selama engkau tidak mempersekutukan Aku (dengan sesuatu)” (H.R. Attirmizi melalui Anas bin Malik).

Imam Ghazali dalam membedakan sifat Ghafuur dan Ghaffaar menulis bahwa keduanya bermakna sama, hanya saja Ghaffur mengandung semacam mubalaghah (kelebihan penekanan) yang tidak dikandung oleh kata Al-Ghaffaar, karena Al-Ghaffaar menunjukkan mubalaghah dalam maghfirah (pengampunan menyeluruh/penutupan yang rapat) disamping berulang-ulangnya hal tersebut, sedang Ghafuur menunjuk kepada sempurna dan menyeluruhnya sifat tersebut. Allah Ghafuur dalam arti sempurna pengampunan-Nya hingga mencapai puncak tertinggi dalam maghfirah.

Pendapat Al-Ghazali diatas, mengantar kita untuk berkata vahwa pada prinsipnya upaya meneladani sifat Allah ini pun sama dengan apa yang telah dijelaskan ketika membahas sifat Al-Ghaffaar. Demikian wa Allah álam

M Quraish Shihab (Menyingkap Tabir Illahi)

AL-GHAFFAAR: Yang Maha Pengampun

AL-GHAFFAAR

Yang Maha Pengampun

Kata Al-Ghafar terambil dari akar kata “ghafara” yang berarti “menutup”. Ada juga yang berpendapat dari kata “Alghafaru” yakni “sejenis tumbuhan yang digunakan mengobati luka”. Jika pendapat pertama yang dipilih, maka Allah Ghaffaar berarti antara lain, Dia menutupi dosa hamba-hamba-Nya karena kemurahan dan anugerah-Nya. Sedang bila yang kedua, maka ini bermakna Allah menganugerahi hamba-Nya penyesalan atas dosa-dosa, sehingga penyesalan ini berakibat kesembuhan dalam hal ini adalah terhapusnya dosa. Kalimat “Allahummagfir liy” juga dipahami dalam arti, “Ya Allah perbaikilah keadaanku”. Demikian pendapat Ibnul Al-A’raby.

Dalam Alqur’an kata “Ghaffaar” terulang sebanyak lima kali, ada yang berdiri sendiri, seperti dalam Q.s. Nuh 71:10 yang mengabadikan ucapan Nabi Nuh A.s. kepada kaumnya, “Beristigfarlah kepada Tuhan-Mu sesungguhnya Dia senantiasa Ghaffaara” dan Q.s. Thaha 20:83, “Sesungguhnya Aku Ghaffaar bagi yang bertaubat, percaya dan beramal shaleh, lalu memperoleh hidayat”. Tiga lainnya dirangkaian dengan sifat Aziz yang mendahuluinya. Yang diragukan ini, dikemukakan bukan dalam konteks pengampunan dosa. Ini memberi kesan bahwa Allah sebagai Ghaffaar, bukan hanya menutupi kesalahan dan dosa-dosa hamba-Nya, tetapi yang ditutup-Nya itu, dapat mencakup banyak hal selain dari dosa.

Allah berfirman, “Sesungguhnya Tuhanmu sangat luas magfirah-Nya” (Q.s. At-Taubah 10:117). Keluasan ini tidak hanya mengantar kepada berulang-ulangnya Yang Maha Pengampun itu mengampuni dosa, tetapi juga mengisyaratkan banyaknya cakupan dari maghfirah-Nya. Allah tidak hanya mengampuni dosa besar atau kecil yang berkaitan dengan pelanggaran perintah dan larangan-Nya, atau yang dinamai hukum syariat tetapi juga yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hukum moral yang boleh jadi tidak dinilai dari segi syariat sebagai dosa, bahkan dapat mencakup pula persoalan-persoalan yang dianggap tidak wajar dari segi cinta dan emosi. Nabi Muhammad Saw bermohon kiranya Allah mengampuni beliau menyangkut “ketidakadilan beliau dalam cinta terhadap isteri-isteri beliau, “Inilah hasil upayaku (dalam cinta) menyangkut hal yang kumampui maka jangan tuntut aku menyangkut yang diluar kemampuanku”.

Dalam hal-hal yang semacam inilah hendaknya dipahami maghfirah Allah kepada para Nabi dan Rasul-Nya, setelah mereka pada hakekatnya terbebaskan dari aneka dosa dari segi pandangan syariat.
Imam Ghazali bahkan mengarah kepada yang lebih jauh dari apa yang dikemukakan diatas. Hujjatul Islam ini menjelaskan bahwa Ghaffaar adalah “Yang menampakkan keindahan dan menutupi keburukan”. Dosa-dosa –tulisnya- adalah bagian dari sejumlah keburukan yang ditutupi-Nya dengan jalan tidak menampakkannya di dunia serta mengesampingkan siksa-Nya di akhirat.

Pertama yang ditutupi oleh Allah dari hamba-Nya adalah sisi dalam jasmani manusia yang tidak sedap dipandang mata. Ini ditutupi-Nya dengan keindahan lahiriah. Alangkah jauh perbedaan antara sisi dalam dan sisi lahir manusia dari segi kebersihan dan kekotoran, keburukan dan keindahan. Perhatikanlah apa yang nampak dan apa pula yang tertutupi dari jasmani anda.

Hal kedua yang ditutupi Allah adalah bisikan hati serta kehendak-kehendak manusia yang buruk. Tidak seorangpun mengetahui isi hati manusia kecuali Allah dan dirinya sendiri. Seandainya terungkap apa yang terlintas dalam pikiran atau terkuak apa yang terbetik dalam hati menyangkut kejahatan atau penipuan, sangka buruk, dengki, dan sebagainya, maka sungguh manusia akan mengalami kesulitan dalam hidupnya. -Begitu kata Al-Ghazali. Penulis dapat menambahkan Allah SWT tidak hanya menutupi apa yang dirahasiakan manusia terhadap orang lain, tetapi juga menutupi sekian banyak pengalaman-pengalaman masa lalunya, kesedihan atau keinginannya, yang dipendam dan ditutupi oleh Allah di bawah sadar manusia sendiri, yang kalau dinampakkan kepada orang lain, atau dimunculkan kepermukaan hati yang bersangkutan sendiri, maka pasti akan mengakibatkan gangguan yang tidak kecil.

Hal ketiga yang ditutpi Allah, selaku Ghaffaar adalah dosa dan pelanggaran-pelanggaran manusia, yang seharusnya dapat diketahui umum. Sedemikian, besar anugerah-Nya sampai-sampai Dia menjanjikan menukar kesalahan dan dosa-dosa itu dengan kebaikan jika yang bersangkutan berupaya untuk kembali kepada-Nya. Ketika berbicara tenatng mereka yang bergelimang di dalam dosa dan yang dilipatgandakan siksa baginya di hari kemudian, Allah mengecualikan “orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh. Mereka itu yang digantikan Allah kejahatan mereka dengan kebaikan”. (Q.s. Al-Furqan 25:70).

Jika demikian itu cakupan maghfirah Allah, maka ia tidak hanya tertuju kepada orang-orang beriman, tetapi juga tertuju dalam kehidupan dunia ini kepada orang-orang kafir yang tidak percaya adanya hari kebangkitan. Q.s. Ar-Ra’ed 13:6) mengisyaratkan hal tersebut. Firman-Nya, “Mereka meminta kepada-Mu supaya disegerakan (datangnya) siksa sebelum (mereka meminta) kebaikan, padahal telah terjadi bermacam-macam contoh siksa sebelum mereka. Sesungguhnya tuhanmu memiliki maghfirah bagi manusia atas kezaliman mereka, dan sesungguhnya tuhanmu amat pedih siksa-Nya”.

Allah SWT menyambut permohonan tulus hamba-hamba-Nya yang berdosa, betapapun besar dan banyak dosanya. “Sampaikanlah kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri: ‘Janganlah berputus asa dari rahmat Allah’. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa, Dialah Al-Gafur Ar-Rahim” (Q.s. Az-Zumar 39:53). Bahkan terbuka kemungkinan bagi yang tidak bermohonpun – selama dosanya bukan mempersekutukan Allah – untuk diampuni oleh-Nya. “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa yang mempersekutukan-Nya dengan sesuatu dan mengampuni dosa selain dari itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (Q.s. An-Nisa’ 4:48 dan 116).
Sahabat Nabi, Anas r.a. berkata, “Aku telah mendengar Rasul Allah Saw. Bersabda, Allah berfirman: ‘Wahai putra (putri) Adam… selama engkau berdoa kepada-Ku dan mengharapkan ampunan-Ku, Aku ampuni untukmu, apa yang telah lakukan dimasa lampau dan Aku tidak peduli (betapapun banyaknya dosamu). Wahai putra (putri) Adam… seandainya dosa-dosamu telah mencapai ketinggian langit, kemudian engkau memohon ampunan-Ku, Aku ampuni untukmu. Seandainya engkau datang menemuiku membawa seluas wadah bumi ini dosa-dosa dan engkau datang menjumpaiku dengan tidak mempersekutukan Aku dengan sesuatu, niscaya Aku datang kepadamu dengan seluas wadah itu pengampunan’” (H.R. At-Tarmizy, demikian juga Ahmad).

“Tidaklah dinamai bertekad mengulangi-ulangi dosa, siapapun yang beristigfhar – walau ia mengulangi dosa tujuh puluh kali sehari”, demikian sebuah riwayat.

“Walaupaun Abu Dzar keberatan”, begitu komentar Nabi Saw kepada sahabatnya Abu Dzar r.a. yang terheran-heran dan merasa keberatan dengan jawaban Nabi Saw atas pertanyaan tentang seorang yang berulang-ulang berdosa kemudian berulang-ulang pula bertaubat, namun tetap diterima Allah taubatnya.

Allah SWT memerintahkan manusia agar meneladani-Nya dalam memberi maghfirah, “Katakanlah kepada orang-orang yang beriman agar yaghfiru, memberi maghfirah/menutupi aib/memaafkan orang-orang yang tidak mengharapkan hari-nari Allah” (Q.s. Al-Jastiyah 45:14). Di tempat lain dinyatakan-Nya bahwa, “Siapa yang bersabar dan menutupi kesalahn orang lain/memaafkan, maka sungguh hal yang demikian termasuk hal yang diutamakan” (Q.s. Asy-Syura 42:43). Ketika Abubakar r.a. bersumpah untuk tidak memaafkan Misthah yang ikut menyebarkan fitnah terhadap putri beliau Aisyah r.a. – padahal selama ini ia disantuni oleh Abubakar r.a. – turun perintah Allah kepada orang-orang mukmin agar memberi maaf dan berlapang dada sambil “menanyakan”, “Apakah kamu tidak menyukai Allah menutupi (kesalahan, aib dan dosa) kamu? Sesungguhnya Allah Maha Ghaffaar dan Rahim” (Q.s. An-Nur 24:22).

Seseorang yang memenuhi tuntunan ini atau meneladani sifat Allah Al-Ghaffaar, akan menutupi keburukan orang lain, tidak membeberkannya dan akan menampakkan kelebihan sesamanya, tidak menampilkan kekurangannya. Rasul Saw menjanjikan mereka yang menutupi aib orang lain, untuk ditutupi pula oleh Allah aibnya di hari kemudian, “Siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, Allah menutupi aibnya di dunia dan di akhirat”. Dalam riwayat lain, “Tidak seorang manusiapun menutupi aib orang lain di dunia kecuali Allah menutupi aibnya di hari kemudian” (H.R. Muslim melalui Abu HUrairah). Karena itu, pengumpat, pendendam, pembalas kejahatan dan pembeber kesalahan pada hakekatnya tidak menyandang sedikitpun dari sifat ini.

M Quraish Shihab (Menyingkap Tabir Illahi)