AS-SALAAM: Yang Maha Sejahtera


AS-SALAAM

Yang Maha Sejahtera

As-Salaam sebagai sifat Allah hanya sekali disebut dalam Alqur’an yaitu pada Q.s. Al-Hasr 59: 23. Kata ini terambil dari akar kata salima yang maknanya berkisar pada keselamatan dan keterhindaran dari segala yang tercela. Allah adalah As-Salaam, karena Yang Maha Esa itu terhindar dari segala aib, kekurangan dan kepunahan yang dialami oleh para makhluk. Demikian tulis Ahmad Ibnu Faris dalam bukunya “ Maqaayisul Lughah”.

Ibnu Al’ Araby -sebagaimana dikutip oleh Hamzah Annasyrati dan kawan-kawan dalam buku mereka “ Asmaa’ AlHusnaa” – berpendapat bahwa, “seluruh ulama sepakat bahwa nama As-Salaam yang dinisbahkan kepada Allah berarti ‘Zuz zalaamah’, “yang memiliki keselamatan/keterhindaran”

. Hanya saja -tulisnya lebih jauh- mereka berbeda dalam memahami istilah ini. Ada yang memahaminya dalam arti Allah terhindar dari segala aib dan kekurangan. Ada juga yang berpendapat bahwa Allah yang menghindarkan semua makhluk dari penganiayaan-Nya dan yang kelompok ketiga berpendapat bahwa As-Salaam yang dinisbahkan kepada Allah itu berarti. ‘yang member isalam kepada hamba-hamba-Nya di surga kelak’. Pendapat ketiga ini sejalan dengan Firman-Nya, “Salam sebagai ucapan dari Tuhan Yang Maha Pengasih (kepada penghuni surga)”. (Q.s. Yasin 36:58).

AL-Ghazali menjelaskan bahwa maknanya adalah keterhindaran zat Allah dari segala aib, sifat-Nya dari segala kekurangan dan perbuatan-Nya dari segala kejahatan dan keburukan, sehingga dengan demikian tiada keselamatan/keterhindaran dari keburukan dan aib yang diraih dan terdapat di dunia ini kecuali merujuk kepada-Nya dan bersumber dari-Nya.

Kalau anda telah merasa yakin akan kesempurnaan Allah dan bahwa segala yang dilakukan-Nya adalah baik dan terpuji, maka anda harus percaya bahwa tidak sedikit keburukan/kejahatan pun yang bersumber dari-Nya.

Dari sisi lain anda dapat bertanya. “Mengapa ada kejahatan, mengapa ada penyakit dan kemiskinan, bahkan mengapa Tuhan menganugerahkan si A segala macam kenikmatan, dan menjadikan si B tenggelam dalam bencana?”.

Jawaban menyangkut pertanyaan tadi merupakan salah satu yang amat musykil, khususnya bila ingin memuaskan semua nalar. Dengan sedikit rinci jawabannya dapat anda temukan dalam buku tafsir Penulis khususnya ketika menafsirkan surah Al-‘Alaq. Berikut sekelumit kutipannya:

“Sementara pakar agama, termasuk agama islam, menyelesaikan persoalan ini dengan menyatakan bahwa apa yang dinamai kejahatan/keburukan sebenarnya ‘tidak ada’ atau paling tidak, hanya pada pandangan nalar manusia yang seringkali memandang secara parsial. Bukankah Allah menegaskan dalam Alqur’an bahwa, ‘Dialah yang membuat segala sesuatu dengan sebaik-baiknya’. (Q.s. As-Sajdah 32:7).

Kalau demikian, segalanya diciptakan Allah dan segalanya baik. Keburukan, adalah akibat keterbatasan pandangan, ia sebenarnya tidak buruk, tetapi nalar manusia mengiranya demikian. “Boleh jadi engkau membenci/tidak senang kepada sesuatu, padahal dia itu baik untukmu dan boleh jadi (juga) engkau menyenangi sesuatu padahal itu buruk untuk mu. Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui”. (Q.s. Al-Baqarah 2:216).

Pandangan ini menekankan bahwa keburukan bersifat nisbi. Memenjarakan seorang penjahat adalah buruk dalam pandangan si penjahat, tetapi baik dalam pandangan masyarakat dan pandangan Allah. Hujan baik bagi petani tetapi buruk bagi penatu yang ingin segera mengeringkan pakaian. Singa adalah bahaya bagi yang diancamnya, tetapi dia adalah baik ditinjau dari sisi hikmah yang diketahui Allah dari penciptaannya. Demikian seterusnya, sehingga jangan memandang kebijaksanaan Allah secara mikro, kalau pun anda tak mampu memandangnya secara makro, maka yakinilah bahwa dibalik setiap yang anda duga keburukan atau kejahatan, pasti ada hikmahnya, ada kebaikan yang lebih besar yang akan diraih”.

Albiqa’iy (W. 1.480M) dalam tafsirnya menjelaskan makna As-Salaam serta penempatannya setelah sifat Al-Malik dan Al-Quddus, bahwa tidak dapat tergambar dalam benak, Allah Swt -disentuh zat, sifat dan perbuatan-Nya dengan sedikit kekurangan pun; -disediakan oleh kesempurnaan kerajaan dan kesucian-Nya dan karena itu pemusnahan dari sisi-Nya, atau sentuhan mudharaat kapanpun di dunia dan di akhirat dan dalam keadaan apapun- tidak dinilai sebagai keburukan. Bukankah pengetahuan Yang Maha suci itu menyangkut lahir dan batin dalam tingkat yang sama? Bukankah Dia meletakkan segala sesuatu pada tempat yang sebaik-baiknya yang pada dasarnya tidak dapat dijangkau, atau tidak dapat dijangkau sepenuhnya oleh siapapun? Karena itu, setelah penyebutan kedua sifat Al-Malik dan Al-Quddus diperlukan adanya penjelasan yang dapat memberi rasa selamat dan aman. Penjelasan itu adalah dengan menyebut sifat As-Salaam, karena keselamatan adalah batas antara keharmonisan/kedekatan dan perpisahan, serta batas antara rahmat dan siksaan. Karena As-Salaam lebih banyak berkaitan dengan hal-hal lahiriah, maka ia disusul dengan Al-Mukmin, karena rasa aman adalah batas antara cinta dan benci bagi yang tidak mampu meraih cinta. Inilah minimal yang dapat diraih oleh pemilik hak dari siapa yang wajar memberinya cinta. Karena itu pula seseorang yang merasa wajar menerima cinta tidak akan rela bila hanya menerima hak, sebagaimana; belum sempurna iman seseorang dengan sekedar beriman oleh dorongan cinta, tetapi ia harus mendahulukan cinta kepada-Nya melebihi cintanya kepada yang lain dan mempersamakan cinta untuk sesamanya, sebagaimana cinta untuk dirinya sendiri.

Seorang yang meneladani Allah dalam sifat As-Salaam, dituntut untuk menghindarkan hatinya dari segala aib dan kekurangan, dengki dan hasud serta berkehendak untuk berbuta kejahatan, dan seperti ditulis Al-Ghazali, “Siapa yang selamat hatinya dari hal-hal tersebut- maka akan selamat pula anggota badannya dari segala kejahatan dan selamat pula hatinya dari Al-intikaas (kejungkir balikan) dan Al in’ikaas (ketolak belakangan), dan dengan demikian ia akan datang menghadap Allah dengan hati yang saliim/selamat- Dialah As-Salaam dari hamba-hamba Allah yang mendekati dalam sifat-sifatnya dengan As-Salaam yang mutlak dan yang tidak ada duanya dalam sifat-Nya itu.

Yang dimaksud oleh Al-Ghazali dengan Al-intikas dalam sifatnya adalah yang akalnya ditawan oleh syahwat dan amarahnya, karena yang berlawanan dan bertolak belakang dengan itu yang seharusnya terjadi yakni syahwat dan amaralah yang seharusnya ditawan oleh akal serta tunduk kepadanya. Jika terjadi in’ikaas (tolak belakang), maka pasti terjadi intikaas (kejungkir balikan). Tiada salam, jika yang memerintah menjadi yang diperintah atau raja menjadi hamba sahaya. Tidak juga wajar seseorang menyandang sifat salam dan Islam kalau selamanya tidak selamat dari gangguan lidah dan tangannya.

Seseorang yang meneladani sifat Allah As-Salaam, paling tidak, bila tidak dapat memberi manfaat kepada selainnya, maka jangan sampai dia mencelakakannya. Kalau dia tidak dapat memasukkan rasa gembira ke dalam hatinya, maka paling tidak jangan ia meresahkannya,.. kalau dia tidak dapat memujinya, maka paling tidak dia jangan mencelanya.

Jangankan terhadap yang tidak berbuat baik, terhadap yang berbuat jahil pun Alqur’an menganjurkan agar diberikan kepadanya “salam” karena demikian itulah sifat hamba-hamba Allah yang Rahman:

“Hamba-hamba Allah yang Rahman ialah mereka yang berjalan di bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil menyapa (memperlakukan mereka dengan kejahilan) mereka berkata (bersikap) salaama (mengandung keselamatan)”. (Q.s. Al-Furqaan 25:63).

Sikap itu yang diambilnya karena seperti dikemukakan di atas As-Salaam (keselamatan) adalah batas antara keharmonisan (kedekatan) dan perpisahan, serta batas antara rahmat dan siksaan. Inilah yang paling wajar atau batas minimal yang diterima seorang jahil dari hamba Allah yang Rahman, atau si penjahat dari yang kuasa. Itu dalam rangka menghindari kejahilan yang lebih besar atau menanti waktu untuk lahirnya kemampuan mencegahnya. Salah satu nasehat yang amat berharga disampaikan oleh Ja’far As-Shadiq kepada ‘Unwaan yang datang meminta nasehatnya adalah, “Siapa yang mendoakan kehancuran untukmu; maka mohonlah keselamatan baginya. Jika ada yang datang kepadamu berkata, “Jika engkau berucap satu cercaan, maka kau mendengar dari ku sepuluh”; maka jawablah dia dengan berkata. “Jika engkau memakiku sepuluh, Engkau tak mendengar dari ku walau satu. Jika engkau memakiku, maka bila makianmu benar aku akan bermohon semoga Tuhan mengampuniku dan bila keliru, kubermohon semoga Tuhan mengampunimu”.

Demikian makna-makna As-Salaam, dan aktualisasinya dalam kehidupan muslim.

M Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Illahi

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s