AR RASYIID: Yang Maha Tepat Tindakannya

AR RASYIID

Yang Maha Tepat Tindakannya

Kata “Ar Rasyiid, terambil dari kata yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf ra’, syin, dan dal. Makna dasarnya adalah “ketepatan dan kelurusan jalan”. Dari sini lahir kata “Ruusyd” yang bagi manusia adalah “kesempurnaan akal dan jiwa”, yang menjadikannya mampu bersikap dan bertindak setepat mungkin. “Mursyid” adalah pemberi petunjuk/bimbingan yang tepat. Sementara pakar bahasa berpendapat bahwa kata ini mengandung makna kekuatan dan keteguhan. Dari sini kata “Rasyaadah” diartikan “batu karang”

Dalam Alquran kata “Rasyiid” ditemukan sebanyak tiga kali. Tidak satupun menunjuk kepada Allah SWT; kesemuanya menunjuk kepada manusia. Bentuk jamaknya, Raasyiduun, hanya ditemukan sekali, juga menunjuk kepada manusia. Namun demikian, ditemukan ayat yang dapat dipahami sebagai menunjuk bahwa sifat ini disandang oleh Allah SWT, yaitu firman-Nya, “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tak akan mendapatkan seorang mursyidaa/pemimpin yang dapat member petunjuk kepadanya” (Q.s. Al-Kahfi 18:17).

Demikian juga firman-Nya yang mengabadikan do’a “Ashaab Alkahfi”, sekelompok pemuda yang menghindar dari kekejaman penguasa masanya dan ditidurkan Allah selama 309 tahun, “Wahai Tuhan (kami) berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan tunjukkanlah bagi kami Rasyadaa dalam urusan kami (jalan kemaslahatan untuk melakukannya)”.(Q.s. Al Kahfi 18:10).

Siapa yang menganugerahkan rasyadaa pastilah dia Rasyiid.

Menurut Imam Ghazali, Rasyiid adalah “Dia yang mengarahkan penanganan dan usahanya ke tujuan yang tepat, tanpa petunjuk, berupa pembenaran atau bimbingan dari siapapun”. Sifat ini hanya sempurna disandang oleh Allah SWT.

Sifat ini-menurut sementara ulama, mirip dengan sifat Hakiim, karena Al Hakim adalah yang menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, dan demikian pula Ar Rasyiid, yakni yang benar lagi tepat dalam perbuatannya serta lurus penanganannya. Namun keduanya berbeda, karena sifat rusyd yang disandang oleh Rasyiid memberi kesan terpenuhinya sifat ini dalam diri penyandangnya, bermula dari dirinya sebelum yang lain.

Manusia yang menyandang sifat ini dijelaskan oleh Q.s. Al-Hujurat 49:7 “Ketahuilah olehmu bahwa ditengah kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan, benar-benarlah kamu akan mendapat kesulitan, tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah Ar-Rasyidun yang benar lagi tepat dalam perbuatannya serta lurus penanganannya.

Ayat ini mengkonfirmasikan bahwa Ar-Rasyidun adalah mereka yang memperoleh anugerah Allah berupa rasa cinta kepada keimanan sehingga mentaati Rasulullah Saw dan konsisten dalam ketaatannya, disertai rasa kagum kepada beliau yang menghasilkan dorongan untuk meneladaninya. Mereka adalah yang menilai keimanan sebagai hiasan hidupnya, sehingga tidak ada sesuatu bagi mereka yang lebih indah dan berharga bahkan menyamai dan mendekati nilai keimanan. Di sisi lain mereka sangat benci kekufuran, yakni segala sesuatu yang menutupi kusucian fitrah dan kemurnian ahlak, juga kepada kefasiqan yaitu sikap dan ucapan yang dapat mengantar kepada pengingkaran agama dan terbebaskan pula dia dari kedurhakaan, yakni keengganan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Demikian Al-Biqa’iy dalam tafsirnya menjelaskan ayat diatas.

Anda lihat bahwa sifat ini disandang oleh manusia atas bantuan Allah, karena itu tidak heran jika Allah SWT memerintahkan untuk menyampaikan bahwa, “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan kepadamu dan tidak (pula) rasyada”. Q.s. Al-Jin 72:21). Yang menganugerahkannya hanya Allah, atas pilihan dan kebijaksanaan-Nya, “Sesungguhnya telah kami anugerahkan kepada Ibrahim Rusyda-hu sebelum (Musa dan Harun) dan adalah Kami mengetahui (keadaan)nya.” (Q.s. Al-Anbiya 21:51). Nabi Musa pernah memohon melalui hamba Allah yang dianugerahi-Nya rusyda dengan berucap, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepada rusydaa yang telah diajarkan (Allah) kepadamu?”. (Q.s. Al-Kahfi 18:66), namun Musa gagal dalam ujian yang diikutinya. Nabi Muhammad Saw dituntun agar berdoa, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat dari ini rusyda.” (Q.s. Al-Kahfi 18:24).

Jalan menuju rusyd jelas, “Sesungguhnya telah jelas Ar-Rusyd dari jalan yang sesat” (Q.s Al-Baqarah 2:256). Jinpun mengetahuinya, ucap mereka, “Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur’an yang menkjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada Ar-rusyd, maka kamu beriman kepadanya” (Q.s Al-Jin 72:1-2). Karena itu pula bagi yang bermaksud meraihnya, Allah berpesan, “Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka yarsyudun (mengetahui yang benar dan manangani segala persoalan dengan tepat)” (Q.s. Al-Baqarah 2:186).

Mereka yang angkuh tidak mungkin menyandang sifat ini, karena “Mereka jika melihat tiap-tiap ayat (Allah) mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan Ar-rusyd, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya” (Q.s Al-araf 7:146). Mereka yang tidak bertaqwa, yang bergelimang dalam dosa yang tidak bermoral atau mempermalukan tuan rumah dihadapan tamunya, adalah orang-orang yang jauh dari sifat Ar-Rusyd (Q.s Hud 11:78). Demikian juga penguasa yang otoriter, durhaka lagi bejat (Q.s Hud 11:97). Kemampuan mengelola harta adalah tahap awal dan tanda pertama dari ada tidaknya sifat ini pada seseorang. Karena itu Allah memerintahkan kepada para wali yang diamanati harta anak yatim, “Ujilah anak yatim itu samapi mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah memiliki rusyd-an (yakni kemampuan memelihara dan mengelola harta dengan baik), maka serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka” (Q.s An-Nisa’ 4:6).

Demikian ayat-ayat Al-Quran menggambarkan sifat ini bagi manusia. Mereka yang mampu menghiasi dirinya dengan tuntunan diatas, wajar untuk dinamai Rasyiid, sekaligus telah meneladani Allah dalam sifat-Nya ini, sesuai dengan kemampuannya sebagai makhluk. Demikian Wa Allah’ Alam.

AR-RAZZAQ:Maha Pemberi Rezeki

AR-RAZZAQ

Maha Pemberi Rezeki

M Quraish Shihab (Menyingkap Tabir Ilahi)

Kata Ar-Razzaq, terambil dari akar kata “Razaqa” atau “rizq” yakni rezeki. Yang pada mulanya – sebagaimana ditulis oleh pakar bahasa Arab Ibnu Faris – berarti “pemberian untuk waktu tertentu”. Di sini terlihat perbedaannya dengan “Alhibah” dan disini pula dapat dipahami perbedaan antara “Ar-Razzaq” dan “Al-Wahhab”. Namun demikian, arti asal ini berkembang, sehingga rezeki antara lain diartikan pangan, pemenuhan kebutuhan, gaji, hujan dan lain-lain, bahkan sedemikian luas dan berkembang pengertiannya sehingga “anugerah kenabian” pun dinamai rezeki. Nabi Syuaib yang berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku bagaimana fikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan Dia menganugerahi aku dari-Nya rezeki yang baik? (yakni kenabian)” (Q.S Hud 11:88).

Dalam Alqur’an kata Ar-razaaq hanya ditemukan sekali, yakni pada Q.s Az-Zariyat 51:58, tetapi bertebaran ayat-ayat yang menggunakan akar kata ini, yang menunjuk kepada Allah AWT.

Ar-Razzaq adalah Allah yang berulang-ulang dan banyak sekali memberi rezeki kepada mahluk-mahluk-Nya. Imam Ghazali ketika menjelaskan arti Ar-Razzaq menulis bahwa, “Dia yang menciptakan rezeki dan menciptakan yang mencari rezeki, serta Dia yang mengantarnya kepada mereka dan menciptakan sebab-sebab sehingga mereka dapat menikmatinya”.

Rezeki oleh sementara pakar hanya dibatasi pada pemberian yang bersifat halal, sehingga haram tidak dinamai rezeki. Tetapi pendapat ini ditolak oleh mayoritas ulama dan karena itulah – Alqur’an dalam beberapa ayat menggunakan istilah “rizqan hasanan” (rezeki yang baik), untuk mengisyaratkan bahwa ada rezeki yang “tidak baik” yakni yang haram. Berdasar keterangan di atas, dapat dirumuskan bahwa “rezeki” adalah “segala pemberian yang dapat dimanfaatkan, baik material maupun spiritual”.

Setiap mahluk telah dijamin Allah rezeki mereka. Yang memperoleh sesuatu secara tidak sah/haram dan memanfaatkannya pun telah disediakan oleh Allah rezekinya yang halal, tetapi ia enggan mengusahakannya atau tidak puas dengan perolehannya, atau terhalangi oleh satu dan hal lain sehingga tidak dapat meraihnya. Karena itu, agama menekankan perlunya berusaha dan bila tidak dapat karena terhalangi oleh satu dan lain sebab, maka manusia diperintahkan berhijrah. Di sisi lain manusia juga harus memiliki sifat “qana’ah”, tetapi ini bukan sekedar “puas dengan apa yang telah diperoleh”, tetapi kepuasan tersebut harus didahului oleh tiga hal. 1)Usaha maksimal yang halal, 2)Keberhasilan memiliki hasil usaha maksimal itu dan 3) Dengan suka cita menyerahkan apa yang telah dihasilkan karena puas dengan apa yang telah diperoleh sebelumnya. Dengan demikian usaha maksimal tanpa keberhasilan serta kemampuan kepemilikikan, belum lagi mengantar seseorang memiliki sifat yang dianjurkan agama ini. Lebih-lebih jika ia tidak dengan suka hati menyerahkan apa yang telah dihasilkannya itu.

Selanjutnya, jaminan rezeki yang dijanjikan Allah kepada mahluk-Nya bukan berarti memberinya tanpa usaha. Kita harus sadar bahwa yang menjamin itu adalah Allah yang menciptakan mahluk serta hukum-hukum yang mengatur mahluk dan kehidupannya. Bukankah manusia telah terikat dengan hukum-hukum yang ditetapkan-Nya? Kemampuan tumbuh-tumbuhan untuk memperoleh rezekinya, serta organ-organ yang menghiasi tubuh manusia dan binatang, insting yang mendorongnya untuk hidup dan makan, semuanya adalah bagian dari jaminan rezeki Allah. Kehendak manusia, instingnya, perasaan dan kecenderungannya, selera dan keinginannya, rasa lapar dan hausnya sampai kepada naluri mempertahankan hidupnya, adalah bagian dari jaminan rezeki Allah kepada mahluk-Nya. Karena tanpa itusemua, maka tidak akan ada dalam diri manusia dorongan untuk mencari makan, tidak pula akan terdapat pada manusia dan binatang pencernaan, kelezatan, kemampuan membedakan rasa dan sebagainya.

Allah sebagai “Ar-Raazaq” juga menjamin rezeki dengan menghamparkan bumi dan langit dengan segala isinya. Dia menciptakan seluruh wujud dan melengkapinya dengan apa yang mereka butuhkan sehingga mereka dapat memperoleh rezeki yang dijanjikan Allah itu. Rezeki dalam pengertiannya yang lebih umum tidak lain kecuali upaya mahluk untuk meraih kecukupan hidupnya dari dan melalui mahluk lain. Semua mahluk yang membutuhkan rezeki diciptakan Allah dengan kebutuhan atas mahluk lain agar dimakannya agar dapat melanjutkan hidupnya, demikian sehingga rezeki dan yang diberi rezeki selalu tidak dapat dipisahkan. Setiap yang diberi rezeki dapat menjadi rezeki untuk yang lain, dapat makan dan menjadi makanan buat yang lain.

Jarak antara rezeki dan manusia, lebih jauh dari jarak rezeki dengan binatang, apalagi tumbuhan. Ini bukan saja karena adanya aturan hukum-hukum dalam cara perolehan dan jenis yang dibenarkan bagi manusia, tetapi juga karena seleranya yang lebih tinggi. Oleh sebab itu manusia dianugerahi Allah sarana yang lebih sempurna, akal, ilmu, pikiran dan sebagainya, sebagai bagian dan jaminan rezeki Allah. Tetapi sekali-kali jaminan rezeki yang dijanjikan Allah bukan berarti memberinya tanpa usaha.

Jarak antara rezeki bayi dengan rezeki orang dewasapun berbeda. Jaminan rezeki Allah, berbeda dengan jaminan rezeki orang tua kepada bayi-bayi mereka. Bayi menunggu makanan yang siap dan menanti untuk disuapi. Manusia dewasa tidak demikian. Allah menyiapkan sarana dan manusia diperintahkan mengolahnya, “Dia yang menjadikan bagi kamu bumi itu mudah (untuk dimanfaatkan) maka berjalanlah dia segala penjurunya dan makanlah dari rezeki-Nya” (Q.s Al-Mulk 67:15). Karena itu ketika Allah Ar-Razzaq itu menguraikan pemberian rezeki-Nya dikemukakannya dengan menyatakan bahwa, “Nahnu narzuqukum Wa Iyyahum” (Kami memberi rezeki kepada kamu dan kepada mereka anak-anak kamu (Q.s Al-An’am 6:151). Penggunaan kata Kami – sebagaimana pernah diuraikan sebelum ini – adalah untuk menunjukkan keterlibatan selain Allah dalam pemberian/perolehan rezeki itu. Dalam hal ini adalah keterlibatan mahluk-mahluk yang bergerak itu mencarinya.

Itu sebabnya ketika menyampaikan jaminan-Nya, Allah mengisyaratkan bahwa jaminan itu untuk semua “dabat” (Yang bergerak). Perhatikanlah Firman-Nya, “Wa Ma Min Dabaten Fil Ardhi Illa’Ala Alahi Rizquha (Tidak satu dabat [binatang melata yang bergerak] pun di bumi, kecuali Allah yang menjamin rezekinya” (Q.s. Hud 11:6). Lima kali dalam Alqur’an, Allah mensifati diri-Nya dengan Khairur Raziqin (sebaik-baik pemberi rezeki) dari enam kali kata “Raaziqin”.

Hanya sekali Alqur’an mensifati Allah dengan Ar-Razzaq, yaitu dalam Q.S. Az-Zariyat 51:58, “Tiada Aku menghendaki pemberian (rezeki) dari mereka tidak pula Aku menghendaki diberi makan oleh mereka. Sesunguhnya Allah adalah Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki) yang memiliki kekuatan yang kukuh”. Agaknya itu untuk mengisyaratkan bahwa dalam perolehan rezeki harus ada keterlibatan mahluk bersama Allah. Alllah adalah sebaik-baik pemberi rezeki, antara lain karena Dia yang menciptakan rezeki beserta sarana dan prasarana perolehannya, sedang manusia hanya mencari dan mengolah apa yang telah diciptakan-Nya itu. Bukankah yang dimanfaatkan manusia dalah bahan mentah yang disiapkan Allah atau hasil olahan dari bahan mentah yang telah tersedia itu?

Sementara orang berkata bahwa Rasul Saw pernah memuji burung-burung –dengan maksud agar diteladani- dalam perolehan rezeki mereka,.. “Burung-burung keluar lapar di waktu pagi dan kembali kenyang disore hari”. Apa yang disabdakan Rasul ini benar adanya, tetapi harus diingat dan diteladani bahwa burung-burung tidak tinggal diam di sarang mereka, tetapi terbang keluar untuk meraih rezekinya. Demikian pula seharusnya manusia.

Yang meneladani Allah dalam sifat-Nya ini terlebih dahulu harus menyadari makna-makna di atas. Ia harus menyadari sepenuhnya bahwa tiada Pemberi Rezeki kecuali Allah SWT. Kesadaran tentang jaminan rezeki Allah itu –dengan pengertian diatas- harus sedemikian kukuh, tidak kurang dari kukuhnya keyakinan seorang tentang kemampuannya mengucapkan kata-kata. “Dan dari langit ada rezeki kamu dan apa-apa yang dijanjikan kepadamu. Demi Tuhan Pencipta langit dan bumi, yang itu adalah benar, seperti ucapan (yang kamu mampu ucapkan)”. (Q.s. AZ-Zariyat 51:22-23).

Setelah itu sebagai peneladanan Allah Ar-Razzaq (Yang menganugerahkan rezeki material dan spiritual) dia berkewajiban menjadi penyebab sampainya rezeki Allah yang diterimanya kepada orang lain, baik dengan ucapan maupun perbuatannya. Semakin banyak mahluk yang diantarkan kepada rezeki, semakin tinggi keteladannya kepada Ar-Razzaq.

Memang, menyangkut rezeki yang bersifat material seseorang tidak harus atau menghabiskan seluruhnya. Camkanlah Firman-Nya yang menjelaskan sifat-sifat orang bertaqwa Q.s. Al-Baqarah 2:3 “dan dari sebagian apa yang Kami rezekikan kepada mereka, mereka nafkahkan” atau perintah-Nya yang berbunyi, “Dan nafkahkanlah sebagian dari apa yang kami rezekikan kepadamu” (Q.s. Al-Baqarah 2:54). Ayat-ayat tersebut mengandung makna bahwa sebagian yang direzekikan dan tidak dinafkahkan itu, hendaknya ditabung untuk keperluan yang tidak terduga. Adapun rezeki immaterial, berupa ilmu pengetahuam, maka ini terlarang menyembunyikannya, apalagi “ilmu bertambah bila dinafkahkan berbeda dengan harta yang dapat berkurang karena diberikan”. Ilmu memelihara manusia, sedang harta harus dipelihara manusia.

Allah

ALLAH

Allah adalah nama Tuhan yang paling popular. Para ulama berbeda pendapat menyangkut lafal mulia ini, apakah ia termasuk Asma’ AlHusna atau tidak. Yang tidak memasukkannya beralasan bahawa Asma’ AlHusna adalah nama/sifat Allah. Bukankah Yang Maha Mulia itu sendiri menyatakan dalam kitab-Nya bahwa, “Wa lillahi Asmaul Husna/Milik Allah nama-nama yang terindah?”. Karena Asmaul Husna nama/sifat Allah, maka tentu saja kata “Allah” bukan termasuk didalamnya. Tetapi ulama lain berpendapat bahwa kata tersebut sedemikian agung, bahkan yang teragung, sehinga tidaklah wajar jika ia tidak termasuk Asmaul’ AlHusna. Tidak ada halangan menurut mereka – menjadikan lafal “Allah” sebagai salah satu dari Asmahul’ AlHusna, bukankah Allah juga merupakan nama-Nya yang indah? Bahkan apabila anda berkata “Allah”, maka apa yang anda ucapkan itu telah mencakup semua nama-Nya yang lain. Sedangkan bila anda mengungkapkan nama-Nya yang lain – misalnya Ar-Rahiim, Al Malik, dan sebagainya,- maka ia hanya menggambarkan sifat Rahmat, atau sifat kepemilikan-Nya. Di sisi lain, tidak satupun dapat dinamai Allah, baik secara hakekat maupun majaz. Sedang sifat-sifat-Nya yang lain – secara umum dapat dikatakan bisa di sandang oleh makhluk-makhluk-Nya. Bukankah kita dapat menamakan si Ali yang pengasih sebagai rahim, atau Ahmad yang berpengetahuan sebagai Aliim?.

Betapapun perbedaan itu, yang jelas bahwa kata ini terulang dalam Alqur’an sebanyak 2698 kali. Secara tegas Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri yang menamai dirinya Allah, “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku” (Q.s. Thaha 20:14). Dia juga dalam Alqur’an yang bertanya, “Hal Ta’lamu Lahu Samiyaa” (Q.s. Maryam 19:65). Ayat ini, dipahami oleh pakar-pakar Alqur’an sebagai bermakna, “Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang bernama seperti nama ini?”, atau “Apakah engkau mengetahui sesuatu yang berhak memperoleh keagungan dan kesempurnaan sebagaimana Pemilik nama itu (Allah)?”, atau bermakna, “Apakah Engkau mengetahui ada nama yang lebih agung dari nama ini?”, juga dapat berarti, “Apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?”.

Pertanyaan-pertanyaan yang mengandung makna sanggahan ini, kesemuanya benar, karena hanya Tuhan Yang Maha Esa, yang wajib wujudnya itu yang berhak menyandang nama tersebut, selain-Nya tidak ada, bahkan tidak boleh. Hanya Dia juga yang berhak memperoleh keagungan dan kesempurnaan mutlak, sebagaimana tidak ada nama yang lebih agung dari nama-Nya itu.

Para ulama dan pakar bahasa mendiskusikan kata tersebut antara lain apakah ia memiliki akar kata atau tidak.

Sekian banyak ulama yang berpendapat bahwa kata “Allah” tidak terambil dari satu akar kata tertentu, tetapi ia adalah nama yang menunjuk kepada zat yang wajib wujud-Nya, yang menguasai seluruh hidup dan kehidupan dan yang kepada-Nya seharusnya seluruh makhluk mengabdi dan bermohon. Tetapi banyak ulama berpendapat bahwa kata “Allah” asalnya adalah “Ilaah”, yang dibubuhi huruf alif dan lam dan demikian Allah merupakan nama khusus yang tdak dikenal bentuk jamaknya. Sedangkan Ilaah adalah nama yang bersifat umum dan yang dapat berbentuk jama’ (plural) Aalihah. Dalam bahasa Inggris baik yang bersifat umum maupun khusus, keduanya diterjemahkan dengan god. Demikian juga dalam bahasa Indonesia, keduanya dapat diterjemahkan dengan tuhan, tetapi cara penulisannya dibedakan. Yang bersifat umum ditulis dengan huruf kecil god/ tuhan, dan yang bermakna khusus ditulis dengan huruf besar God / Tuhan.

Alif dan lam yang dibubuhkan pada kata Ilaah berfungsi menunjukkan bahwa kata yang dibubuhi itu (dalam hal ini kata Ilaah) merupakan sesuatu yang telah dikenal dalam benak. Kedua huruf tersebut di sini sama dengan The dalam bahasa Inggris. Kedua huruf tambahan itu menjadikan kata yang dibubuhi menjadi ma’rifat atau definite (diketahui/dikenal). Pengguna bahasa Arab mengakui bahwa Tuhan yang dikenal oleh benak mereka adalah Tuhan Pencipta, berbeda dengan tuhan-tuhan aalihah (bentuk jamak dari Ilaah) yang lain. Selanjutnya dalam perkembangan lebih jauh dan dengan alasan mempermudah, hamzat yang berbeda antara dua laam yang dibaca (i) pada kata Al Ilaah tidak dibaca lagi sehingga berbunyi Allah dan sejak itulah kata ini seakan-akan telah merupakan kata baru yang tidak memiliki akar kata sekaligus sejak itu pula kata Allah menjadi nama khusus bagi Pencipta dan Pengatur alam raya yang wajib wujud-Nya.

Sementara ualama berpendapat bahwa kata “Ïlaah” yang darinya terbentuk kata “Ällah”, berakar dari kata Al-Ilaahah, Al-uluhah, dan Al-Uluhiiyah yang kesemuanya menurut mereka bermakna Yang disembah. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut berakar dari kata “älah” dalam arti mengherankan atau “menakjubkan” karena segala perbuatan/ciptaan-Nya menakjubkan atau karena bila dibahas hakekat-Nya akan mengherankan akibat ketidaktahuan makhluk tentang hakekat zat Yang Maha Agung itu. Apapun yang terlintas di dalam benak menyangkut hakekat zat Allah, maka Allah tidak demikian. Itu sebabnya ditemukan riwayat yang menyatakan, “Berfikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berfikir tentang zat-Nya.”

Ada juga yang berpendapat bahwa kata “ Allah”terambil dari akar kata “Äliha Ya’lahu” yang berarti “tenang”, karena hati menjadi tenang bersama-Nya, atau dalam arti “menuju” dan “bermohon”, karena harapan seluruh makhluk tertuju kepada-Nya dan kepada-Nya jua makhluk bermohon.

Memang setiap yang dipertuhan pasti disembah, dan kepadanya tertuju harapan dan permohonan, lagi menakjubkan ciptaannya. Tetapi apakah itu berarti bahwa kata “Ïlaah” – dan juga “Ällah” – secara harfiah bermakna demikian? Benar juga bahwa kamus-kamus bahasa seringkali memberi arti yang bermacam-macam terhadap makna satu kata sesuai pemakaian penggunaannya, – karena bahasa mengalami perkembangan dalam pengertian-pengertiannya, tetapi makna-makna itu belum tentu merupakan makna asal yang ditetapkan oleh bahasa. Kata “sujud” misalnya pada awalnya digunakan oleh bahasa dalam arti “ketaatan”, ketundukan, kerendahan atau kehinaan”. Meletakkan dahi di lantai adalah sujud karena itu pertanda kepatuhan dan kerendahan. Manusia atau binatang apabila menganggukkan kepala juga dinamai sujud. Mengarahkan pandangan secara bersinambungan/lama kepada sesuatu jika disertai dengan logam tertentu yang dinamai isjaad yang terambil dari kata sujud, karena pada uang logam itu terdapat gambar penguasa yang bila dilihat oleh rakyatnya mereka “sujud”. Demikian terlihat makna dari satu kata bisa beraneka ragam, selama ada benang merah yang mengaitkannya dengan makna asal.

Kembali kepada kata “Ïlaah” yang beraneka ragam maknanya seperti dikemukakan di atas, dapat dipertanyakan apakah bahasa atau Alqurán menggunakannya untuk makna yang disembah”?.

Para ulama yang mengartikan “Ïlaah” dengan “yang disembah” menegaskan bahwa Ilaah adalah segala sesuatu yang disembah, baik penyembahan itu tidak dibenarkan oleh akidah islam; seperti terhadap matahari, bintang, bulan, manusia atau berhala; maupun yang dibenarkan dan diperintahkan oleh Islam, yakni zat yang wajib wujud-Nya yakni Allah Swt. karena itu, jika seorang muslim mengucapkan “La Ilaaha Illa Allah” maka dia telah menafikkan segala Tuhan, kecuali Tuhan yang nama-Nya “Allah”.

Alasan yang digunakan memperkuat makna ini, adalah alasan kebahasaan yang dikemukakan di atas, ditunjang pula dengan ayat dari satu qiraat (bacaan) tidak popular (syadz) yakni Q.s. Al-A’raf 7:127 yang dibaca, “Wa Yazaraka Wa Ilaahataka.” Kata (Ilahaataka) dalam bacaan ini adalah ganti dari kata Aalihataka yang berarti sesembahan dan yang merupakan bacaan yang sah dan popular. Kata Ilaahataka di sini berarti ïbadat”. Jika demikian menurut mereka Ilaah berarti “yang disembah”, atau yang “kepadanya ibadat tertuju”. Jika demikian, La Ilaaha Illa Allah berarti “tidak ada yang disembah kecuali Allah”. Pernyataan ini tidak lurus menurut sementara ulama, karena dalam kenyataan terlihat dan diketahui sekian banyak zat selain Allah yang disembah. Bukankah ada yang menyembah matahari, bulan, bintang dan lain-lain? Keberatan mereka ini dijawab dengan menyatakan bahwa pada kalimat syahadat itu ada sisipan antara kata Ilaha dan Illa yang harus tersirat ketika mengucapkannya yaitu Baihaq/yang hak sehingga maknanya Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Sisipan ini tidak wajar dan tidak perlu menurut mereka yang menolak mengartikan Ilaah dengan yang disembah”. Memang ada semacam kaidah yang dirumusan pakar-pakar bahasa yang menyatakan bahwa penyisipan satu kata tidak digunakan apabila redaksi kalimatnya dapat dipahami secara lurus tanpa penyisipan itu. Menurut mereka, kata Ilaah pada mulanya diletakkan dalam arti “Pencipta, Pengatur alam raya, yang di dalam genggaman-Nya segala sesuatu”. Sekian banyak ayat Alqur’an yang mereka paparkan untuk mendukung pandangan mereka. Misalnya Firman Allah dalam surah Al-Anbiya 2:22. “Seandainya di langit dan di bumi ada Ilah-ilah kecuali Allah. Niscaya keduanya akan binasa”.

Pembuktian kebenaran pernyataan ayat di atas, baru dapat dipahami secara benar apabila kata Ilaah diartikan sebagai Pengatur, serta Penguasa alam raya, yang didalam genggaman tangan-Nya segala sesuatu. Kalau kita artikan Ilaah dengan Yang disembah, -walaupun dengan penyisipan kata “yang hak” maka pembuktian kebenaran pernyataan itu, menjadi terlalu panjang bahkan boleh jadi tidak relevan sama sekali.

Demikian juga dengan Firman-Nya:

“Ällah tidak mempunyai anak, dan tiada Ilaah bersama-Nya, karena seandainya demikian (ada Ilaah bersamanya) niscaya tiap-tiap Ilaah membawa makhluk yang diciptakannya dan sebagian dari mereka (Ilaah-ilaah itu) akan mengalahkan sebagian (Ilaah) yang lain. Maha suci Allah dari yang mereka sifatkan itu”. (Q.s. Al-Mukminun 23:91).

Cobalah pahami kata Ilaah pada ayat dia atas dengan “yang disembah” niscaya uraian yang dikehendaki oleh ayat itu akan sangat berbelit-belit, berbeda jika anda mengartikannya sebagai penguasa dan pengatur alam raya yang di dalam genggaman tangan-Nya segala kekuasaaan.

Perhatikan juga Firman-Nya:

“Seandainya bersama-Nya (Allah) ada aalihah (ilaah-ilaah) sebagaimana mereka katakan/yakini maka pastilah ilaah-ilaah itu akan mencari jalan menuju (Allah), Pemilik Aresy (guna mengalahkan-Nya)”. Q.s. Al-Isra’17:43).

Ilaah adalah penguasa – seperti yang telah berulang kali dikemukakan – pada umumnya penguasa selalu ingin memperluas kekuasaannya, Karena itu untuk memahaminya lebih sesuai dengan penutup ayat ini dengan firman-Nya.

Sesungguhnya kamu (hai orang-orang musyrik) dan apa-apa yang kamu sembah selain Allah, akan menjadi bakaran jahannam. Kamu pasti memasukinya. Seandainya mereka (yang kamu sembah selain Allah itu) Ilaah-ilaah, tentulah mereka tidak memasukinya. Semua mereka akan kekal di dalamnya. Q.s. Al-Anbiya’ 21:98-99).

Ilaah-ilaah itu adalah makhluk-makhluk yang disembah, dan ternyata mereka akan masuk ke jahannam. Seandainya mereka Ilaah, atau penguasa pengatur alam raya yang dalam genggaman tangan-mereka segala sesuatu, pastilah mereka tidak akan masuk neraka.

Kalau anda memperhatikan semua kata Ilaah dalam Alqur’an, niscaya akan anda temukan bahwa kata itu lebih dekat untuk dipahami sebagai penguasa, pengatur alam raya atau dalam genggamannya tangan-Nya segala sesuatu, walaupun tentunya yang meyakini demikian, ada yang salah pilih Ilaahnya. Bukankah seperti dikemukakan sebelum ini kata ”Ilaah” bersifat umum, sedang kata “ Allah” khusus, bagi penguasa sesungguhnya.

Betapapun terjadi perbedaan pendapat itu, namun agaknya dapat disepakati bahwa kata “Allah” mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh kata selainnya; ia adalah kata yang sempurna huruf-hurufnya, sempurna maknanya, serta memiliki kekhususan berkaitan dengan rahasianya, sehingga sementara ulama menyatakan bahwa kata itulah yang dinamai Ïsmullah Al’-Azam” (nama Allah yang paling mulia), yang bila diucapkan dalam doá Allah akan mengabulkannya.

Dari segi lafaz terlihat keistimewaannya ketika dihapus huruf-hurufnya. Bacalah kata Allah dengan menghapus huruf awalnya, akan berbunyi Lillah dalam arti milik/bagi Allah; kemudian hapus huruf awal dari kata Lillah itu akan terbaca “Lahu”… dalam arti bagi-Nya. Selanjutnya hapus lagi huruf awal dari “lahu”, akan terdengar dalam ucapan Huu yang berarti Dia (menunjuk Allah) dan bila ini pun dipersingkat akan dapat terdengar suara Aah yang sepintas atau pada lahirnya mengandung makna keluhan, tetapi pada hakekatnya adalah seruan permohonan kepada Allah. Karena itu pula sementara ulama berkata bahwa kata “Allah” terucapkan oleh manusia sengaja atau tidak sengaja, suka atau tidak. itulah salah satu bukti adanya fitrah dalam diri manusia, sebagaimana diuraikan pada bagian awal tulisan ini. Alqur’ an juga menegaskan bahwa sikap orang-orang musyrik, “Apabila kamu bertanya kepada mereka siapa yang menciptakan langit dan bumi, pastilah mereka berkata Allah”. (Q.s. Az-Zumar 39:38).

Dari segi makna dapat dikemukakan bahwa kata Allah mencakup segala sifat-sifat-Nya, bahkan Dialah yang menyandang sifat-sifat tersebut. Karena itu, jika anda berkata, “Ya Allah”, maka semua nama-nama, sifat-sifat-Nya telah dicakup oleh kata tersebut. Di sisi lain jika anda berkata Ar-Rahim (Yang Maha Pengasih) maka sesungguhnya yang anda maksud adalah Allah. Demikian juga jika anda berkata: Al-Muntaqim (yang membalas kesalahan). Namun kandungan makna Ar-Rahiim (Yang Maha Pengasih), tidak mencakup pembalasan-Nya, atau sifat-sifat-Nya yang lain. Itulah salah satu sebab mengapa dalam syadahat seseorang harus menggunakan kata “Allah” ketika mengucapkan Asyhadu an Laa Ilaaha Illa Allah, dan tidak dibenarkan mengganti kata Allah tersebut dengan nama-nama-Nya yang lain, seperti Asyhadu An Laa Illaha illa Ar-Rahmaan atau Ar-Rahim.

Jika anda menyebut nama Allah atau mengingat-Nya, maka pasti akan tenang hati anda. Demikian penegasan penyandang Asmaul Husna, Allah Swt dengan Firman-Nya: “Dengan mengingat Alah, akan menjadi tenteram hati” (Q.s. Ar=Ra’ed 13:28).

Ketenangan dan ketentraman itu lahir bila anda percaya bahwa Allah adalah penguasa tunggal dan pengatur alam raya dan yang dalam genggaman-Nya segala sesuatu.

Ketenangan itu akan dirasakan bila anda menghayati sifat-sifat-Nya, kudrat dan kekuasaan-Nya dalam mengatur dan memelihara segala sesuatu. Baca dan fahamilah antara lain ayat Al-Kursi (Q.s. Al-Baqarah 2:255), penggal ayat demi penggal.

(Allahu Laa Ilaaha Illa Huwa) Allah, Tiada Pencipta, Penguasa dan Pengatur alam raya kecuali Dia, karena itu jangan kuatir terhadap siapa pun yang lain, yang boleh jadi memusuhi anda, karena diapun diciptakan oleh-Nya dan berada dibawah kekuasaan dan pengaturan-Nya. Allah Sang Pencipta dan Penguasa itu adalah (AL-Hay) Yang Maha Hidup yakni terus menerus hidup, dengan kehidupan sempurna sehingga Dia tidak akan mati bahkan Dialah sumber kehidupan, sehingga Dia pula yang dapat mencabut kehidupan makhluk-makhluk-Nya. Sekaligus Dia juga (Al-Qayyuum) Yang Maha Mengurus, dan menangani semua makhluk-Nya termasuk anda yng memohon perlindungan-Nya. Karena itu hangan duga Dia tidak mengambil pusing dengan makhluk-Nya. “Setiap saat Dia dalam kesibukan”, mengurus semua makhluk-Nya, demikian Firman-Nya dalam Q.s. Ar-Rahman 55:29. Jangan duga Dia lengah, mengantuk atau tidur, tidak! Dia terus menerus awas dan jaga karena (Laa Ta’khuzuhuu Sinatun Wa Laa Nauwm), ”Dia tidak disentuh oleh kantuk atau tidur”, jangan juga menduga bahwa Dia tidak sanggup menjangkau pelosok di mana si pemohon berada, atau menduga bahwa Dia dapat dirayu dengan kekuasaan dan disogok dengan materi, karena (Lahuu Ma Fis samaawaati Wa Maa Fil Ardhi), Milik-Nya, Ciptaan-Nya, di bawah pengaturan-Nya segala apa yang ada di langit dan bumi, sehingga Dia tidak membutuhkan sesuatu. Tidak hanya itu! Allah bertanya dengan maksud menafikan, (Man zal Lazy Yasy Fa’u índahuu illa Bi iznihi), siapakah yang dapat memebri syafaat [permohonan bantuan] di sisi-Nya tanpa izin-Nya”?. Tidak ada! Dia tdak segan kepada seseorang, tidak juga takut apalagi mengharap, karena itu tidak ada syafaat kecuali atas izin-Nya. Jangankan melakukan seuatu tindakan berbicara pun harus seizin-Nya, dan pembicaraan yang disampaikan haruslah yang benar dan hak.

Apakah anda menduga akan ada yang dapat melakukan makar, atau rencana jahat terhadap anda tanpa diketahui-Nya? Jangan sama sekali menduga demikian, karena (Ya’lamu Maa baina Aidiihim Wa Maa Khalfahum). Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka/Allah mengetahui segala sesuatu yang dilakukan makhluk-makhluk seluruhnya termasuk yang bermaksud jahat terhadap anda, baik aktifitas mereka di masa lalu, maupun rencana mereka yang akan datang, sedang (Laa Yuhiithuunabi syaen min ‘ilmihii illa bi maa Syaa’a) mereka tidak mengetahui sedikitpun dari ilmu-Nya, kecuali apa yang dikehendaki oleh-Nya (untuk mereka ketahui). Ini berarti apa yang direncakan Allah, tidak mungkin mereka ketahui kecuali apa yang diizinkan Allah untuk mereka ketahui. Penggalan ayat ini mengantar manusia yang menghayati maknanya merasa lebih tenang menghadapi segala ancaman, karena semakin banyak yang diketahui tentang pihak lain, semakin mudah menghadapinya dan semakin gampang mengelak dari kejahatannya. Sebaliknya semakin sedikit yang diketahui dari lawan, semakin sukar menghadapinya. Demikian itu Allah, yang melukiskan bahwa (Wasi’a Kursiyuhus samaawaati Wal ardh). Kursi (Pengetahuan dan kekuasaan-) Nya meliputi seluruh langit dan bumi. Yakni alam raya seluruhnya, dan jangan sama sekali menduga bahwa luas dan terbentangnya alam raya menjadikan Dia mengalami kesulitan dalam memeliharanya. Tidak! (Laa Ya uduhuu Hifzuhumaa), Dia tidak berat memelihara keduanya (langit dan bumi), (Wa Huwal Al’Aliyul Azhiim), dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Agung. Demikian Allah Swt. menjelaskan tentang diri-Nya.

Ketika seorang menghunuskan pedang di hadapan Rasul Saw, sambil bertanya “Siapa yang dapat menyelamatkanmu dari pedang ini?” dengan penuh percaya diri Rasul menjawab singkat dan mantap, “ Állah”! yakni Dia Yang Maha kuasa dan Pengatur segala sesuatu itu. Dia yang memiliki sifat-sifat seperti dilukiskan di atas itu kuasa untuk menyelamatkan siapapun yang dikehendaki-Nya.

Menyadari sepenuhnya sifat-sifat Uluhiyah, Rasul Saw. Pernah menasehati seorang anak yang kemudian menjadi pakar tafsir terbesar yakni Abdullah bin Abbas. Anak yang ketika itu berumur belasan tahun menceritakan pengalamannya sebagai berikut:

“ Satu ketika aku berjalan di belakang Rasul Saw., lalu beliau bersabda kepadaku; “Wahai anak muda! Sungguh aku akan mengajarimu beberapa kalimat (yaitu), “Peliharalah (ketetapan-ketetapan) Allah, niscaya Dia memeliharamu; Peliharalah (ketetapan-ketetapan) Allah, niscaya Engkau mendapati-Nya selalu dihadapanmu. Apabila Engkau bermohon, maka bermohonlah kepada Allah; apabila Engkau meminta bantuan, maka mintalah bantuan kepada Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya seandainya ummat berhimpun untuk memberi sesuatu manfaat kepadamu, mereka tidak akan mampu memberimu kecuali sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu; dan bila mereka berhimpun untuk menjatuhkan mudarat kepadamu, mereka tidak akan mempu menjatuhkannya kepadamu, kecuali sesuatu yang telah ditetapkan Allah atasmu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran telah ditutup”. (H.R. Attirmizi).

Demikian Allah Swt. Karena itu tidak heran jika ditemukan sekian banyak ayat di dalam Alqur’an yang memerintahkan orang-orang beriman agar memperbanyak zikir menyebut nama Allah, antara lain; “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allaha, dzikir yang sebanyak-banyaknya”. (Q.s. Al-Azhab 33:41).

Rasul Saw bahkan mengajarkan lebih rinci lagi, sabda beliau: “Tutuplah pintumu dan sebutlah nama Allah, padamkanlah lampumu dan sebutlah nama Allah,… tutuplah periukmu dan sebutlah nama Allah, .. rapatkan kendi airmu dan sebutlah nama Allah …”, demikian Rasul Saw.

Akhirnya menurut Imam Ghazali:

“Manusia sebagai hamba Allah harus dapat mengambil dari lafaz ini kesadaran tentang ta-alluh Allah (Kekuasaan-Nya yang mutlak dalam kepemilikan dan pengaturan seluruh makhluk). Seluruh jiwa dan himmah/kehendak manusia harus dia kaitkan dengan Allah. Dia tidak memandang kecuali kepada-Nya, tidak menoleh selain-Nya, tidak mengaharap dan tidak pula takut kecuali kepada-Nya. Bagaimana tidak demikian, sedang ia seharusnya telah faham dari nama ini, bahwa sesungguhnya Dia adalah wujud yang hakiki dan hak, sedang selain Dia, akan lenyap binasa. Dengan demikian dia akan memandang bahwa dirinya adalah yang pertama akan binasa dan dia adalah sesuatu yang bathil, seperti pandangan Rasul Saw dengan sabda beliau,

“ Kalimat yang paling benar diucapkan seorang penyair adalah kalimat Labid yaitu; Segala sesuatu selain Allah pasti disentuh kebatilan” (H.R. Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

M Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Illahi