AR-RAZZAQ
Maha Pemberi Rezeki
M Quraish Shihab (Menyingkap Tabir Ilahi)
Kata Ar-Razzaq, terambil dari akar kata “Razaqa” atau “rizq” yakni rezeki. Yang pada mulanya – sebagaimana ditulis oleh pakar bahasa Arab Ibnu Faris – berarti “pemberian untuk waktu tertentu”. Di sini terlihat perbedaannya dengan “Alhibah” dan disini pula dapat dipahami perbedaan antara “Ar-Razzaq” dan “Al-Wahhab”. Namun demikian, arti asal ini berkembang, sehingga rezeki antara lain diartikan pangan, pemenuhan kebutuhan, gaji, hujan dan lain-lain, bahkan sedemikian luas dan berkembang pengertiannya sehingga “anugerah kenabian” pun dinamai rezeki. Nabi Syuaib yang berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku bagaimana fikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan Dia menganugerahi aku dari-Nya rezeki yang baik? (yakni kenabian)” (Q.S Hud 11:88).
Dalam Alqur’an kata Ar-razaaq hanya ditemukan sekali, yakni pada Q.s Az-Zariyat 51:58, tetapi bertebaran ayat-ayat yang menggunakan akar kata ini, yang menunjuk kepada Allah AWT.
Ar-Razzaq adalah Allah yang berulang-ulang dan banyak sekali memberi rezeki kepada mahluk-mahluk-Nya. Imam Ghazali ketika menjelaskan arti Ar-Razzaq menulis bahwa, “Dia yang menciptakan rezeki dan menciptakan yang mencari rezeki, serta Dia yang mengantarnya kepada mereka dan menciptakan sebab-sebab sehingga mereka dapat menikmatinya”.
Rezeki oleh sementara pakar hanya dibatasi pada pemberian yang bersifat halal, sehingga haram tidak dinamai rezeki. Tetapi pendapat ini ditolak oleh mayoritas ulama dan karena itulah – Alqur’an dalam beberapa ayat menggunakan istilah “rizqan hasanan” (rezeki yang baik), untuk mengisyaratkan bahwa ada rezeki yang “tidak baik” yakni yang haram. Berdasar keterangan di atas, dapat dirumuskan bahwa “rezeki” adalah “segala pemberian yang dapat dimanfaatkan, baik material maupun spiritual”.
Setiap mahluk telah dijamin Allah rezeki mereka. Yang memperoleh sesuatu secara tidak sah/haram dan memanfaatkannya pun telah disediakan oleh Allah rezekinya yang halal, tetapi ia enggan mengusahakannya atau tidak puas dengan perolehannya, atau terhalangi oleh satu dan hal lain sehingga tidak dapat meraihnya. Karena itu, agama menekankan perlunya berusaha dan bila tidak dapat karena terhalangi oleh satu dan lain sebab, maka manusia diperintahkan berhijrah. Di sisi lain manusia juga harus memiliki sifat “qana’ah”, tetapi ini bukan sekedar “puas dengan apa yang telah diperoleh”, tetapi kepuasan tersebut harus didahului oleh tiga hal. 1)Usaha maksimal yang halal, 2)Keberhasilan memiliki hasil usaha maksimal itu dan 3) Dengan suka cita menyerahkan apa yang telah dihasilkan karena puas dengan apa yang telah diperoleh sebelumnya. Dengan demikian usaha maksimal tanpa keberhasilan serta kemampuan kepemilikikan, belum lagi mengantar seseorang memiliki sifat yang dianjurkan agama ini. Lebih-lebih jika ia tidak dengan suka hati menyerahkan apa yang telah dihasilkannya itu.
Selanjutnya, jaminan rezeki yang dijanjikan Allah kepada mahluk-Nya bukan berarti memberinya tanpa usaha. Kita harus sadar bahwa yang menjamin itu adalah Allah yang menciptakan mahluk serta hukum-hukum yang mengatur mahluk dan kehidupannya. Bukankah manusia telah terikat dengan hukum-hukum yang ditetapkan-Nya? Kemampuan tumbuh-tumbuhan untuk memperoleh rezekinya, serta organ-organ yang menghiasi tubuh manusia dan binatang, insting yang mendorongnya untuk hidup dan makan, semuanya adalah bagian dari jaminan rezeki Allah. Kehendak manusia, instingnya, perasaan dan kecenderungannya, selera dan keinginannya, rasa lapar dan hausnya sampai kepada naluri mempertahankan hidupnya, adalah bagian dari jaminan rezeki Allah kepada mahluk-Nya. Karena tanpa itusemua, maka tidak akan ada dalam diri manusia dorongan untuk mencari makan, tidak pula akan terdapat pada manusia dan binatang pencernaan, kelezatan, kemampuan membedakan rasa dan sebagainya.
Allah sebagai “Ar-Raazaq” juga menjamin rezeki dengan menghamparkan bumi dan langit dengan segala isinya. Dia menciptakan seluruh wujud dan melengkapinya dengan apa yang mereka butuhkan sehingga mereka dapat memperoleh rezeki yang dijanjikan Allah itu. Rezeki dalam pengertiannya yang lebih umum tidak lain kecuali upaya mahluk untuk meraih kecukupan hidupnya dari dan melalui mahluk lain. Semua mahluk yang membutuhkan rezeki diciptakan Allah dengan kebutuhan atas mahluk lain agar dimakannya agar dapat melanjutkan hidupnya, demikian sehingga rezeki dan yang diberi rezeki selalu tidak dapat dipisahkan. Setiap yang diberi rezeki dapat menjadi rezeki untuk yang lain, dapat makan dan menjadi makanan buat yang lain.
Jarak antara rezeki dan manusia, lebih jauh dari jarak rezeki dengan binatang, apalagi tumbuhan. Ini bukan saja karena adanya aturan hukum-hukum dalam cara perolehan dan jenis yang dibenarkan bagi manusia, tetapi juga karena seleranya yang lebih tinggi. Oleh sebab itu manusia dianugerahi Allah sarana yang lebih sempurna, akal, ilmu, pikiran dan sebagainya, sebagai bagian dan jaminan rezeki Allah. Tetapi sekali-kali jaminan rezeki yang dijanjikan Allah bukan berarti memberinya tanpa usaha.
Jarak antara rezeki bayi dengan rezeki orang dewasapun berbeda. Jaminan rezeki Allah, berbeda dengan jaminan rezeki orang tua kepada bayi-bayi mereka. Bayi menunggu makanan yang siap dan menanti untuk disuapi. Manusia dewasa tidak demikian. Allah menyiapkan sarana dan manusia diperintahkan mengolahnya, “Dia yang menjadikan bagi kamu bumi itu mudah (untuk dimanfaatkan) maka berjalanlah dia segala penjurunya dan makanlah dari rezeki-Nya” (Q.s Al-Mulk 67:15). Karena itu ketika Allah Ar-Razzaq itu menguraikan pemberian rezeki-Nya dikemukakannya dengan menyatakan bahwa, “Nahnu narzuqukum Wa Iyyahum” (Kami memberi rezeki kepada kamu dan kepada mereka anak-anak kamu (Q.s Al-An’am 6:151). Penggunaan kata Kami – sebagaimana pernah diuraikan sebelum ini – adalah untuk menunjukkan keterlibatan selain Allah dalam pemberian/perolehan rezeki itu. Dalam hal ini adalah keterlibatan mahluk-mahluk yang bergerak itu mencarinya.
Itu sebabnya ketika menyampaikan jaminan-Nya, Allah mengisyaratkan bahwa jaminan itu untuk semua “dabat” (Yang bergerak). Perhatikanlah Firman-Nya, “Wa Ma Min Dabaten Fil Ardhi Illa’Ala Alahi Rizquha (Tidak satu dabat [binatang melata yang bergerak] pun di bumi, kecuali Allah yang menjamin rezekinya” (Q.s. Hud 11:6). Lima kali dalam Alqur’an, Allah mensifati diri-Nya dengan Khairur Raziqin (sebaik-baik pemberi rezeki) dari enam kali kata “Raaziqin”.
Hanya sekali Alqur’an mensifati Allah dengan Ar-Razzaq, yaitu dalam Q.S. Az-Zariyat 51:58, “Tiada Aku menghendaki pemberian (rezeki) dari mereka tidak pula Aku menghendaki diberi makan oleh mereka. Sesunguhnya Allah adalah Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki) yang memiliki kekuatan yang kukuh”. Agaknya itu untuk mengisyaratkan bahwa dalam perolehan rezeki harus ada keterlibatan mahluk bersama Allah. Alllah adalah sebaik-baik pemberi rezeki, antara lain karena Dia yang menciptakan rezeki beserta sarana dan prasarana perolehannya, sedang manusia hanya mencari dan mengolah apa yang telah diciptakan-Nya itu. Bukankah yang dimanfaatkan manusia dalah bahan mentah yang disiapkan Allah atau hasil olahan dari bahan mentah yang telah tersedia itu?
Sementara orang berkata bahwa Rasul Saw pernah memuji burung-burung –dengan maksud agar diteladani- dalam perolehan rezeki mereka,.. “Burung-burung keluar lapar di waktu pagi dan kembali kenyang disore hari”. Apa yang disabdakan Rasul ini benar adanya, tetapi harus diingat dan diteladani bahwa burung-burung tidak tinggal diam di sarang mereka, tetapi terbang keluar untuk meraih rezekinya. Demikian pula seharusnya manusia.
Yang meneladani Allah dalam sifat-Nya ini terlebih dahulu harus menyadari makna-makna di atas. Ia harus menyadari sepenuhnya bahwa tiada Pemberi Rezeki kecuali Allah SWT. Kesadaran tentang jaminan rezeki Allah itu –dengan pengertian diatas- harus sedemikian kukuh, tidak kurang dari kukuhnya keyakinan seorang tentang kemampuannya mengucapkan kata-kata. “Dan dari langit ada rezeki kamu dan apa-apa yang dijanjikan kepadamu. Demi Tuhan Pencipta langit dan bumi, yang itu adalah benar, seperti ucapan (yang kamu mampu ucapkan)”. (Q.s. AZ-Zariyat 51:22-23).
Setelah itu sebagai peneladanan Allah Ar-Razzaq (Yang menganugerahkan rezeki material dan spiritual) dia berkewajiban menjadi penyebab sampainya rezeki Allah yang diterimanya kepada orang lain, baik dengan ucapan maupun perbuatannya. Semakin banyak mahluk yang diantarkan kepada rezeki, semakin tinggi keteladannya kepada Ar-Razzaq.
Memang, menyangkut rezeki yang bersifat material seseorang tidak harus atau menghabiskan seluruhnya. Camkanlah Firman-Nya yang menjelaskan sifat-sifat orang bertaqwa Q.s. Al-Baqarah 2:3 “dan dari sebagian apa yang Kami rezekikan kepada mereka, mereka nafkahkan” atau perintah-Nya yang berbunyi, “Dan nafkahkanlah sebagian dari apa yang kami rezekikan kepadamu” (Q.s. Al-Baqarah 2:54). Ayat-ayat tersebut mengandung makna bahwa sebagian yang direzekikan dan tidak dinafkahkan itu, hendaknya ditabung untuk keperluan yang tidak terduga. Adapun rezeki immaterial, berupa ilmu pengetahuam, maka ini terlarang menyembunyikannya, apalagi “ilmu bertambah bila dinafkahkan berbeda dengan harta yang dapat berkurang karena diberikan”. Ilmu memelihara manusia, sedang harta harus dipelihara manusia.
[…] AR-RAZZAQ:Maha Pemberi Rezeki July 2009 3 […]