Syurga Untuk Istriku

Oleh: Diday Tea

Kisah Fatimah Az Zahra dan Gilingan Gandum

Beberapa jam yang lalu saya membaca sebuah kisah Fatimah Az Zahra dan Gilingan Gandum. Di website tersebut dicantumkan sumbernya dari Syarah ‘Uquudil lijjaiin karya Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani.

Saya rangkum kisah tersebut dan saya interpretasikan sendiri dengan salah satu ceramah dari Ust. Abu Syauqi, tentang kisah yang sama.

Pada suatu waktu Rasulullah SAW menemui putrinya Fatimah yang sedang  menggiling sejenis padi-padian dengan gilingan yang terbuat dari batu sambil menangis.

Ketika Rasulullah SAW bertanya kenapa dia menangis, Fatimah pun curhat kepada beliau.

“Ayahanda, aku ini anak Rasulullah SAW, anak seorang pemimpin negara, tapi lihatlah tanganku ini, sampai lecet- lecet karena harus menggiling gandum dengan gilingan batu!” Dengan diiringi isak tangis.

Kemudian Rasulullah S.A.W bersabda kepada putrinya:

“Jika Allah menghendaki wahai Fatimah, niscaya penggilingan itu akan berputar dengan sendirinya untukmu, akan tetapi Allah telah menghendaki menuliskan beberapa kebaikan dan menghapus beberapa kesalahanmu dan mengngkat beberapa derajat untukmu, Ya Fatimah… Perempuan mana yang apabila menggiling gandum/tepung untuk suami dan anak-anaknya maka Allah SWT menuliskan untuknya dari setiap biji gandum yang digilingnya satu kebaikan(pahala) dan mengangkatnya satu derajat.

Rasulullah SAW masih melanjutkan dengan menyebutkan banyak sekali keutamaan dan ganjaran yang akan didapat oleh seorang wanita yang menjadi istri dan ibu.

Silahkan langsung ditanyakan saja kepada mas Google untuk membaca kisah lengkapnya yang lumayan panjang.

Hikmah

Kisah di atas tentunya masih sangat relevan dengan kondisi yang dialami oleh kita yang hidup empat belas abad setelah periode Rasulullah SAW.

Kisah ini akan memiliki hikmah yang lebih istimewa dengan para istri yang suaminya bekerja di negeri orang. Ada paradox yang terjadi. Ketika penghasilan suami dan taraf hidup suami mereka sangat berlebih jika dibandingkan dengan bekerja di negeri sendiri, sama sekali tidak mengurangi beban pekerjaan rumah tangga yang mereka lakukan. Sama sekali tidak mengurangi kesibukan dan beban mereka mengurus suami dan anak- anak. Yang ada malah bertambah dan berlipat- lipat, karena mereka harus melakukan segala sesuatunya sendirian.

Jika kita melihat sekilas memang seperti tidak adil untuk para wanita yang menjadi seorang istri dan Ibu. Saya yakin sekali yang paling syok adalah mereka yang sebelumnya terbiasa memiliki pembantu di rumahnya dan belum terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga. Apalagi mereka yang tadinya pernah bekerja, sebelum ikut hijrah mendampingi suami mereka.

Walau pun suami mereka sudah berusaha membantu pekerjaan rumah, selalu ada hal- hal yang tidak tergantikan perannya.

Ada sih pengecualian, untuk mereka yang sudah menempati posisi yang lumayan tinggi, bisa mengusahakan PRT di rumahnya. Itu pun tidak bisa merekrut PRT dari Indonesia, karena ada peraturan yang melarangnya.

Tetapi, untuk TKI dengan posisi teknisi biasa seperti saya, hampir mustahil bisa mendapatkan hal yang sama. Di samping prosesnya memang sulit dan memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Malah pernah kudengar seorang istri berucap bahwa dia lebih baik tinggal di tanah air, gaji pas- pasan tapi bisa punya pembantu dan bisa hidup seperti seorang ratu yang tidak harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga sendiri. Daripada berlimpah harta di negeri orang, tapi tetap harus “nginem” di rumah.

 

Lelah Tak Terbayangkan

Bayangkan saja, istri saya sudah bangun dari jam setengah empat pagi untuk menyiapkan seragam, bekal sarapan dan hal- hal yang saya perlukan untuk bekerja.

Setelah saya berangkat pun, dia masih harus menyiapkan sarapan, baju dan lain- lainnya untuk anak lelakiku yang sekolah.

Selepas si sulung berangkat ke sekolah, dia pun masih harus berlelah- lelah dan menghabiskan berjam- jam waktunya untuk merapikan hampir setiap sudut rumah yang berantakannya seperti kapal dibom, sisa- sisa anak- anak bermain semalaman.

Sarapan pun kadang tidak sempat ketika rumah masih acak- acakan, tapi si kecil sudah terduduk bangun di atas kasur kecilnya dan merengek- rengek meminta susu coklat kegemarannya.

Ketika si kecil bangun pun , rumah yang sudah rapi jali, kembali menjelma menjadi kapal pecah hanya dalam hitungan menit saja.

Pada hari- hari saya bekerja dan si sulung sekolah, sejak bangun tidur, hingga tidur lagi, istriku selalu terlihat sibuk. Hanya sesekali saja kulihat dia bisa bersantai.

Hanya ketika aku dan si sulung libur saja, dan ketika kami sekeluarga pergi keluar rumah kulihat dia bisa sepenuhnya bebas dari pekerjaannya sehari- hari.

Ketika dia masih bekerja pun, tidak mungkin dia sampai selelah itu. Jam kerja kan sudah pasti, dan dia bisa kapan saja beristirahat di antara pekerjaannya.

Di rumah? Jam kerjanya hampir dua puluh empat jam. Istirahat pun tidak menentu, karena harus selalu siap sedia ketika anak- anak membutuhkannya.

Hebatnya lagi, dia sangat jarang mengeluh.

Ahem, terlalu berlebihan dan sangat mustahil banget ya kalau memang istri saya tidak mengeluh. Padahal sih sering banget. Hehehe…

Tapi periode dramatis yang diwarnai tangisan, keluhan, ratapan dan terkadang pertengkaran itu hanya terjadi di periode beberapa bulan pertama istriku tiba di Qatar.

 

Sebuah Jawaban

Berikut adalah curahan hati yang saya edit dan saya dramatisir dari seorang Istri merangkap Ibu Rumah Tangga yang menemani suaminya yang bekerja di Qatar.

Suamiku tercinta, kalau hanya menggugu nafsu ingin hidup seperti seorang ratu, atau sekedar menghindari beratnya tugas seorang ibu rumah tangga, aku pasti sudah minta pulang sejak dulu, sejak hari pertama aku menginjakkan kaki di negeri padang pasir ini. Karena sejak dari pesawat sejauh mata memandang hanya pasir saja yang nampak di pelupuk mataku ini.

Suamiku, sejujurnya aku tadinya sangat keberatan untuk meninggalkan pekerjaanku karena aku sudah bertahun- tahun terbiasa ditunggu di rumah, bukan menunggu seseorang di rumah.

Suamiku, sejujurnya dulu aku sedih tak terhingga karena harus kukubur dalam- dalam impianku untuk menjadi wanita karir dan meraih posisi setinggi mungkin di perusahaan tempatku bekerja.

Suamiku, sejujurnya aku panik ketika harus memasak dan mencuci piring, karena sebelumnya aku hampir tidak pernah memasak. Selalu ada yang memasakkan untukku sepulang dari pekerjaan.Apalagi mencuci piring. Tanganku saja langsung gatal- gatal ketika pertama kali mencuci piring dengan sabun pembersih khusus piring itu. Sampai sekarang pun aku masih harus memakai sarung tangan ketika mencuci piring.

Suamiku, Aku sudah bertekad bulat meniatkan diri untuk beribadah kepada Allah dengan cara berbakti kepada suami, sejak  Aku memutuskan untuk menerima pinanganmu dan menyerahkan surat pengunduran diriku kepada atasanku. Tidak kupedulikan lagi berjuta bujuk rayu atasanku yang berusaha mencegahku untuk mengundurkan diri.

Sambil bersabar ketika sepenat apa pun kepala ini harus menahan kantuk dan letih ketika berusaha memisahkan kedua anak kita bertengkar memperebutkan sesuatu, aku selalu berdoa semoga itu menjadi pahala kebaikan untukku dan untukmu.

Sekuat tenaga Aku tahan tangisku, agar tidak ada air mata yang jatuh menetes di depanmu ketika menahan betapa pedihnya luka sayatan bekas operasi caesar sehabis melahirkan si kecil, agar engkau bisa tenang pergi bekerja.

Aku buka cakrawala pikiranku dengan membuka jendela internet yang terbuka lebar- lebar ketika aku merasakan kejenuhan yang luar biasa, merasakan kesendirian dan kesepian yang luar biasa ketika seharian dan semalaman kamu tidak ada di rumah.

Aku paksakan diriku untuk membaca salah satu buku di antara ratusan buku yang kau bawa dari Indonesia, walau pun sebenarnya sejak dulu aku sama sekali tidak suka membaca, ketika aku tidak tahu apa yang aku harus lakukan di waktu luangku.

Aku temui keluargaku dan keluargamu di dunia maya dan melalui pulsa telepon, jika rinduku kepada mereka sudah tak tertahan lagi.

Kubuka- buka saja jadwal mudik, dan foto- foto ketika kita sedang berliburan di Indonesia dan website maskapai penerbangan yang selalu menerbangkan kami pulang, ketika aku dilanda rindu setengah mati kepada kampung halaman.

Selalu kuajak kamu pergi ke taman- taman yang luar biasa indahnya di Qatar, ketika aku kangen indahnya pemandangan hijaunya tanah airku.

Selalu kupandang mobil yang kau kemudikan berlalu keluar garasi dari balik celah sempit tirai di ruang ruang tamu, dan selalu kuingat betapa mudahnya kamu memberikan apa yang istri dan anak- anaknya inginkan ketika musim SALE dan diskon melanda mall- mall di Qatar, jika aku sedang tergoda utuk meratapi dan mengeluh betapa melelahkannya mengurus anak- anak jika kamu tidak ada di rumah.

Selalu kuingatkan diriku bahwa sabarku ini bisa menjadi tiket ke syurga, ketika kuhapus setiap tetes keringat yang menetes di pelipisku ketika aku sudah sampai di puncak kelelahan membereskan “hasil karya” kedua anak- anakku di setiap sudut rumah.

Tapi maafkan aku suamiku sayang, aku melakukan semua itu bukan untuk kamu.

Aku bersabar karena itu semua adalah ibadahku kepada Allah..

Aku ingin menjadi seperti Fatimah Az Zahrah,  yang ditemani oleh batu gilingan gandumnya ke Syurga.

Kupersembahkan tulisan ini untuk para Istri dan Ibu luar biasa yang berada di Qatar, serta di mana pun di muka bumi ini. Semoga Allah menghadiahkan syurga sebagai ganjaran dari setiap detik waktu yang kalian habiskan, dan setiap titik keringat yang menetes untuk mengurus suami dan anak- anak kalian.

Doha, 3 Januari 2013

Oase Kehidupan Dari Padang Pasir

Assalaamuálaikum,

Alhamdulillah, akhirnya buku saya terbit juga. Terima kasih doa dan supportnya, sehingga tulisan- tulisan saya akhirnya bisa diterbitkan oleh Elexmedia.

Sudah terbit tanggal 22 Oktober kemarin, dan siap edar di toko- toko buku seluruh Indonesia mulai hari ini, insyaallah.

SINOPSIS
“Kumpulan cerita-cerita ringan dalam buku ini mampu mengombinasikan pengalaman pribadi dengan dalil Al-Qur’an dan jargon kehidupan serta mengaitkannya sebagai rumusan sebab akibat.

Hal ini merupakan sesuatu dan memiliki arti besar bagi sebuah upaya syiar agama Islam yang mudah dipahami dan dimengerti serta dicerna walau oleh orang yang bukan pemeluk Islam sekalipun”.

(Deddy S Hadi, Dubes RI di Qatar)

“Ada sekitar 47 tulisan di buku ini. Seperti halnya “gado-gado”, isinya pun aneka rasa alias beragam.

“Cocok di lidah, nyaman di hati. Ada respons terhadap buku yang sudah dibacanya, tip cara belajar di kehidupan yang efektif, manfaat buku, bahkan parenting.”

“Bagiku, aneka rasa di buku ini sangat menyehatkan jiwa. Saat membaca buku ini, aku termasuk sedang meng-update diri sendiri. Percayalah, selalu ada manfaat jika kita membaca buku. Apalagi jika buku yang ditulis si pengarang lahir dari kebiasaannya membaca. Diday sudah membuktika itu, bahwa buku bisa megubah dirinya sendiri menjadi lebih baik. Bukankah untk mengubah dunia harus dimulai dari mengubah diri sendiri dulu?”

(Gol A Gong, penulis Balada si Roy, Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat)

DETAIL
Judul Oase Kehidupan dari Padang Pasir
Seri Quanta
ISBN/EAN 9786020033792 / 9786020033792
Author Diday Tea
Publisher ELEX MEDIA
Publish 24 Oktober 2012
Pages 276
Weight 300 gram
Dimension (mm) 140 x 210
Tag Agama Islam

Menghargai Keringat

“Tetesan keringat dan kucuran peluh yang keluar dari hasil jerih payahseorang ayah atau suami ketika mencari nafkah untuk anak dan istrinya, bisa jadi bernilai syurga karena itu dihitung sebagai sedekah”


Sudah jadi peraturan dan keinginan dasar di dalam hukum ekonomi untuk meraih keuntungan sebesar- besarnya dengan modal yang sekecil- kecilnya.

Prinsip ini juga yang aku lakukan ketika aku masih tinggal dan bekerja di Cilegon.

Sewaktu aku masih membanting- banting tulang dan memeras- meras keringat di Cilegon, aku menjalani berbagai peran. Seorang karyawan swasta, seorang mahasiswa juga, dan seorang pedagang juga.

Peran pedagang, aku jalani sebagai kebutuhan, untuk menggeser kesetimbangan keuanganku ke arah kanan, demi untuk menambal kekurangan biaya kuliah. Peran ini juga aku jalani sebagai pemenuhan naluri dan insting berdagangku yang sudah muncul sejak masih bersekolah. Hampir setiap mudik dari Bandung, aku selalu membawa barang dagangan.

Dari buku, VCD ceramah atau nasyid, bahkan baju- baju distro yang baru ngetrend di Bandung sampai jagung pop dalam kemasan, serta deterjen tanpa busa pun tak luput menjadi komoditas daganganku juga.

Di tahun terakhir, sebelum aku berangkat ke Qatar, aku “menemukan” barang dagangan baru yang untungnya jauh lebih besar dibanding komoditas yang biasanya aku jual.

Awalnya sih hanya iseng, ketika aku bersama Ibuku berjalan- jalan ke daerah Cibadak. Di sana banyak toko grosir aksesoris untuk wanita, seperti bros, pin, jepit rambut dan lain lain. Di salah satu toko, ada yang menawarkan bros untuk para jilbaber. Bentuknya lucu- lucu, dari yang berbentuk Kaligrafi, atau tokoh kartun yang berjilbab, atau hanya sekedar rangkaian kata- kata bernuansa Islami.

Waktu itu aku langsung memborong beberapa lusin bros yang sudah dikemas rapi secara satuan.

Di luar dugaan, ternyata hampir semua bros- bros ini ludes tak bersisa hanya dalam waktu kurang dari satu minggu. Itu pun pembelinya baru teman- teman kerja, teman kuliah  dan anak- anak tetanggaku.

Ternyata insting aku tepat. Di daerah Cilegon Serang, bros- bros Islami itu ternyata masih sangat jarang. Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, aku membeli bros itu dalam bentuk curah. Satu kantung plastik besar berisi ratusan bros berbagai macam bahan dan jenis.

Kendalanya adalah aku harus mengemas satu per satu setiap bros itu dengan plastik bening. Berjam- jam aku habiskan  untuk mengemas bros itu satu – persatu. Ditambah dengan waktu yang kuhabiskan juga untuk membuat proposal kerjasama dengan toko buku, malam itu aku hampir
tidak tidur sama sekali.

Dan aku juga harus membeli sendiri semacam rak pajang, yang bisa memuat puluhan bros, untuk “display” barang di toko-toko yang rencananya nantinya akan aku ajak kerja sama.

Dengan membeli secara curah langsung dari pembuatnya, untung yang kudapat dari setiap keping bros jauh lebih besar dibandingkan dengan ketika aku harus membeli secara lusinan, apalagi satuan.

Dengan harga beli yang bermacam- macam, aku membuat satu harga untuk semua bros yang aku jual, waktu itu harga satu bros adalah tiga ribu lima ratus rupiah.

Di daerah Cilegon-Serang, setidaknya ada lima toko buku yang aku datangi, dua di Cilegon, dan dua di Serang.

Dengan waktu kerja aku yang shift, dan jadwal kuliah yang lumayan padat, waktu luang aku pada waktu itu hanya tengah hari saja, antara waktu Zhuhur dan Ashar.

Selepas shalat Zhuhur, aku bergegas melangkahkan kaki dari rumah dengan membawa dua rak pajangan yang penuh berisi bros yang sudah siap tayang. Tas punggung kesayanganku yang penuh dengan bros, dan bertambah berat karena berisi buku- buku kuliah dan seragam kerja, tanpa lupa kuajak menemani. Waktu itu aku berniat untuk menawarkan kerjasama dengan toko- toko buku di Serang, agar mereka mau dititipi bros- bros jualanku.

Seperti daerah pesisir laut pada umumnya, cuaca Cilegon- Serang sangat lembab dan panas. Dan kondisi itu sangat menyiksa orang- orang yang terbiasa hidup di iklim sejuk seperti Bandung. Aku termasuk orang yang sangat sulit untuk berkeringat, tapi baru beberapa menit saja berjalan
menuju tempat menunggu angkot, keringat sudah mengucur deras di pelipis kanan dan kiri aku.

Di dalam angkot, semua orang di dalam sana melihat barang bawaanku dengan penasaran.

Bahkan ada beberapa anak sekolah yang langsung ingin membeli pada saat itu juga.

“Lumayan, baru juga keluar rumah, sudah ada yang membeli nih..!”

Untuk pergi ke Serang, seturun dari angkot, aku masih harus menumpang bus antar kota ke terminal Serang. Dan untuk mencapai toko buku yang aku ingin ajak kerjasama itu, aku masih harus naik angkot lagi.

Perjalanan waktu itu memang penuh tantangan dan perjuangan. Sudah mah ribet dengan rak pajangan bros, tas yang berat, aku masih harus berjuang dengan rasa gerah dan mengusap peluh yang semakin deras mengucur ketika aku harus berjalan di tengah hari bolong.

Bus AC yang biasa kunaiki pun ternyata tidak ada yang kosong, karena jam segitu memang jamnya anak sekolah bubaran dan mahasiswa pergi kuliah ke Serang dari Cilegon. Sehingga dengan sangat terpaksa aku harus menaiki bus yang sudah sesak penuh dengan penumpang. Tidak ada
pilihan lain, karena aku harus mengejar kuliah di sore harinya. Setelah hampir satu jam aku berdiri di dalam bis itu.

Tapi,  setiap tetes kucuran keringatku terbayar lunas, bahkan sebelum kering di pelipisku, ketika semua pemilik toko buku di Serang yang kuajak kerja sama terkesan dengan proposal kerjasama yang kubuat. Aku buat proposal kerjasama dengan mereka secara konsinyasi, dan diskon yang lumayan besar. Artinya, mereka tidak usah membeli dulu brosnya. Mereka hanya akan membayar produk yang laku saja. Dan mereka bersedia untuk menjalin kerjasama untuk menjual produk- produk bros yang kubawa.

Dan sesuai perjanjian pula, setiap awal bulan aku akan mengumpulkan uang hasil penjualan. Serta, tiap dua minggu aku akan memperbaharui produk yang didisplay di toko dengan yang produk- produk yang terbaru.

Alhamdulillah, untung dari berjualan bros ini sangat bisa menolongku untuk bisa membiayai kuliahku selama beberapa bulan.

Aku pernah mendengar dari seorang ustadz, kalau ternyata tetesan keringat dan kucuran peluh yang keluar dari hasil jerih payah seorang ayah atau suami ketika mencari nafkah untuk keluarganya, bisa jadi bernilai syurga karena itu dihitung sebagai sedekah.

Keringat itu juga yang membuat aku tanpa berpikir panjang lagi untuk membeli ensiklopedia yang ditawarkan oleh seorang pemuda yang bersimbah peluh dan keringat di parkiran sebuah  supermarket di Doha.

Aku bukan membeli ensiklopedianya, karena sejujurnya aku tidak terlalu
memerlukannya. Tapi aku ingin menghargai keringat hasil dan perjuangan usaha si pemuda ini untuk menghampiri hampir setiap mobil yang baru parkir. Sebelum dia menghampiri, aku sudah mengamatinya lumayan lama. Di tengah teriknya cuaca panas dan lembab, dia pantang menyerah dan tak kenal lelah, dan masih tabah menawarkan menerangkan produk ensiklopedia tersebut. Walau pun ada beberapa pemilik mobil yang sama sekali tidak menghiraukannya.

Aku tahu sekali bagaimana rasanya jerih payah “menukar” tetesan keringat dengan selembar uang untuk sekedar menyambung hidup di hari itu.

Doha, 12 Oktober 2012

Wabah Jam Karet

 

Orang yang disiplin terhadap waktu, malah akan terlihat sangat bodoh dan aneh jika membuat janji dengan orang yang memakai jam karet”

            Sejak kecil, kedua orangtuaku terbiasa bersikap sangat ketat terhadap waktu. Bahkan menurutku kadang terlalu berlebihan dan terkesan paranoid.

            Masa acara mulai jam 10 aku sudah harus siap- siap dari jam 6? Dan aku harus berangkat jam 8?

            Mereka terus mengatakan bahwa lebih baik datang lebih awal daripada datang terlambat. Dan mereka selalu marah jika aku terlambat datang ke sebuah acara, atau jika diajak oleh mereka ke suatu tempat, dan aku belum siap pada waktunya.

Disiplin waktu seperti itu semakin menjadi ketika aku mengikuti acara SSG di Daarut Tauhiid Bandung.

Aku mengalami pengalaman yang berkesan hingga hari ini. Bukan kesan yang baik sih. Karena aku dihukum langsung oleh Aa Gym

Aku dan kedua kawanku terlambat datang 10 menit, karena berbagai alasan. Kalau aku sih, alasannya karena tidak keburu menaiki bus Damri pada waktu yang biasanya, karena sudah terlalu penuh sesak. Dua temanku yang lain tidak jauh berbeda, kalau tidak macet ya terlambat bangun.

Ketika itu kami dihukum push up sesuai dengan keterlambatan kami. Dan ternyata kami bukan yang paling terlambat, ada yang lebih parah, terlambat hingga setengah jam.

Dan masih belum selesai. Santri yang datang terlambat diberi hukuman tambahan yang sama: memindahkan puluhan genteng yang ditumpuk ke area di dekat tempat kami biasa latihan.

Sebagian dari kami ada yang tidak terima, masa hukuman yang telat 5 menit sama dengan hukuman yang telat setengah jam?

            “Terlambat setengah jam itu terlambat, terlambat lima belas menit juga namanya terlambat, terlambat lima menit juga terlambat!” Kata Aa Gym waktu itu berapi- api.

            Sejak itulah aku tahu dan memahami salah satu konsep dasar yang sangat penting dalam kehidupan.

            Disiplin waktu.

            Menunda acara yang sudah dijadwalkan hanya karena alasan menunggu yang belum datang/terlambat, sama saja dengan tidak menghormati orang- orang yang sudah datang tepat waktu.

            Sudah menjadi tabiat umum masyarakat Indonesia di mana pun untuk datang In Time, bukan On Time.

            Ternyata kebiasaan memakai jam karet ini masih terbawa walau pun sudah tinggal di negeri orang.

            Tak terhitung berapa kali pengalaman buruk yang kualami di Qatar, yang berkaitan dengan jam karet ini.

            Yang paling “berkesan” sih ketika ada acara arisan rutin yang diadakan di daerah Corniche (daerah garis pantai skyline Doha, tempat favorit orang- orang yang tinggal di sana untuk berkumpul). Aku adalah salah satu pemenang bulan sebelumnya, sehingga aku otomatis jadi penyelenggara acara pertemuan bulan berikutnya.

            Di email undangan yang dikirim, sangat jelas tercantum bahwa acara arisan akan diadakan pada jam 14:00 waktu Qatar.

            Sebagai penyelenggara, sudah seharusnya aku datang lebih awal dari orang lain.

            Jadi, jam 13:30 tepat, aku sudah tiba di tempat yang sudah disepakati.

            Ternyata tidak ada satu orang pun yang sudah datang.

            Kucoba untuk menghubungi pemenang arisan yang lain.

            “Cepet amat datengnya, kan masih jam setengah dua?” Dia malah seperti orang kebingungan.

            “Tampil amat nih, jam segini sudah dateng?” Jawab teman lain yang juga kuhubungi.

            “Halaah..kaya ngga tahu orang Indonesia aja…jam 14:00 itu kan buat ancer- ancer doang kali. Panitia tahu kalau orang- orang bakal dateng telat. Paling mereka bakal dateng jam tigaan..!” Kata temanku yang lain sambil terkekeh- kekeh.

            Haddeeuuuh….Cappe Deeh..

            “Kenapa jadi gua yang keliatan bodo ya?” Omelku dalam hati.

            Ketika jam dua siang tiba pun, ternyata belum ada satu pun orang yang datang.

            Aku masih berputar- putar di tempat parkiran. Dan ketika ada tempat parkir yang kosong, langsung saja kuparkir mobilku, sambil tetap  melihat situasi, siapa tahu ada yang datang.

            Ternyata, setelah hampir dua jam berlalu dari semenjak aku datang, dan jam sudah menunjukkan jam tiga sore, masih saja ada yang belum datang. Jangankan peserta, panitia yang lain saja belum ada yang datang. Istriku sudah kesal menunggu di dalam mobil. Kami tidak bisa meninggalkan mobil, karena takut jika ada panitia lain yang datang dan kami tidak bisa membantu mereka untuk membongkar makanan dan peralatan lainnya.

            Akhirnya ada satu dua orang panitia yang datang.  Itu pun waktu sudah menunjukkan setengah empat. Walau pun kesal, tapi aku sedikit lega juga karena akhirnya bisa keluar dari mobil.

            “Udah lama nunggu??” Tanya salah seorang dari mereka dengan wajah tanpa merasa bersalah.

            “Engga, baru dua jam..!” Kataku dengan sedikit ketus.

            Ketika semua makanan sudah tersaji, dan tempat pun sudah kami siapkan untuk acara arisan yang dijadwalkan jam 14:00 itu, ternyata masih saja belum ada yang datang.

            Akhirnya kami meminta ijin kepada panitia yang lain untuk sholat Ashar dahulu.

            Sepulang dari sholat Ashar, yang menghabiskan waktu kira- kira lima belas menit itu, ternyata masih belum ada yang datang.

            Kami masih harus menunggu.

            Dan akhirnya, para teman- teman peserta arisan mulai berdatangan jam empat sore. Padahal jelas- jelas acara arisan hari itu dijadwalkan pada jam dua siang. Molor dua jam. Tanpa rasa bersalah sedikit pun.

            Telatnya super kompak.

            Yang lebih parah, bahkan ada peserta yang datang jam lima!

            Ketika aku komplain kepada beberapa orang di antara mereka, jawaban dari mereka adalah kalimat sakti itu:

            “Kamu tuh kaya ngga tau orang Indonesia aaajjaa..!”

             

Déjà vu Galau

Déjà vu Galau

 “Suasana hati seringkali mempengaruhi kesehatan badan kita

Oleh: Diday Tea

            Entah kenapa, walau pun hari itu sangat melelahkan bagiku, karena aku harus menangani pekerjaan teman- temanku yang sedang cuti lebaran, tiba- tiba aku ingin sekali pergi ke warnet.

Saking sibuknya, hampir satu minggu aku tidak sempat melihat isi inbox-ku.

            Ketika melihat angka yang tertera di dalam surat penawaran kerja (job offer) yang baru saja kubuka dari email, otakku secara otomatis langsung merubahnya ke dalam rupiah.

            Aku langsung tersungkur bersujud syukur di atas lantai warnet itu. Entah berapa lama aku bersimpuh. Entah berapa kali bibirku bergetar beryukur kepada Yang Maha Kaya di antara tangis kebahagiaanku saat itu. Mimpiku yang nyaris mustahil, akhirnya menjadi kenyataan.

Aku akan bekerja di luar negeri!

Kemudian, tanpa ragu dan tanpa berpikir panjang lagi, segera saja kububuhkan tanda tanganku di atas surat penawaran kerja itu. Bagaimana tidak, gaji yang akan kuterima itu hampir sama, bahkan mungkin lebih besar dari General Manager di tempatku bekerja. Belum lagi fasilitas dan embel- embel penghasilan lain yang akan kuterima. Sesuatu banget lah, kalau dibandingkan dengan gajiku saat itu.

            Tanpa kutunda- tunda, seketika itu juga aku kirimkan kembali surat yang sudah ditandatangani tersebut kepada agen penyalur tenaga kerja yang sudah mengurus proses perekrutan sejak awal.

            Keluar dari warnet, tubuh kurusku yang tadinya kelelahan luar biasa, tiba- tiba terasa enteng. Kakiku yang tadinya terasa sungguh berat walaupun sekedar untuk dibawa turun dari atas mobil jemputan, tiba- tiba terasa sangat sangat ringan.

            Wajahku yang tadinya kusam, kucel, kumal, dan kuleuheu (bahasa Sunda, digunakan untuk mendefinisikan wajah yang dekil), langsung terlihat bersih dan bersinar, dihiasi dengan senyuman ceria, seperti pelang terbalik yang terbit setelah hujan lebat. Kalau ini sih, karena memang sebelum keluar, aku cuci muka dulu dengan sabun pembersih wajah. Hehehe.

            Pokoknya, hari- hari setelah kuterima surat itu, kujalani hidupku dengan penuh keceriaan dan kegembiraan.

            Senyum super lebar, selalu menghiasi wajahku.

            Tapi semua itu hanya bertahan beberapa minggu saja.

            Beberapa hari setelah aku kirim surat penawaran yang sudah kutandatangani, ada balasan dari agen, yang menyebutkan bahwa aku tinggal menunggu visa. Setelah visa sudah jadi, baru mereka akan mengirimkan tiket penerbangan dari Jakarta ke Doha.

            Setelah lebih dari sebulan menunggu, ternyata visa yang kutunggu itu tidak kunjung datang. Hampir setiap hari kuhabiskan puluhan ribu rupiah di warnet, hanya untuk memeriksa email- email yang datang.

            Hatiku mulai galau.

            “Jangan- jangan ngga jadi nih!”

            Hatiku yang sedang galau dalam penantian itu menjadi lebih galau, ketika aku mendengar desas- desus bahwa ada beberapa kasus yang sama. Orang yang sudah menerima job offer ternyata belum tentu seratus persen akan direkrut.

            “Waddduuh…gaawwwwaat nih!”

            Sejak kudengar kabar seperti itu badanku langsung lemas dan lunglai. Bagaimana tidak, aku membayangkan bagaimana kelanjutan hidupku jika sampai aku tidak jadi pergi ke Qatar.

            Hutangku ke Bank sudah menumpuk, kuliahku sudah tidak terbayar, usahaku pun sudah kembang kempis.

            Hari- hariku yang tadinya penuh kegembiraan dan keceriaan, berubah drastis menjadi hari- hari galau. Hari- hari murung di dalam penantian yang tidak jelas.

            Selera makanku mulai hilang. Mungkin, sebulan sejak masa penantian itu, aku hanya makan sekali dalam satu hari. Itu pun aku harus memaksakan diri, karena takut terjadi apa- apa pada kesehatan tubuhku.

            Dan akhirnya ,yang kutakutkan pun terjadi.

            Aku jatuh sakit.

            Penyakit maagku yang tadinya kusangka sudah sembuh total, kali ini kambuh lagi.

            Hampir setiap hari penyakit itu kambuh. Telat makan sedikit saja, rasa pedih di lambungku langsung menyerang hebat.

            Pada puncaknya, aku tidak kuat lagi dan harus berobat ke klinik berkali- kali ketika maagku kambuh. Dokter di klinik itu akhirnya membuat surat rujukan agar aku dirawat saja di rumah sakit, agar penyembuhannya optimal. Dia beralasan, dengan kondisiku yang tinggal sebatang kara di rumah kontrakan, pasti aku tidak akan bisa makan teratur. Tidak ada yang mengingatkanku untuk minum obat.

Dan akhirnya aku pun harus merelakan tubuhku terbaring lemah di rumah sakit. Dan untuk pertama kalinya seumur hidup, akhirnya aku merasakan juga jarum infus menusuk urat di tanganku.

Ternyata diinfus itu tidak enak dan sakit.

            Tapi sampai sekarang keluargaku tidak pernah tahu, bahwa aku pernah dirawat gara- gara penyakit maag akut. Aku sengaja tidak memberitahu mereka, agar mereka tidak khawatir.

            Hampir semua tetanggaku dan teman- teman kerjaku yang datang menengok mengetahui bahwa penyebab aku sakit itu adalah karena aku terlalu memikirkan masalah visa kerjaku yang tidak kunjung datang.

            Mereka semua menenangkan dan menyemangatiku untuk tidak terlalu memikirkan visa itu, karena toh nanti juga akan datang. Dan kasus pada orang- orang yang sudah menerima job offer, tapi akhirnya tidak jadi direkrut pun, itu hanya terjadi pada beberapa orang, tidak terlalu banyak terjadi.

            Setelah tujuh hari dirawat, dokter spesialis penyakit dalam di rumah sakit itu akhirnya memperbolehkan aku untuk pulang.

            Walau pun hatiku masih galau, tapi Alhamdulillah kondisi maagku sudah mulai membaik.

            Yang menyemangatiku waktu itu adalah keinginanku untuk sehat kembali, dan ketakutanku jika ternyata ketika visa sudah kuterima, dan aku malah tidak jadi berangkat karena penyakit ini.

            Karena setelah keluar dari rumah sakit, ada isu baru.

            Isu bahwa ada beberapa kasus juga, orang  yang sudah menerima visa, dan sudah menginjakkan kaki di Qatar, ternyata dipulangkan lagi karena alasan kesehatan. Katanya sih  rumah sakit di Qatar jauh lebih canggih, sehingga bisa mendeteksi penyakit yang tidak dapat terdeteksi oleh  rumah sakit/klinik kesehatan di Indonesia.

            Aku berusaha untuk hidup “normal”, kembali kepada rutinitas pekerjaan dan kehidupanku sebelum menerima job offer itu. Walau pun tentunya aku masih berharap dan menunggu visa kerja itu datang. Karena pada waktu itu, hanya itulah harapanku satu- satunya agar bisa “bertahan hidup”.

            Aku ke warnet mungkin hanya satu minggu sekali, itu pun jika aku ada waktu dan tidak harus bekerja lembur di akhir minggu.

            Tepat sebulan aku keluar dari rumah sakit, aku sudah bisa menjalani hidupku seperti biasa lagi. Tapi pikiran dan penantianku kepada visa kerjaku masih saja membebani pikiranku, walau pun tidak separah sebelum aku dirawat.

             Aku sudah mulai datang lagi ke kampus.

            Aku sudah mulai berjualan pin dan bros Islami lagi ke toko- toko buku di Cilegon.

            Seminggu kemudian, aku akhirnya pergi ke warnet. Itu pun karena berniat untuk membuat laporan keuangan usahaku dan mengirimkan email ke supllier, untuk memesan barang jualanku.

            Sama sekali tidak ada niat untuk melihat apakah visaku sudah jadi atau belum. Dan lagian,  kulihat ada ratusan unread messages di dalam inboxku.

            Subhanalloh, ternyata tak kuduga dan kusangka- sangka, di antara ratusan email yang kubaca, ada terselip satu email dari agen penyalur tenaga kerja itu.

            “Visa”, hanya satu kata yang menjadi judul email tersebut.

            Alhamdulillah, dan ternyata benar saja, visa yang sudah lama kunanti itu akhirnya tiba juga!

            Selama beberapa menit, hampir tak berkedip mataku memandangi gambar scan copy dari secarik kertas yang berbahasa Arab itu. Hanya namaku saja yang tertera di dalam huruf latin.

            Seperti Déjà vu, keceriaan dan kegembiraan yang kurasakan ketika melihat job offer  itu terulang kembali.

            Aku bersimpuh sujud syukur lagi kepada Allah Yang Maha Kaya. Air mataku mengalir deras di antara kedua bibirku yang tak henti- henti bertasbih dan bersyukur. Bersyukur karena penantian yang sebenarnya akhirnya berakhir juga. Bersyukur karena akhirnya aku akan bisa menggapai mimpi- mimpi dan rencana- rencana terbesar di dalam hidupku.

            Malam itu juga aku langsung membuat surat pengunduran diri. Sambil tersenyum- senyum sendiri, dan celingak- celinguk salting di dalam petak kecil warnet itu, kurancang surat perpisahan yang pasti akan mengejutkan semua orang di tempat kerjaku besok.

            Hujan gerimis menyambut aku yang  keluar dari warnet dengan perasaan seperti bintang iklan obat flu dan pilek. Orang yang bisa bernapas lega karena terbebas dari lilitan kencang tambang di sekujur tubuhnya dan menyisakan hanya kelegaan dan kesegaran yang luar biasa. Gerahnya kota Cilegon, kali ini hilang disapu oleh kesejukan sang gerimis.

            Dan tidak pake lama juga, besoknya aku membuat geger di departemenku, karena mengajukan surat pengunduran diri, tepat sehari setelah departemen kami mengadakan acara selamat datang untuk karyawan baru. Hehehe.

            Dua bulan kemudian , akhirnya aku bisa menginjakkan kaki di Qatar dan bekerja dengan tenang, bahagia, ceria, dan damai di tempatku bekerja sekarang.

            Alhamdulillah, sampai sekarang aku tidak pernah lagi mengalami sakit yang disebabkan oleh karena berlarut- larut memikirkan suatu masalah. Paling banter pilek atau sakit leher karena salah posisi tidur saja.

Haahh….leganyaaa…!