Menghargai Keringat


“Tetesan keringat dan kucuran peluh yang keluar dari hasil jerih payahseorang ayah atau suami ketika mencari nafkah untuk anak dan istrinya, bisa jadi bernilai syurga karena itu dihitung sebagai sedekah”


Sudah jadi peraturan dan keinginan dasar di dalam hukum ekonomi untuk meraih keuntungan sebesar- besarnya dengan modal yang sekecil- kecilnya.

Prinsip ini juga yang aku lakukan ketika aku masih tinggal dan bekerja di Cilegon.

Sewaktu aku masih membanting- banting tulang dan memeras- meras keringat di Cilegon, aku menjalani berbagai peran. Seorang karyawan swasta, seorang mahasiswa juga, dan seorang pedagang juga.

Peran pedagang, aku jalani sebagai kebutuhan, untuk menggeser kesetimbangan keuanganku ke arah kanan, demi untuk menambal kekurangan biaya kuliah. Peran ini juga aku jalani sebagai pemenuhan naluri dan insting berdagangku yang sudah muncul sejak masih bersekolah. Hampir setiap mudik dari Bandung, aku selalu membawa barang dagangan.

Dari buku, VCD ceramah atau nasyid, bahkan baju- baju distro yang baru ngetrend di Bandung sampai jagung pop dalam kemasan, serta deterjen tanpa busa pun tak luput menjadi komoditas daganganku juga.

Di tahun terakhir, sebelum aku berangkat ke Qatar, aku “menemukan” barang dagangan baru yang untungnya jauh lebih besar dibanding komoditas yang biasanya aku jual.

Awalnya sih hanya iseng, ketika aku bersama Ibuku berjalan- jalan ke daerah Cibadak. Di sana banyak toko grosir aksesoris untuk wanita, seperti bros, pin, jepit rambut dan lain lain. Di salah satu toko, ada yang menawarkan bros untuk para jilbaber. Bentuknya lucu- lucu, dari yang berbentuk Kaligrafi, atau tokoh kartun yang berjilbab, atau hanya sekedar rangkaian kata- kata bernuansa Islami.

Waktu itu aku langsung memborong beberapa lusin bros yang sudah dikemas rapi secara satuan.

Di luar dugaan, ternyata hampir semua bros- bros ini ludes tak bersisa hanya dalam waktu kurang dari satu minggu. Itu pun pembelinya baru teman- teman kerja, teman kuliah  dan anak- anak tetanggaku.

Ternyata insting aku tepat. Di daerah Cilegon Serang, bros- bros Islami itu ternyata masih sangat jarang. Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, aku membeli bros itu dalam bentuk curah. Satu kantung plastik besar berisi ratusan bros berbagai macam bahan dan jenis.

Kendalanya adalah aku harus mengemas satu per satu setiap bros itu dengan plastik bening. Berjam- jam aku habiskan  untuk mengemas bros itu satu – persatu. Ditambah dengan waktu yang kuhabiskan juga untuk membuat proposal kerjasama dengan toko buku, malam itu aku hampir
tidak tidur sama sekali.

Dan aku juga harus membeli sendiri semacam rak pajang, yang bisa memuat puluhan bros, untuk “display” barang di toko-toko yang rencananya nantinya akan aku ajak kerja sama.

Dengan membeli secara curah langsung dari pembuatnya, untung yang kudapat dari setiap keping bros jauh lebih besar dibandingkan dengan ketika aku harus membeli secara lusinan, apalagi satuan.

Dengan harga beli yang bermacam- macam, aku membuat satu harga untuk semua bros yang aku jual, waktu itu harga satu bros adalah tiga ribu lima ratus rupiah.

Di daerah Cilegon-Serang, setidaknya ada lima toko buku yang aku datangi, dua di Cilegon, dan dua di Serang.

Dengan waktu kerja aku yang shift, dan jadwal kuliah yang lumayan padat, waktu luang aku pada waktu itu hanya tengah hari saja, antara waktu Zhuhur dan Ashar.

Selepas shalat Zhuhur, aku bergegas melangkahkan kaki dari rumah dengan membawa dua rak pajangan yang penuh berisi bros yang sudah siap tayang. Tas punggung kesayanganku yang penuh dengan bros, dan bertambah berat karena berisi buku- buku kuliah dan seragam kerja, tanpa lupa kuajak menemani. Waktu itu aku berniat untuk menawarkan kerjasama dengan toko- toko buku di Serang, agar mereka mau dititipi bros- bros jualanku.

Seperti daerah pesisir laut pada umumnya, cuaca Cilegon- Serang sangat lembab dan panas. Dan kondisi itu sangat menyiksa orang- orang yang terbiasa hidup di iklim sejuk seperti Bandung. Aku termasuk orang yang sangat sulit untuk berkeringat, tapi baru beberapa menit saja berjalan
menuju tempat menunggu angkot, keringat sudah mengucur deras di pelipis kanan dan kiri aku.

Di dalam angkot, semua orang di dalam sana melihat barang bawaanku dengan penasaran.

Bahkan ada beberapa anak sekolah yang langsung ingin membeli pada saat itu juga.

“Lumayan, baru juga keluar rumah, sudah ada yang membeli nih..!”

Untuk pergi ke Serang, seturun dari angkot, aku masih harus menumpang bus antar kota ke terminal Serang. Dan untuk mencapai toko buku yang aku ingin ajak kerjasama itu, aku masih harus naik angkot lagi.

Perjalanan waktu itu memang penuh tantangan dan perjuangan. Sudah mah ribet dengan rak pajangan bros, tas yang berat, aku masih harus berjuang dengan rasa gerah dan mengusap peluh yang semakin deras mengucur ketika aku harus berjalan di tengah hari bolong.

Bus AC yang biasa kunaiki pun ternyata tidak ada yang kosong, karena jam segitu memang jamnya anak sekolah bubaran dan mahasiswa pergi kuliah ke Serang dari Cilegon. Sehingga dengan sangat terpaksa aku harus menaiki bus yang sudah sesak penuh dengan penumpang. Tidak ada
pilihan lain, karena aku harus mengejar kuliah di sore harinya. Setelah hampir satu jam aku berdiri di dalam bis itu.

Tapi,  setiap tetes kucuran keringatku terbayar lunas, bahkan sebelum kering di pelipisku, ketika semua pemilik toko buku di Serang yang kuajak kerja sama terkesan dengan proposal kerjasama yang kubuat. Aku buat proposal kerjasama dengan mereka secara konsinyasi, dan diskon yang lumayan besar. Artinya, mereka tidak usah membeli dulu brosnya. Mereka hanya akan membayar produk yang laku saja. Dan mereka bersedia untuk menjalin kerjasama untuk menjual produk- produk bros yang kubawa.

Dan sesuai perjanjian pula, setiap awal bulan aku akan mengumpulkan uang hasil penjualan. Serta, tiap dua minggu aku akan memperbaharui produk yang didisplay di toko dengan yang produk- produk yang terbaru.

Alhamdulillah, untung dari berjualan bros ini sangat bisa menolongku untuk bisa membiayai kuliahku selama beberapa bulan.

Aku pernah mendengar dari seorang ustadz, kalau ternyata tetesan keringat dan kucuran peluh yang keluar dari hasil jerih payah seorang ayah atau suami ketika mencari nafkah untuk keluarganya, bisa jadi bernilai syurga karena itu dihitung sebagai sedekah.

Keringat itu juga yang membuat aku tanpa berpikir panjang lagi untuk membeli ensiklopedia yang ditawarkan oleh seorang pemuda yang bersimbah peluh dan keringat di parkiran sebuah  supermarket di Doha.

Aku bukan membeli ensiklopedianya, karena sejujurnya aku tidak terlalu
memerlukannya. Tapi aku ingin menghargai keringat hasil dan perjuangan usaha si pemuda ini untuk menghampiri hampir setiap mobil yang baru parkir. Sebelum dia menghampiri, aku sudah mengamatinya lumayan lama. Di tengah teriknya cuaca panas dan lembab, dia pantang menyerah dan tak kenal lelah, dan masih tabah menawarkan menerangkan produk ensiklopedia tersebut. Walau pun ada beberapa pemilik mobil yang sama sekali tidak menghiraukannya.

Aku tahu sekali bagaimana rasanya jerih payah “menukar” tetesan keringat dengan selembar uang untuk sekedar menyambung hidup di hari itu.

Doha, 12 Oktober 2012

Iklan

2 pemikiran pada “Menghargai Keringat

  1. Hello! I’ve been following your web site for a while now and finally got the bravery to go ahead and give you a shout out from Atascocita Texas! Just wanted to mention keep up the great work!

  2. Howdy! This article could not be written much better!

    Going through this post reminds me of my previous
    roommate! He continually kept talking about this.
    I most certainly will send this article to him. Pretty
    sure he’ll have a good read. Thank you for sharing!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s