Oleh: Diday Tea
Beberapa hari ini di dunia maya sedang viral tentang kelucuan netizen Indonesia yang membuat parodi status yang berhubungan dengan film Crazy Rich Asian, dengan tagar #crazyrichsurabayan dan #crazyrichkalimantan.
Tulisan ini kurang lebih berkaitan dengan orang kaya, walau pun tidak sekaya tokoh di dalam film itu, apalagi salah satu #crazyrichkalimantan yang dari gerbang depan sampai ke pintu utama rumahnya saja perlu waktu lima belas menit naik mobil, atau yang jalan-jalan ke depan kompleks memakai helikopter.
Di Doha, Qatar, tempat saya tinggal periode antara Juni sampai Oktober adalah musim panas.
Suhu di tengah hari bolong bisa mencapai hampir lima puluh derajat Celcius.
Orang-orang yang bekerja di dalam ruangan seperti saya sangatlah beruntung, tidak harus berjuang menghadapi panas yang sangat menyengat itu. Hanya pada momen-momen tertentu saja harus berkontak langsung dengan sang musim panas yang masih saja menakutkan. Even for orang like me yang sudah almost sebelas tahun working di daerah Middle East yang which is seharusnya sudah biasa dong, tapi still very difficult banget untuk adjusting myself to the summer yang sangat panas dan torturing banget. Aduh maaf, saya agak sedikit terpengaruh dengan #bahasaanakjaksel.
Di bulan September seperti sekarang ada bonus yang datang mengiringi suhu yang sangat panas itu. Kelembapan udara yang sangat tinggi.
Sehingga, efek panasnya akan berganda. Ya panas, ya lembap.
Rasanya seperti anda ditiup oleh hair dryer, lalu membuka Rice Cooker yang uapnya langsung membelai panas wajah dan leher anda. Kurang lebih seperti itu. Seperti setiap saat anda akan merasa menjadi bolu kukus atau kue putu. Perawatan dan pemutihan kulit semahal apa pun tidak akan berguna. Karena kulit saya memang berwarna sawo terlalu matang yang jatuh dari pohon tetangga. Coklat Tua.
Periode musim panas seperti ini memang tidak lama, tapi sangat “bermakna”.
Sampai-sampai kami orang Indonesia yang bekerja di Qatar punya peribahasa sendiri: “Winter setahun terhapus oleh Summer Empat Bulan”.
Agak sedikit maksa sih, tapi itu memang sangat mewakili tantangan yang harus kami hadapi yang bekerja di tengah gurun.
Salah satu waktu ketika saya harus menghadapi suasana seperti itu adalah ketika berangkat Sholat Jumát.
Demi mendapatkan keutamaan datang awal waktu di awal Sholat Jumát, saya selalu mengusahakan datang setengah jam sebelum waktu Zhuhur. Selain keutamaan pahala, saya juga sejujurnya mengincar tempat parkir yang dekat mesjid. Karena ada atapnya. Sehingga mobil tidak akan terasa terlalu panas. Karena walaupun bermesin 5.7 Liter, tetap saja kalau diparkir di bawah sinar matahari langsung, pendingin mobil tetap memerlukan waktu yang lumayan lama untuk bisa menurunkan suhu agar sedingin kantor bank di Indonesia.
Tetapi, setiap saya datang bersama si sulung, baris pertama hampir selalu terisi pernuh, dan tempat parkir di dekat mesjid yang ada atapnya itu juga sudah penuh terisi.
Baris pertama sudah hampir penuh oleh beberapa pria setengah baya dan dewasa berumur 40-50an. Ada beberapa yang sepertinya berusia lanjut tapi terlihat masih segar dan mereka seperti sudah janjian sebelumnya. Selalu mengisi tempat yang sama. Baris pertama pojok kiri.
“Jam berapa mereka datangnya ya?” Tanyaku pada si sulung,
“Mungkin mereka datang earlier than us Pih, which is maybe much more lebih cepet dari half an hour” Jawabnya dengan #bahasaanakjaksel yang sedang sangat happening di dunia maya itu.
Ya wajar sih, soalnya sejak TK enol besar dia sudah bersekolah di sini, yang bahasa pengantarnya bukan Bahasa Indonesia apalagi bahasa Sunda seperti orangtuanya.
“Oke A, kita coba datang earlier next Friday!” Kataku dengan semangat.
Jumát depannya, saya dan si sulung datang empat puluh lima menit sebelum Zhuhur.
Eh, ternyata, masih seperti itu juga. Parkiran penuh dan shaf pertama hampir penuh.
Tapi hari itu kami beruntung. Kami bisa duduk di shaf pertama.
Ketika saya dan si sulung baru saja selasai shalat tahiyyatul mesjid, tiba- tiba tercium khas parfum Arab Oud yang wanginya mengalahkan parfum biasa-biasa saja yang aku dan si sulung pakai.
Sesosok pria dewasa, berumur pertengahan empat puluhan berdiri sholat di sebelahku dengan pakaian khas berwarna putih dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Mungkin tinggi badannya sekitar 185 centimeter. Ya tipikal sosok orang Arab pada umumnya deh, yang pasti kalau dibandingkan langsung dengan saya jauh sekali bagaikan bumi dan Galaxy Andromeda. Jauh banget.
Ketika tahiyyat akhir, tak sengaja mataku tertuju kepada jam tangan yang melekat di tangannya.
Jelas dong, seperti yang saya duga sebelumnya kalau dia adalah orang yang berada, merek jamnya bukan semahal Richard Mille sih, atau Q & Q (euh maaf, kalau ini jam seratus ribuan sejuta umat zaman saya masih berseragam Putih-Abu), tapi yang pasti tidak akan terbeli oleh saya walaupun ada uangnya. Jamnya Rolex. Yang jelas dia dan teman-temannya yang satu rombongan itu jauh lebih kaya dari saya deh. Karena saya jamnya masih sekelas Casio atau Suunto. Itu pun jarang dipakai.
Ternyata si bapak ini satu rombongan dengan bapak-bapak yang lain, adalah penghuni baris pertama pojok kiri di kala sholat Jumát itu. Mungkin hari itu dia ada urusan atau sesuatu yang menyebabkan saya dan si sulung bisa mengisi tempatnya.
Ternyata lagi, mobil-mobil yang selalu memenuhi tempat paling nyaman dan damai di parkiran di mesjid itu adalah kebanyakan mobil mereka itu.
Mobilnya apa dong?
Ini bagian yang paling keren. Di area parkiran yang paling dekat dengan mesjid itu selalu ada sekelompok mobil yang parkir, dan itu-itu saja.
Tidak ada satu pun mobil- mobil itu yang mobil biasa. Dari 10 mobil, 4 di antaranya adalah Lexus LX570 yang kalau di Indonesia harganya sekitar 3 Milyar Rupiah. Sisanya? Tentunya bukan mobil LGCC, tapi BMW X6 dan Toyota Land Cruiser yang plastik pembalut jok tempat duduknya belum dibuka sama sekali. Entah karena masih baru, atau entah setiap tahun mereka membeli mobil baru. Karena setiap saya lihat dari dekat, kondisinya mobil-mobil itu masih saja bening dan kinclong.
Entah mereka datang jam berapa, karena ketika saya datang satu jam sebelum waktu Zhuhur pun, mobil-mobil itu sudah parkir dengan tenang dan para pemiliknya sudah sibuk dengan Al Qurán di baris pertama.
Tetiba saya teringat kepada hadits tentang dua orang yang layak kita cemburui:
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816).
Maksud “iri/cemburu” dalam hadits ini adalah iri yang benar dan tidak tercela, yaitu al-gibthah, yang artinya menginginkan nikmat yang Allah berikan kepada orang lain tanpa mengharapkan hilangnya nikmat itu dari orang tersebut. (Hadits dan keterangan saya kutip dari www.rumaysho.com)
Kita wajib iri kepada orang- orang seperti ini, orang kaya dan sholeh.
Kejadian itu selalu memotivasi saya jika sedang malas beribadah. Orang-orang kaya yang sholeh itu sangat konsisten menjadi penghuni baris pertama.
Kalau kita malas beribadah, tidak sekaya mereka tapi tidak serajin mereka beribadah, ya apa lagi dong yang mau dibanggakan?
Apa lagi yang bisa kita tukar dengan pahala atau syurga?
Bisa jadi itu adalah bentuk kesombongan kita dan kemalasan yang sudah stadium akhir.
Mari kita jangan pernah melewatkan doá agar kita diberi rejeki dan umur oleh Allah untuk menjadi orang kaya yang sholeh.
Karena insyaallah dengan kondisi seperti itu kita akan menjadi manusia yang lebih bermanfaat untuk orang lain.
Seperti kata ustadz Abu Syauqi, pendiri Rumah Zakat-semoga Allah merahmati dan menyayangi beliau-: “Harta halal yang banyak akan terasa manfaatnya untuk umat Islam, jika berada di tangan orang yang sholeh”.
Doha, 18 September 2018
Twitter: @didaytea
IG: didaytea
FB: Oase Kehidupan Dari Padang Pasir