Musim panas baru tiba di Qatar beberapa minggu, tapi tantangan terbesar selain suhu udara yang tinggi sudah datang.
Beberapa hari ini, kelembapan tinggi sudah menerpa negara mungil tempat saya tinggal. Tadinya sih kelembapan tinggi ini hanya datang ketika malam datang sampai pagi hari.
Tapi subuh tadi, selama saya mengayunkan kaki dari rumah ke mesjid yang berjarak hanya sekitar seratus meter, tubuh sudah kepayahan. Kombinasi suhu yang panas dan kelembapan yang tinggi membuat sulit bernafas.
Kalau di Indonesia, sepanas apa pun udara di siang hari, kalau tengah malam pasti tetap akan dingin. Tapi di tengah gurun, panasnya hampir sama sepanjang hari. Cuaca yang agak enak dan nyaman di musim panas paling hanya menjelang subuh sampai terbitnya matahari.
Ilustrasi yang paling tepat untuk kondisi cuaca di Qatar kalau kelembapan tinggi sudah datang, yaa tidak jauh berbeda dengan sauna.
Karena stok dapur di rumah sudah menipis, jadi kami sekeluarga nekat pergi ke supermarket selepas sholat Ashar. Dan benar saja, dari pintu rumah ke parkiran pun, nafas kami sudah kepayahan. Udara yang kami hirup terasa sangat berat, membebani dada.
Ya, itulah salah satu “kelebihan” tinggal di tengah gurun pasir.
Perubahan iklim yang ekstrem.
Tapi…
Ketika kami tiba di rumah menjelang magrib, dan sehabis berbuka dengan beberapa butir kurma Mabroom (salah satu jenis kurma yang besar, dagingnya legit sekali, dan tidak terlalu manis), rasa penat dan lelah, sesak dan beratnya dada kami ketika menghirup nafas, perasaan seperti terbakar di muka oleh teriknya sinar matahari empat puluh lima derajat Celcius langsung hilang.
Langsung hilang ketika kami sedang membongkar rendang, ikan bakar, ayam panggang, cuankie, dan mie ayam bakso yang kami beli sebelum pulang ke rumah.
Alhamdulillah!
Doha, 15072013 20:09