Gravity

Satu jam lebih Gravity cuma nyeritain usaha survival Neng Sandra Bullock di ISS, Soyuz sama Tiangong sampe nyemplung di danau. But how was it became so great?

1. It happened in space. Dark and narrow is one of the biggest fear for a human being. We Feel her at once.
2. She’s alone. Everyone’s affraid of being alone.
3. She lost someone. Twice.
4. She survived. Yaay..!
5. The Blue Earth View, The Earth Surface, The Sun flare, The Space Stations. UltraRealisticCGI(Washington Post).
6. Most of the people doesnt care about the science mistakes.
7. The Movie is so very simple but yet amazing.

Resensi pendek by @didaytea

CINTA DERITA

Oleh: Diday Tea

 

Cinta itu jorok. Datang kapan saja, di mana saja, dan sering jatuh tiba-tiba.

Sekolahku berseberangan dengan SMK Kejuruan jurusan per-Tata-an. Tata Boga dan Tata Busana, dan Tatabeuhan (Seni Tari). Walau pun di sekolahku memang lebih banyak perempuan dibanding laki- laki, tetap saja ketika sepulang sekolah, tetap saja jantung ini agak sedikit berdebar melihat ratusan siswi SMK itu keluar dari gerbang sekolah sebelah bersama- sama.

Walau pun tak bisa kulihat satu persatu wajah mereka, tetap saja secara otomatis mataku hanya tertuju kepada mereka yang memakai jilbab. Ya karena seperti itulah aku bertekad  memilih calon istri.

Jilbab mereka saja sudah seperti berkilauan tertimpa oleh cahaya matahari di tengah hari bolong, apalagi ditambah oleh wajah- wajah ayu nan segar yang terbalut oleh jilbab- jilbab putih itu.

Secara, di sekolahku hanya ada sekitar tiga puluh orang dalam satu kelas. Dan satu angkatan pun hanya ada dua kelas. Di dalam kelas yang sudah sedikit orang itu pun, kami kaum lelaki menjadi kaum minoritas, hanya sepertiganya.

Tapi sekolah sebelah itu, ada beberapa jurusan. Dan satu angkatan bisa memiliki sembilan kelas. Dan satu kelas bisa berisi empat puluhan siswa yang kebanyakan siswi.

Bayangkan saja, bagaimana perasaan kami remaja laki- laki yang sedang puber- pubernya yang sudah merupakan makhluk langka di sekolah, hanya sepertiganya kaum wanita, jika melihat lawan jenis sebaya dengan kami sebanyak itu.

Dan itu terjadi hampir setiap hari.

Tapi..di antara ratusan wajah yang hampir setiap hari kulihat, ada satu yang menarik perhatianku.

Jantungku berdegup lebih kencang ketika melihatnya.

Dia tidak cantik luar biasa seperti siswi primadona di sekolahku, yang jadi rebutan laki- laki hampir di semua angkatan. Dia tidak putih-kurus-tinggi-langsing, seperti kecantikan yang digambarkan oleh iklan- iklan di televisi, seolah- olah jika wanita tidak seperti itu  adalah wanita yang tidak cantik.

Tingginya hampir sama denganku. Tapi dia terlihat jauh lebih kecil. Mungkin karena dia terlalu kurus. Wajahnya tidak terlalu putih merona seperti iklan pemutih wajah yang muncul hampir setiap ada jeda iklan di acara sinetron itu. Atau putih mengkilat seperti model iklan pemutih dari Jepang yang menggunakan model yang sebenarnya sudah putih dari orok.

Penipuan.

Tubuhnya pun tidak putih semampai seperti model- model yang sering muncul di majalah.

Ada yang membedakan dia dari ratusan siswa perempuan yang kulihat hampir setiap hari.

Ada tahi lalat kecil di tengah pipi kirinya yang sedikit Chubby (padahal dia kurus ya?).

Ah, entah kenapa, tahi lalat ini yang menjadi POI (Point of Interest).

Dalam seminggu, paling sering aku melihat dia hari Kamis dan Sabtu. Hari di mana jadwal sekolahku seperti sekolah lain, sampai jam satu atau setengah dua siang. Karena di hari- hari yang lain, paling cepat kami bisa keluar dengan selamat walau pun penuh peluh dan lelah tak tertahan dari gerbang sekolah hampir jam setengah lima sore.

Beberapa bulan dari pertama kali melihatnya, aku tidak pernah tahu namanya siapa rumahnya di mana, dia naik angkot apa ke jurusan mana.

Aku sih berpikir,mungkin dia pulang ke arah yang berlawanan.

Pada suatu hari, di tengah rintik gerimis di bulan Mei, aku bisa pulang lebih awal. Hari itu ada ujian praktek, dan aku sangat beruntung. Aku kebagian jatah tugas ujian praktek yang sangat mudah, sehingga ujian bisa kuselesaikan kurang dari satu jam.

Aku memutuskan untuk pulang.

Biasanya sih, aku naik bis kota dari sekolahku. Memang sih, ongkosnya jauh lebih murah. Tapi resiko berdesak- desakan dan terpapar dengan berbagai aroma keringat dari berbagai profesi dan juga berbagai tingkatan umur sangat besar. Aku harus langsung berganti seragam di keesokan harinya.

Ketika betisku sudah terasa panas karena terlalu lama berdiri, tiba- tiba di seberang jalan ada sosok tubuh berseragam abu- abu sedang berjalan seorang diri dari dalam gerbang sekolah sebelah.

Pucuk dicinta ulam tiba.

Mataku tak bisa berkedip menapaki langkah demi langkah gemulainya. Sebenarnya sih dia tidak gemulai- gemulai amat, malah cenderung gontai. Aku sempat tidak percaya sih, tapi setelah dia betul- betul menyeberangi dua jalur jalan aspal yang sangat lebar di depan sekolah kami itu, barulah aku yakin bahwa dia adalah si dia.

Aku kenal betul tahi lalat di pipi kiri itu.

Ternyata dia satu arah denganku!”

            Entah apa yang dia tunggu, angkot atau bis.

Tapi aku sudah bertekad, aku akan naik juga bersama dia, apa pun itu, dan ke jurusan mana pun. Dia berdiri kira- kira sepuluh meter di sebelah kananku. Jadi angkot atau bis yang akan dia naiki masih bisa kukejar.

Aku harus bisa kenalan!”

Ternyata dia memegat (memberhentikan) angkot berwarna hijau muda sedikit kekuningan, jurusan Gedebage- Stasiun Hall.

Aseekkk…Ini kesempatan emas!” Gumamku dalam hati, mensyukuri kondisi yang mempertemukan kami berdua di dalam satu angkot.

Segera kukejar angkot berwarna hijau muda -bukan-koneng-engga itu, dan sukses duduk di sebelah bapak supir angkot yang sama sekali tidak kelihatan seperti bapak- bapak, karena dia tidak berkumis.

Walau pun aku di sebalah supir dan dia di belakang, tapi sesekali bisa kulirikkan mataku membidik wajahnya yang manis dan tahi lalat yang seolah menari di atas pipi kanannya itu.

“Kiri..!” Tiba- tiba suaranya yang ternyata sangat lembut terdengar memecah kesunyian dan keasyikanku memandang wajahnya.

Aku sempat tertegun dan melihat sekeliling.

Dasar! Saking khusyunya melirik si Dia , sampai lupa ada di mana.

Ternyata dia memberhentikan angkot itu di perempatan Buah-batu.

Dengan cepat otakku bekerja, dan memerintahkan tanganku yang sigap langsung merogoh saku, dan memberikan ongkos untuk dua orang kepada si supir angkot.

“Dua Pa, saya sama si teteh yang lagi turun” Kataku sambil mengulurkan empat lembar uang ribuan.

Ketika dia hendak menyodorkan tangannya untuk membayar, aku membuka pintu sambil turun, dan berusaha sedikit menghalanginya sambil berkata:

“Sudah dari saya Teh!”

Sekilas terlihat bordiran nama di atas jilbabnya yang terurai menutupi dadanya: Cinta.

Nama yang sungguh puitis.

“Eh..kenapa??” Dia bertanya.

“Engga..engga usah..!” Dia menolak dan wajahnya terlihat memerah dengan mata yang bingung dan memandangku dengan penuh kecurigaan.

Tapi terlambat, angkotnya sudah berangkat.

“Ini ongkosnya, ambil atuh! Saya ngga mau diongkosin begitu saja tanpa alasan!” Bibirnya  yang merah merona berbicara sambil menyodorkan uang ribuan yang sudah dari tadi dia genggam. Katanya sambil setengah menghadang langkahku.

“Ngga apa- apa Teh, beneran, saya ikhlas. Lagian ngga seberapa kok!” Jawabku lagi.

“Nanti saya jelasin deh, kenapa saya ngongkosin Teteh!” Ucapku lagi sambil mulai memasang kuda- kuda dan mencari cara bagaimana caranya agar bisa berkenalan dengannya.

Tadinya sih aku niatnya hanya menjadi pria misterius yang membayari ongkosnya dan pergi begitu saja. Tapi kuurungkan saja niatku, karena hari ini kesempatan emas untuk bisa berbicara dengannya.

Kan, siapa tahu dia berjodoh denganku?

Dan pula, aku sudah menandatangani kontrak kerja dengan sebuah perusahaan di Banten.

Dua bulan lagi aku sudah akan bekerja di sebuah perusahaan elit.

Aku kan bisa langsung melamar dia beberapa bulan setelah aku bekerja di sana.

“Maaf ya, saya lancang tiba- tiba ngebayarin angkot tadi” Kataku sambil membalikkan tubuhku ke arahnya. Dan ikut berjalan dari arah perempatan ke arah buah batu.

“Ya kaget aja, tiba- tiba ada yang ngebayarin kaya gitu!” Kata dia dengan sedikit ketus.

“Sekali lagi maafin saya, ya!” Kataku lagi dengan nada memelas.

“Begini Teh, kayanya saya pernah ngeliat Teteh beberapa kali di mesjid Daarut Tauhiid, waktu Kajian Minggu” Aku mulai menjelaskan.

“Saya ikut program Santri Mingguan Teh, jadi tiap Sabtu dan Minggu rutin ”

“Wajah Teteh sangat sering saya lihat. Tadinya sih sempet bingung di mana. Tapi tenyata di DT” Aku terus menjelaskan walau tak ada satu patah kata pun keluar dari mulutnya.

“Oooo…jadi hanya karena itu kamu ngongkosin saya?” Tanyanya dengan wajah datar.

“Sejujurnya engga juga sih. Sebenernya saya pengen kenalan juga.” Jawabku sambil tertunduk malu dan tangan ini tak terkendali menggaruk- garuk kepalaku yang tidak gatal.

Dia hanya terdiam.

“O gitu ya?” Dia bertanya seolah memintaku melihat wajahnya.

“Ihh..wioss…! Sapertos ka saha wae…” (Ihh Biarin=Ngga apa apa sih, kaya sama siapa aja)  Jawabku dengan nada bercanda untuk memecah suasana yang masih kaku.

“O iya. Saya di SMK sebelah sekolah Teteh, kelas empat” Kataku mencoba memancing.

“Saya kelas tiga, jadi jangan nyebut Teteh dong!” Dia menjawab. Kali ini mulai terbit senyum di bibir merahnya.

“O iya, saya memang rutin ikut kajian Minggu pagi di Daarut Tauhiid. Kamu memang ngga salah liat” Dia akhirnya memberikan konfirmasinya.

“Tuh kan, saya ngga salah!” Aku menjawab dengan super antusias seperti pasukan perang yang baru saja mendapat ransum dari langit.

“Ya Udah deh kalau gitu mah, makasih ya tadi sudah ngongkosin!” Katanya sambil melemparkan senyumnya yang luar biasa manis, semanis tahi lalat yang menghiasi pipinya.

“Saya mah mau ke arah Ciwastra” Kata dia lagi, sambil bersiap- siap untuk menyeberang.

“Oh..saya mah naek yang ke arah Leuwipanjang” Aku menjawab perlahan.

“Semoga kita bisa ketemu di Kajian besok pagi!” Kataku sambil setengah berteriak, karena dia sudah mulai menyeberangi jalan yang siang itu tidak terlalu padat oleh angkot yang berlalu lalang.

“Insyaallah! Assalaamu’alaikum!” Dia menengok lagi sambil menjawab pertanyaanku.

“Wa’alaikumsalaam!” Aku menjawab lirih sambil berjalan ke arah tempat angkot yang menuju rumahku mangkal.

Eh, ternyata takdir Allah mempertemukan kami lagi di tempat yang sangat tepat.

Besoknya, hari Minggu, ketika baru saja aku selesai pelatihan, dan sedang melangkahkan kaki keluar dari ruangan aula, kulihat sebuah mobil sedan berwarna biru parkir tepat di depanku.

Sesosok tubuh berbalut gamis satin dan berjilbab sewarna, merah muda,  melangkah turun dari mobil itu.

Ketika membalikkan wajahnya, wajah yang sangat ku kenal. Lengkap dengan tahi lalat di tengah pipi kirinya.

“Si Cinta..!” Gumamku sambil bergegas mengayunkan kedua kakiku menuju ke tempat si Dia.

“Alhamdulillah, jangan- jangan dia memang jodohku nih!” Aku mulai kegeeran deh.

            “Assalaamu’alaikum!” Sapaku dari kejauhan, tidak ingin dia berlalu ke arah mesjid dulu.

“Wa’alaikumsalaam! Eh, ada di sini ya?” Jawabnya sambil menghentikan langkahnya.

“Iya, kan sudah bilang, jadwal latihannya dari kemarin malem” Jawabku sambil merapikan seragam latihan berwarna biru dongker yang sudah kupakai dari semalam.

Dia terlihat sangat berbeda dengan dibalut gamis seperti itu. Terlihat jauh lebih dewasa dibanding dia yang mengenakan seragam putih abu-abu.

Ketika kami berdua terikat di dalam keheningan, tiba- tiba suara berat seorang laki- laki memecahkan keheningan di dala pikiranku yang sedang terpesona.

“Neng, ayo cepetan atuh, kita ke mesjid, takut keburu mulai!” Dia mengajak lagi, tanpa sama sekali menghiraukan kehadiranku di situ.

Kuamati sejenak laki- laki yang memakai baju koko glossy berwarna hijau toska itu, pastinya sih mahal. Ganteng sih memang, mirip Sahrul Gunawan. Aku? Yaa dibilang jelek sih engga lah, tapi dibilang ganteng juga agak susah. Hehehe.

“Aa duluan deh, mau beli dulu pulsa. Nanti aa tunggu di depan supermarket ya!” Kata laki- laki itu tanpa memandang sedikit pun aku yang berdiri terpaku.

“O iya, ayo atuh!” Dia langsung mengiyakan ajakan laki- laki itu. Sambil berjalan menyusul laki- laki itu.

“Eh, sebentar. Itu siapa? Kakak kamu ya?” Tanyaku penasaran.

“Oh, bukan. Itu teh calon suami saya, insyaallah kami akan menikah dua bulan lagi, setelah aku diwisuda. Minta do’anya ya!” Ucapnya sambil melambaikan tangan dan berlalu sambil melempar senyumnya, yang kali ini kurasa tidak indah lagi.

Cinta seringkali berbuah derita.

Doha, 04052013

http://www.didaytea.com

 

 

Terjangkit ODOJ Sindrom

“Meluangkan waktu untuk membaca Al Qur’an, bukan menunggu adanya waktu luang”

 

Tingkatan amal

 Seringkali, untuk bisa istiqomah di dalam kebaikan, kita  harus memulainya dengan memaksa diri. Saya mulai memaksa diri saya untuk bisa mengaji satu juz satu hari ketika mendaftarkan diri saya bergabung dengan ODOJ, walau pun masih ada keraguan yang sangat besar membayang di dalam kepala. Apakah saya bisa atau tidak, memenuhi komitmen tersebut.

 

Selain tantangan dari dalam diri, seperti biasanya selalu ada juga tantangan dari luar. Tidak sedikit yang malah mencemooh dan mengatakan program ODOJ ini bid’ah, bisa jatuhnya menjadi riya, dan kalimat- kalimat negatif lainnya.

 Saya tidak peduli, dan tetap maju terus pantang mundur dan tak pernah gentar. Itu semua malah semakin menguatkan semangat untuk membuktikan bahwa saya bisa!

 Alhamdulillah, dari tahap awal karena ada faktor terpaksanya , sampai melalui tahap iri, dan malu karena sudah terlanjur daftar. Hehehe. Serta termotivasi oleh pesan- pesan konfirmasi teman- teman di dalam grup ODOJ 101 Qatar yang saya baca, sampai kini membaca Al Qur’an setidaknya satu juz sehari sudah menjadi rutinitas saya.

 Masih tahap rutinitas sih, tapi di minggu ke-tiga ini sudah ada perasaan kehilangan dan kurang lengkap jika tidak ada Al Qur’an satu juz di dalam saku jaket saya.

 Strategi

 Hari ini saya menyelesaikan juz 24, “jatah” saya di group ODOJ 101. Tidak terasa, hari ini adalah hari ke- dua puluh dua. Sudah lebih dari tiga minggu saya bergabung dengan ODOJ.

 Saya mulai bisa menemukan pola yang paling nyaman, untuk bisa menyelesaikan satu juz dalam satu hari.

 Sengaja jarang sekali saya sekaliguskan satu juz di dalam satu waktu. Karena sangat terasa melelahkan untuk harus bisa membaca Al Qur’an tanpa henti selama kurang lebih satu jam.

 Biasanya sehabis sholat subuh, saya baca satu lembar. Jika bekerja pagi , selama pejalanan saya bisa membaca satu lembar. Di waktu zhuhur dan ashar biasanya saya bisa membaca enam lembar.

 Sengaja saya sisakan dua lembar untuk dibaca sehabis magrib, sambil menunggu waktu Isya. Saya sempat kewalahan ketika seharian harus berada di luar rumah bersama keluarga.

 Jika ada hari yang memang jatah untuk jalan- jalan bersama keluarga, saya baca lebih banyak setelah subuh dan setelah sholat Dhuha. Tapi tetap saya sisakan dua lembar untuk dibaca setiba di rumah. Alhamdulillah, saya selalu berhasil membaca satu juz, dan tidak pernah melelang jatah saya.

 Pada prakteknya, ternyata menjadi ODOJ bukan ditarget membaca satu juz satu hari, tapi ternyata menjadi “kebutuhan minimal”. Karena pasti akan lebih. Ditambah bacaan hafalan ketika sholat. Karena bersamaan dengan ODOJ, saya juga tetap rutin melanjutkan  bookmark bacaan saya yang sebelumnya jarang saya baca. Kalau yang ini saya baca dengan terjemahannya juga, dan kadang saya cari tafsirnya di internet.

 Dan kekuatan utamanya adalah  niat yang kuat. Jika niat sudah kuat, pasti kita akan bisa meluangkan waktu kita, bukan mencari waktu luang untuk bisa membaca satu hari satu juz.

 Melancarkan dan Mencerahkan

 Terasa sekali perbedaan ketika membaca di hari pertama dengan sekarang. Walau pun sekarang pun saya masih belum seratus persen lancar, tapi sudah terasa jauh lebih baik dibanding hari- hari pertama. Di hampir setiap halaman, ada saja yang saya tidak tahu bacaannya seperti apa. Dan harus mengecek di www.tanzil.net untuk mengetahui bacaannya yang benar.

 ODOJ juga sukses mengurangi “kebutuhan” bermain game saya. Biasanya saya bisa berjam- jam bermain game sepakbola atau single shooter setiap hari, alhamdulillah sekarang sudah jauh berkurang. Waktu luang saya yang biasanya gunakan untuk bermain game di komputer, kini sebagian besar sudah disita-dalam arti positif tentunya-oleh ODOJ.

 ODOJ tidak hanya membuat saya memenuhi motivasi tertinggi di dalam teori hirarki motivasinya mas Abraham Maslow (motivasi untuk aktualisasi diri), tapi jauh melebihi itu.

 Terima kasih kepada para inisiator ODOJ, yang telah membuka pintu hidayah kepada saya dan puluhan ribu orang lainnya untuk bisa memulai perlombaan dalam kebaikan dan mencintai Al Qur’an!

 Salam ODOJ dari Grup 101

Doha, Qatar

28132013

Tingkatan Niat

Amal ada tingkatan niatnya. Bisa jadi awalnya seseorang mengawali beramal karena manusia. Lalu karena dia istiqomah, niatnya meningkat menjadi untuk mengharap balasan dari Allah, atau takut oleh siksa-Nya. Dan pada puncaknya dia akan beramal karena Allah saja.

Naik turunnya iman manusia, adalah hal biasa, maka kejarlah dg amal, jika merasa turun iman kita 1 level, ketika naik, coba naikkan lah 2 ato 3 level, ciri turunnya iman adalah dosa, dan naiknya adalah ketaatan/amal.

(Aa Gym)

Lima Yang Pertama

Hari ini
Lima tahun yang lalu

Di bawah sinar mentari pagi
Dengan satu helaan nafas
Dengan haqulyakin
Ijab kabul telah terucap

Sah!
Sah!
Sah!

Pekik dan siul bergema gegap gempita
Menjadi saksi bersatunya cinta
Sang penghulu dan para saksi
Menghantarkanmu dibalut afeksi

Diiringi isak tangis bahagia
Didampingi peluk haru biru
Kita jalin ikatan paling mulia
Menyempurnakan setengah agama

Hari ini
Lima tahun yang lalu

Dunia serasa aku genggam
Bulan pun aku dekap
Sang surya pun  aku kepal

Semoga cinta kita tak  akan pudar oleh usia
Tak pernah lekang oleh waktu

@didaytea
Ras Laffan
20122013