Mighty Wife

Sudah lima hari ini istri dan anak- anak saya tinggalkan di Indonesia. Istri saya sakit, dan sempat dirawat beberapa hari karena sakit punggung, dan leukosit di dalam rendahnya di bawah batas normal.

Notabene, saya ingin dia harus bebas tugas dahulu dari semua urusan rumah tangga. Terutama mengurus dua anak- anak saya yang balita. Mereka tentunya memerlukan penanganan khusus yang sangat melelahkah.

Alhamdulillah, di rumah mertuaku banyak bala bantuan. Ada beberapa orang yang bisa menangani mereka.

Jadi aku bisa memastikan bahwa istriku bisa beristirahat total, dan bisa memulihkan dirinya secepat mungkin.

Di Qatar, saya harus melakukan segalanya sendiri.

Ternyata, hal yang paling melelahkan adalah housekeeping. Beres- beres rumah.

Sudah sejak matahari terbit, dan sampai saat tulisan ini ditulis, jam 10:33, baru sebagian kecil sudut kamar (bukan sudut rumah lho!) yang terlihat agak mendingan, dibanding ketika saya baru pertama kali tiba.

Padahal saya sudah mengalami bertahun- tahun hidup mengontrak rumah sendiri, dan bisa survive.

Tapi kali ini berbeda.

Bukan hanya area yang harus dibereskan lebih luas, tapi lebih cenderung ke mental dan perasaan.

Setelah menikah, saya terbiasa mengandalkan istri saya untuk mengurus segalanya di dalam rumah.

Sejujurnya sih, jarang membantu juga.hehehe.

Hilang deh, skill mumpuni saya untuk bisa hidup sendirian setelah menikah.

Wanita itu memang hebat.

Ibu itu super hebat.

Istri itu super mega big match, eh, super mega hebat sekali!

Adaptasi Lagi

Sejak tiba di Qatar setelah mudik, ini adalah malam ke lima saya merasakan kelelahan yang luar biasa ketika bangun tidur.

Entah apa penyebabnya. Kalau dirunut sih, mungkin saja tubuh saya belum siap untuk langsung bekerja dan beradaptasi lagi dengan iklim Qatar.

Walau “jadwalnya masih musim dingin, tapi perbedaan suhu di sini bisa sangat drastis.

Sangat dingin di pagi hari, dan lumayan panas di siang hari. Pagi dan malam, suhu sekitar 12-18 derajat Celcius. Tapi siang hari bisa mencapai 27-37 derajat Celcius.

Di Indonesia, suhunya relatif stabil, perbedaan antara pagi dan siang hari tidak terlalu jauh.

Mudik kali ini adalah mudik terpanjang selama saya bekerja di Qatar, 35 hari.

Begitu kembali lagi ke Qatar, tubuh ini harus beradaptasi lagi dengan cuaca dan makanan.

Menangkap Ide

Jarak antara tempat kerja saya ke rumah kurang lebih 90km. Dengan bis jemputan, jarak sejauh itu bisa ditempuh kira- kira satu jam lebih sepuluh menit.

Untuk orang- orang yang memang gampang tidur, waktu selama itu dengan mudah saja mereka habiskan sebagai waktu tambahan tidur semalam, atau tambahan tidur siang. Tergantung shift malam atau siang.

Terus teran, jika tidak benar- benar kurang tidur atau kelelahan di pekerjaan, saya hampir tidak pernah bisa tertidur di dalam bis.

Pada hari kerja, praktis ada waktu hampir tiga jam yang ada.

Pilihan saya ya cuma dua, tidur atau melakukan hal yang produktif. Menulis, membaca, melamun, mendengarkan musik atau murottal, pengajian dan lain- lain.

Tapi, seringkali itu semua malah membuat pusing.

Akhirnya bisa saya dapatkan hal terbaik yang harus saya lakukan di perjalanan panjang itu.

Mengumpulkan ide.

Orang lain mungkin melihat ketika di bis saya suka melamun, atau seperti mereka , ikut tidur.

Walau mata terpejam, tapi pikiranku tetap sadar dan sangat sulit untuk sepenuhnya tertidur.

Ketika ide tulisan tiba- tiba datang, segera kutangkap. Biasanya langsung kubuat email ke diriku sendiri dengan subjek “ide tulisan”.

Lalu setelah tiba di rumah, ide- ide itu aku buka dna pindahkan ke file Word untuk kueksekusi menjadi tulisan yang penuh.

Metode ini sangat membantu di periode penyelesaian penulisan buku saya yang pertama, “Oase Kehidupan Dari Padang Pasir”, yang diterbitkan oleh Quanta Elexmedia.

Aku mudik, dan aku menjadi

Nasi tutug oncom dambaan

Batagor mang Ateng depan rumah yang renyah

Bubur Sumsum yang ranum

Surabi haneut gang Buah

Kupat tahu Muarasari di pojok jembatan

Soto Lontong gajih tanpa daging

Bubur kacang hejo haneut

Pesta buku Palasari

Duren sabeca

Rumput laut sanyiru

Bakakak hayam kampung

Asin jambal roti

Hujan merintik

Banjir merangkak

Jalan butut berbaring

Angkot enol lima mengetem di lampu hijau

Blue bird menunggu

Arimbi ditumpangi

Primajasa siap sedia

Cipularang membuat girang

Gerlong girang dijalan sebrang

Persib makin sip

Awan kumulus berarak

Selamat tinggal Kebonlega hiji

Sambut aku Padalarang!

Doha 050213

Balada of Tilu Language

            Sebelumnya saya mohon maaf sebesar- besarnya kepada yang tidak mengerti bahasa Sunda. Saya memilih tiga bahasa di dalam tulisan ini, semata- mata karena hanya keterbatasan saya tidak menguasai bahasa yang lain. Seandainya saya menguasai bahasa daerah atau bahasa dunia yang lain, tentunya akan saya masukkan juga ke dalam tulisan ini.

I’m sure that those who read this writing will not have fully understanding about what is my intention to write this. Kumargi, upami anu ngartos kana tilu bahasa anu dianggo ku abdi ieu, anu saleresna mah tiasa ngartos saratus persen. Itu pun tetap, Sunda yang I anggo di dieu, masih bahasa Sunda pasaran oge. Sundanese which has been used for penggunaan sehari- hari saja. Not the bahasa Sunda yang nyastra.

Kemampuan berbahasa di masa kini sangat penting, because that is an essential part of communication skill. Kedahna mah tulisan ieu oge didamel sanes mung dina tilu bahasa. Tapi berhubung only these three languages, yang notabene baru saya kuasai, janten hapunten pisan kepada yang belum bisa mengerti. Da kahoyong mah, tentunya sebanyak mungkin bahasa anu I can use to write a multi language writing sapertos ini.

Walau pun saya peranakan Jawa-Sunda, tapi I spent almost my whole life di Tatar Sunda, anu tos jelas- jelas menggunakan Sundanese as a language. This explains to those who curious, why I coud not speak bahasa Jawa, eventhough I have “Sugiharto” dina nami abdi. But, abdi tiasa nyarios sakedik-kedikeun mah. Malahan, I still could understand if I mendengarkan percakapan bahasa Jawa.

Bahasa Inggris saya sih tidak terlalu bagus, komo ari grammar mah, tenses anu aya enam belas eta wae still I could not remember until now. My basic idea sih, anu penting mah sih konsepna tiasa mengkomunikasikan ide yang ada di lebet our mind, to other person. And minimal ketika berbicara, jiga anu leres lah mirip orang bule anu nuju nyarios.

I have never been joining any formal institution course of basa Inggris, salian di sakola SMP sinareng SMK. Malahan anu di SMK mah, bahasa Inggrisna oge cenderung ke Industrial English, and Bahasa Inggris Kimia. Pernah sih pas already working perusahaan saya yang terakhir at Cilegon. Tapi pada saat, itu basa Inggris abdi tos lumayan, jadi tidak begitu banyak membantu to enhance my ability in speaking English.

Alhamdulillah, I learned English mostly from lagu- lagu jaman tahun 90’s dan filem- filem. Lagu- lagunya Bryan Adam, The Cranberries, Nirvana, Boyz II Men, Mariah Carey, Hanson, BSB, NSync, Trisha Yearwood, Spice Girls, Bon Jovi, dan ah pokona mah so many of them lah, yang tidak hanya kudengar saja, tapi kucari juga artinya, dan kutirukan pronounciationnya sepersis mungkin.

Tapi, setelah waktu berlalu dan diriku mulai reducing to listening songs, start turning over to nasyid dan lagu- lagu Islami, walaupun not fully leave them behind yet, this method kurasa mulai mentoking (Ini versi bahasa Inggris dari mentok, hehehe).

Baru ketika aku ngawitan kenalan sareng anu namina internet, word wide web dan dunia maya, ada kudapat peningkatan yang signifikan. Particulary my reading skill.

Ketika pada tahap ini skill again, start mentoking deui, kutemukan metode baru ketika abdi tos ngalih ka Cilegon dalam rangka damel.

Finally I had a kesimpulan, ditambah dengan buku- buku anu ku abdi dipikaresep pisan, buku- buku about Accelerated Learning, ternyata media anu paling epektip (ini kata- kata gabungan Sunda dan Inggris) adalah sebanyak mungkin media. Mempelajari bahasa baru will get the best improvent upami kita involving sababaraha indra sekaligus.

Our hearing.

Pandangan kita.

Dadanguan urang.

Hiji- hijina cara to combined these medias, nyaeta nonton pilem.

Mulailah saya mulai hobi nonton serial-serial sapertos Prison Break and Heroes.

Pada awalnya sih, it was so frustating to watch the movie, tapi henteu aya teksna. Nu aya kita malah membaca teks, and forgotting the movie it self. Tetep ku abdi mah, dipaksakan saja, nonton without any subtitle.

Tahap kahiji sih, subtitlena masih bahasa Indonesia. Tahap ini lumayan berat, tapi sangat tertolong by my new skill that I got from the book tea geningan, Speed Reading. Janten, setelah menguasai kemampuan Speed Reading eta, proses membaca teks di filem running very smoothly. I still can understand apa isi filem, sambil tetep tiasa nyerat kata-kata anu kinten- kinten I could not understand. Di tahap ini kuasah kemampuan listening, tapi eta oge dibantosan ku multi media eta, janten tetep sambil reading gerak bibir para aktor anu nuju nyarios was wes wos di film yang sedang kutonton.

Baru deh, setelah itu, ku abdi direview kata per katana.

Tahap kedua, mulai saya ganti the subtitle with English.

Now the process janten langkung gampil, kumargi percakapan di dalam film itu sakedik- sakedik I start to catch. Henteu blank teuing. Masih bisa kutebak kata- katanya. Dan kalau pun tidak bisa kumengerti sama sekali, I just pause the movie.

Tahap ketiga yang paling hese. Watching the movie without any subtitle.

In this step, I pause the movie meni sering pisan. Karena setiap ada kata- kata yang tidak ada inside my brain vocabulary, eta film teh kedah dipause dulu ku abdi. Meni hese pisan mencerna eta kata- kata para aktor anu mempunyai a lot of pisan different accents and pronounciation among of them.

Alhamdulillah, skill bahasa Inggris saya rapidy improved dan takdir Allah juga tentunya, menjadi salah satu penyebab abdi tiasa angkat damel ka Qatar seperti sekarang.

Walau pun tetap saja, upami nonton film tanpa subtitle pisan, masih belum fully understand, paling oge mung tujuh puluh dugi dalapan puluh persen kata- kata anu tiasa terdengar dan dimengerti sepenuhnya.

Dan terakhir ini, kutemukan metode baru untuk belajar bahasa, terutama dina diajar kemampuan writing. Nyaeta, tidak lain lagi, ya just like this writing.

Membuat tulisan multilanguage like this is extremely difficult. Abdi oge rada sedikit jangar ngemutan kata- kata mana yang harus dipilih, and which sentence, by which language to keep kalimat- kalimat di dalam tulisan abdi teh tetep tiasa dipikahartos ku para pembaca.

Semoga beberapa tahun ke depan, saya sudah bisa membuat tulisan multi bahasa  seperti ini dengan melibatkan bahasa- bahasa dunia tambahan yang sedang saya pelajari sekarang, Arab dan Prancis.

Ma’asalaamah dan à bientôt!

Diday Tea

Jum’at01022013