Oleh: Diday Tea
Ketika ada kabar yang mampir di timeline bahwa ustadz Salim A Fillah akhirnya memenuhi tantangan Kang Abik untuk menulis fiksi, tidak saya tunda lagi untuk pre order.Langsung empat.Dan tidak pake lama juga saya kirim langsung ke Qatar, tempat saya tinggal dan bekerja hampir dua belas tahun.Saya tag ustadz Salim di foto novel dengan latar belakang Doha Skyline di Instagram dan Twitter, dan juga saya kirim foto tersebut langsung ke beliau.
Dan, alhamdulillah oleh beliau diretweet dan dikomentari di postingan Instagram juga, dengan “tantangan” untuk review lengkap novel ini.
Saya merasa bersalah karena novel setebal 631 halaman ini saya lalap habis hanya dalam sekira 6 jam, demi memenuhi kesanggupan saya untuk membuat review lengkapnya.Berlatar belakang Perang Diponegoro (1825-1830), novel ini mengajak kita mengikuti petualangan Katib dan Nurkandam dari Istanbul sampai ke Pulau Jawa.
Salah satu yang membuat novel ini menantang adalah faktor linguistik. Saya seringkali terhenti hanya untuk mencari padanan kata dan istilah yang tidak diiringi keterangan atau terjemahan langsung.Bahkan untuk “Janissary” saja saya harus menonton beberapa video di Youtube untuk memenuhi dahaga penasaran.
Walau pun saya blasteran Bandung-Kutoarjo, tapi hanya sedikit sekali menguasai bahasa Jawa.
Tapi faktor itu juga yang pada akhirnya memperkaya kosakata dan pengetahuan saya.
Satu lagi adalah tantangan kesabaran, karena saya harus membaca beberapa bab sampai mencapai “turning point events” yang sangat penting.Dengan kelihaian ustadz Salim bertutur dan merangkai kata, kekuatan “kisah” di dalam novel ini menjadi warna yang paling bersinar.
Kasih dan selisih yang sudah seru, malah menjadi redup dan kurang tergali, karena saya malah keasyikan menikmati fakta dan informasi sejarah dan budaya yang sangat melimpah sepanjang novel ini.Tapi “selisih” juga yang menjadi amanat utama novel ini.Pesan utama yang saya bisa simpulkan adalah kadang amanah bisa berbalas khianat, saudara bisa menjadi musuh, teman bisa menjadi lawan.
Di dunia nyata kita memang harus baik, harus punya idealisme memenuhi prinsip hidup yang kita pegang. Kita harus belajar mempercayai dan mempercayakan sesuatu kepada orang lain, tapi harus selalu diiringi kewaspadaan juga.
Karena orang terdekat, bahkan saudara pun, bisa melanggar amanah dan berkhianat.Istilah bahasa Inggrisnya: “Never let your guard down” atau “always be cautious”.Dan “Jasmerah”, Jangan Melupakan Sejarah, karena Perang Diponegoro inilah cikal bakal kemerdekaan Indonesia yang kita cinta.
Saya ragu untuk menentukan siapa sebenarnya tokoh utama yang lebih utama di dalam novel ini, Apakah Katib atau Nurkandam. Bahkan seringkali saya berpendapat kalau Pangeran Diponegoro tidak hanya menjadi cameo saja, tapi benar-benar mewarnai dan mengiringi perjalanan panjang Katib dan Nurkandam.Dua Janissary terakhir lainnya, Orhan dan Murad, kurang mendapat porsi yang cukup, terkesan hanya menjadi pelengkap petualangan Katib dan Nurkamdam.
Kisah mereka berjalan seiringan, tapi di wilayah “kasih”, Katib lebih beruntung karena dia sudah menikah dengan Nuryasmin. Tidak seperti Nurkandam yang masih digelayuti kebimbangan antara Sofiyati dan Siti Fatmasari.Ustadz Salim sangat cerdas untuk menyebar adegan- adegan “besar” di dalam novel ini.Ketika mulai bosan dengan beberapa bab yang terkesan hanya “ngobrol” dan “bercerita di dalam cerita”, tiba-tiba muncul kejutan-kejutan yang seru dan mengasyikkan.
Sepanjang novel ini kita akan dihantui oleh tandatanya besar: “siapa sih pengkhianat terbesar sebenarnya?”
Karena ada yang sejak awal sudah secara terang benderang disajikan dan ditampakkan.
Dan ada juga pengkhianat yang tersimpan rapat-rapat sampai adegan puncak yang walau pun terasa kurang “epic” tapi lumayan memuaskan, karena dia akhirnya mendapatkan balasan yang setimpal atas fitnah kejinya.
Selama beberapa bab juga, saya sempat berburuk sangka kepada Katib dan Nurkandam sekaligus, tapi tidak bisa memutuskan siapa yang sebenarnya adalah pengkhianat.
Penasaran kan?
Segera pesan novel ini dan selamat menikmati “petualangan Nurkandam dan Katib dari Pulau Jawa ke Istanbul dan ke Pulau Jawa lagi untuk menikmati indahnya dan serunya penuturan kisah, kasih dan selisih dalam Novel Sang Pangeran dan Jannisary Terakhir.
Di sudut utara Qatar, 24 Desember 2019, 03:15
Saya juga termasuk yang pre order. Sebagai orang jawa sebenarnya cukup kecewa bahwa dibalik adiluhung budaya yang sangat halus ada banyak yang menjadi “Londho ireng”, pun dengan elegan ustadz Salim-spt dalam beberapa penuturan beliau, menganut “mikul duwur, mendem jero” dalam mengemas cerita yang dipaparkan.
Terima kasih sudah membaca Mas.