Divana Divana
“Ah, selama masih hidup, yang namanya manusia pasti bisa berubah dan bisa dirubah seiring dengan berjalannya waktu.”
Di dalam rentang waktu antara semasa diriku masih bersekolah di TK, sampai kira- kira kelas lima SD, hampir setiap tahun aku dirawat di rumah sakit. Kalau ngga gejala demam berdarah, ya gejala tipes. Biasanya sakitku muncul di antara pergantian musim.
Masih terbayang diriku memakai kemeja kotak-kotak hijau putih dan celana hijau yang sedang ngarengkol di sudut ranjang khusus untuk anak kecil itu.
Karena ibuku seorang perawat di rumah sakit itu, jadi dia tidak bisa selalu menjagaku selama dirawat. Jadi dia membekali aku dengan sebuah radio kecil.
Tadinya sih tidak pernah kulirik sedikit pun si radio kecil ini. Boro- boro mau mendengar radio, yang ada pusing dan mual serta badan ini serasa remek karena demam tinggi yang hinggap di badanku sudah hampir mencapai empat puluh derajat celsius.
Tapi, setelah sayup- sayup suara adzan Isya dari seberang rumah sakit sudah berlalu, kesepian pun mulai datang. Tidak ada perawat yang stand by di ruangan pasien. Hanya ada aku sendiri di dalam bunker bed di kamar kecil khusus untuk anak- anak itu. Yang terdengar pun hanya suara jangkrik di tengah tebalnya kesunyian yang melandaku kala itu.
Aku pun tidak tahan dan akhirnya kugapai radio yang masih teronggok di atas lemari kecil di samping ranjang besi tempat teronggoknya diriku juga.
“Brrrrzzzzzzzzzzzzzzzz…………..”. Awalnya hanya suara gemerisik radio yang tiba- tiba membuat kamarku sedikit berisik. Kukecilkan volume radio itu sedikit dan kuputar gelombang radio.
Tak lama kemudian, akhirnya kutemukan saluran yang terdengar sangat jelas.
“Masih bersama saya, mister X di radio RX bandung, langsung saja kita putarkan lagu request dari Akang X juga, lagu romantis dari Kumar Sanu dan Kavita: Divana- divana…!” Suara lembut penyiar radio itu langsung seketika mengenyahkan kesepian itu dari kamar sempitku.
“Divana- divaana, metera diivaana, tumera jaaneja, apkahi cunemi…” Hanya itu saja lirik yang kuhafal. Ternyata radio itu sedang memutar acara khusus request, seperti acara AMKMnya Sonora FM. Tapi khusus lagu India saja.
Tadinya sih mau langsung kupindahkan saja saluran itu, lebih baik ku pindah ke Radio Paramuda, Ardan, atau OZ yang memutar lagu yang lebih “jelas”.
Entah kenapa, tiba-tiba kuurungkan niatku dan kusimpan kembali tanganku yang sudah terulur ke arah radio itu.
Karena dingin akhirnya kutarik saja selimut ke atas tubuhku dan kuraih radio itu dan kusimpan di dekat kepalaku. Posisi ngarengkol seperi bayi, memeluk guling dan menghadap ke kanan adalah posisi tidur paling nyaman untukku ketika itu. Kucoba dengarkan lagu itu beberapa saat, dan entah kenapa lagi, lagu itu terdengar sangat adem di telinga dan nyaman di hati.
Anak seumuranku di kala itu tentu saja belum mengenal apa namanya cinta. Walau pun tentu saja harus aku akui bahwa aku menyukai si teteh tetanggaku yang sering berangkat sekolah bareng itu…hehehe….Itu hanya cinta babon, belum mencapai tahapan cinta monyet sekali pun.
Tapi semenjak itu dan sepanjang delapan hari aku di rawat, setiap selepas magrib aku sudah “tetap stay tune” di radio itu. Hanya untuk menunggu lagu Divana- divana itu diputar. O iya, Divana itu artinya kekasihku.
Dan benar saja, lagu itu memang favorit semua pendengar dan sedang merajai tangga lagu India di radio itu. Hampir semua perawat meledekku: “Anak kecil kok suka lagu India sih?” Tanya mereka dengan heran.
“Wios weh da enakeun (biarin, lagunya enak kok!)” Jawabku dengan cueuk sambil kembali ngarengkol di ujung kasur besi itu.
“Infeksi” ini akhirnya berlanjut selama beberapa minggu, hampir setiap magrib aku tunggu lagu itu untuk diputar. Dan bahkan kadang ada acara khusus menjelang tengah malam untuk memutar lagu- lagi India favorit pendengar. Hanya lagu itu saja yang bisa merasukiku sampai tahap seperti ituampai lagu itu sama sekali hilang, dan terhapus oleh kesibukanku bersekolah. Orangtuaku tidak bisa melarang dan juga tidak marah, mereka juga cuek. Kadang Divana- divana ini bersahut-sahutan dengan lagu2 Panbers favorit Bapak dan Ibuku.
Tak pernah kubayangkan ketika suatu hari kelak aku akan tinggal di negara yang diihuni ribuan, puluhan ribu, eh, bahkan ratusan ribu orang India.
Ya, kini aku di sini, sebuah negara timur tengah yang mayoritas penghuninya adalah orang India.
Tapi sayang sekali,walau pun di kantin hampir setiap hari diputar lagu India, sampai sekarang diriku belum terkontaminasi lagi oleh lagu India semacam Divana- Divana itu.
Dan ketika kucoba cari lagu itu di youtube, ternyata lagu itu tidak terdengar seenak dulu lagi. Sekarang aku malah merasa agak risih. Hanya senyumku dan tawa renyah istriku yang timbul ketika kuingat bahwa aku pernah tidur berbulan-bulan dengan lagu itu. Ngefans abis- abisan.
Ah, selama masih hidup, yang namanya manusia pasti bisa berubah dan bisa dirubah seiring dengan berjalannya waktu. Kalau tidak berubah sendiri, ya kita akan berubah dan dibentuk oleh lingkungan sekitar kita.
Jangan takut untuk menerima perubahan-selama itu positif-dan memulai perubahan di dalam diri, keluarga, dan bahkan kehidupan kita. Karena seringkali perubahan kecil akan membuat kita terbang tinggi ke arah yang lebih baik.
Dijamin!