AL-‘ALIIM
Yang Maha Mengetahui
Kata ‘Alim terambil dari akar kata “’ilm” yang menurut pakar-pakar bahasa berarti “menjangkau sesuatu seusai dengan keadaannya yang sebenarnya”. Bahasa Arab menggunakan semua kata yang tersusun dari huruf-huruf “äin”, “lam”, “mim” dalam berbagai bentuknya untuk menggambarkan sesuatu yang sedemikian jelas sehingga tidak menimbulkan keraguan. Perhatikan misalnya kata-kata “alamat” (alamat) yang berarti tanda yang jelas bagi sesuatu atau nama jalan yang mengantar seseorang menuju tujuan yang pasti. “Ïlmu” demikian juga halnya, ia diartikan sebagai suatu pengenalan ayang sangat jelas terhadap suatu objek. Allah SWT dinamai “’’Alim” atau “’Alim” Karena pengetahuan-Nya yang amat jelas sehingga terungkap baginya hal-hal yang sekecil apapun.
Dalam Al-Qurán ditemukan banyak sekali ayat-ayat yang menggunakan akar kata yang sama dengan Asma’AlHusna yang dibahas ini. Kata “’Alim” dalam AL-Qurán ditemukan sebanyak 166 kali. Di samping itu terdapat pula sekian banyak kata “Alim: yang menunjuk kepada Allah SWT, sebagaimana banyak pula yang menunjuk-Nya dengan menggunakan redaksi “A’lam” (Lebih Mengetahui). Banyaknya ayat serta beraneka ragamnya bentuk yang digunakan itu, menunjukkan batap luas dan banyak ilmu Allah SWT.
Ilmu-Nya mencakup seluruh wujud. “Ïlmu Tuhanku meliputi segala sesuatu” (Q.s Al-An’am 6:80). “Pada sisi Allah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula) dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (Q.s. Al-An’am 6:59).
Segala aktivitas lahir dan bathin manusia diketahui-Nya. “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati”(Q.s. Ghafir 40:19), bahkan jangankan rahasia, yang “lebih tersembunyi dari rahasia”, yakni hal-hal yang telah dilupakan oleh manusia dan yang berada di bawah sadarnyapun diketahui oleh Allah SWT. “Jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia (mengetahuinya serta) mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi (dari rahasia)” (Q.s Thaha 20:19).
Apapun yang terjadi, telah diketahui-Nya sebelum terjadi, “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Q.s. Al-Hadid 57:22).
Pengetahuan semua makhluk bersumber dari pengetahuan-Nya, “Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya” (Q.s. Al-Baqarah 2:255).
Allah “mengajar dengan qalam”, yakni mengajar manusia melalui upaya mereka dan “mengajar apa yang mereka tidak diketahui”, tanpa usaha mereka, tetapi langsung sebagai curahan rahmat-Nya. Begitu informasi-Nya dalam Q.s. Al-Alaq.
Manusia tentu saja dapat meraih ilmu berkat bantuan Allah, bahkan istilah “’Alim” pun dibenarkan Al-Qur’an untuk disandang manusia (Q.s. Az-Zariyat 51:28) tetapi betapa pun dalam dan luasnya ilmu manusia, terdapat sekian perbedaan antara ilmunya dan ilmu Allah.
Pertama, dalam hal objek pengetahuan; Allah mengetahui segala sesuatu, manusia tidak mungkin dapat mendekati pengetahuan Allah. Pengetahuan mereka hanya bagian kecil dari setets samudera ilmu-Nya. “Tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan seidkit” (Q.s. Al-Isra 17:85). “Katakanlah, kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis)kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)” (Q.s. Al-Kahfi 18:109).
Kedua, kejelasan pengetahuan manusia tidak mungkin dapat mencapai kejelasan ilmu Allah. Pensaksian manusia yangpaling jelas terhadap sesuatu, hanya bagaikan melihatnya di balik tabir yang halus, tidak dapat menembus objek yang disaksikan sampai ke batas terakhir.
Ketiga, ilmu Allah bukan hasil dari sesuatu, tetapi sesuatu itulah yang merupakan hasil dari ilmu-Nya. Sedangkan ilmu manusia dihasilkan dari adanya sesuatu. Untuk hal yang ketiga ini, Al-Ghazali member contoh dengan pengetahuan pemain catir dan pengetahuan pencipta permainan catur. Sang pencipta adalah penyebab adanya catur, sedang keberadaan catur adalah sebab pengetahuan pemain. Pengetahuan Pencipta mendahului pengetahuan pemain, sedang pengetahuan pemain diperoleh jauh sesudah pengetahuan pencipta catur. Demikianlah ilmu Allah dan ilmu manusia.
Keempat, ilmu tidak berubah dengan perubahan objek yang diketahui-Nya. Itu berarti tidak ada kebetulan di sisi Allah, karena pengetaaahuan-Nya tentang apa yang akan terjadi dan saat kejadiannya sama saja di sisi-Nya.
Kelima, Allah mengetahui tanpa alat, sedang ilmu manusia diraihnya dengan panca indra, akal dan hatinya, dimana semuanya didahului oleh ketidaktahuan, “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur dengan menggunakannya untuk meraih ilmu)”. (Q.s. An-Nahl 16:78).
Keenam, ilmu Allah kekal, tidak hilang dan tidak pula dilupakan-Nya. Tuhanmu sekali-kali tidak lupa. Q.s. Maryam 19:64.
Manusia memperoleh kehormatan karena ilmu yang dianugerahkan Allah kepadanya. “Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman, ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang yang benar!’ Mereka menjawab, ‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Q.s. Al-Baqarah 2:30-31).
Dalam meneladani sifat Al’Alim, manusia hendaknya terus menerus berupaya menambah ilmunya. Rasul Saw setelah diperintahkan pada wahyu pertama untuk membaca, diperintahkan juga untuk berdoa. “(Bermohonlah wahai Muhammad) Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (Q.s. Thaha 20:114).
Dalam upaya tersebut manusia dituntut agar dapat menggunakan secara maksimal seluruh potensi yang dianugerahkan Allah kepadanya – mata, telinga, akal dan kalbu – untuk meraih sebanyak mungkin ilmu yang bermanfaat, bukan hanya menyangkut “seluruh benda-benda” –yakni “seluruh alam raya” – yang telah dianugerahkan Allah potensi untuk mengetahuinya sejak kelahiran manusia pertama, tetapi juga ilmu yang bersifat non empiris yang hanya dapat diraih dengan kesucian jiwa dan kejernihan kalbu.
Lebih jauh dapat dikatakan bahwa pengetahuan yang hakiki tentang sesuatu adalah pengetahuan yang menimbulkan dampak dalam kehidupan. Karena itu Ja’far Ash-Shadiq misalnya menggarisbawahi bahwa, “pengetahuan, bukanlah apa yang diperoleh melalui proses belajar-mengajar, tetapi ia adalah cahaya yang dinampakkan Tuhan ke dalam hati orang-orang yang dikehendaki-Nya”
Pengetahuan atau mengetahui sesuatu nenurut Rasul Saw bukan hanya terbatas sampai pada kemampuan mengekpresikannya dalam bentuk kata tetapi ada pula yang menyentuh hati sehingga melahirkan amal-amal yang sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi. Pengetahuan dalam arti yang kedua inilah yang pada akhirnya menimbulkan kesadaran akan jati diri manusia sebagai makhluk yang dhaif di hadapan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
Ilmu seseorang harus membawanya kepada iman, selanjutnya ini mengantarnya kepada keikhlasan dan ketundukan kepada Allah. “Supaya orang-orang yang yang mempunyai ilmu mengetahui bahwa dia (Al-Qur’an) adalah benar-benar dari Tuhanmu, lalu mereka beriman, kemudian hati mereka tunduk kepada-Nya” (Q.s. Al-Haj 22:54). Demikian terlihat, ilmu mengantar kepada iman dan iman menghasilkan ketundukan kepada Allah SWT. “Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Alqur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud. Mereka berkata, ‘Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti terlaksana’, dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu”. (Q.s. Al-Isra 17:107-108-109).
Ilmu juga harus mengantar ilmuwan kepada amal dan karya-karya nyata bermanfaat. Rasul Saw berdoa memohon perlindungan Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari diri (perut) yang tidak kenyang dan dari doa yang tidak diterima” (H.R. Muslim).
Setiap ilmuwan dituntut untuk memberi nilai-nilai spiritual bagi ilmu yang diraihnya, sejak motivasi hingga tujuan dan pemanfaatannya. Memang boleh jadi tidak berbeda cara dan alat-alat meraih ilmu antara seorang dengan yang lain, hakekat ilmiahpun yang mereka raih tidak berbeda karena cara, alat dan hakekat ilmiah bersifat universal dan bebas nilai; tetapi motivasi, tujuan dan pemanfaatan ilmu, bagi ilmuwan yang meneladani Allah dalam sifat-Nya, tidaklah bebas nilai, ia harus “Bismi Rabbika”.
“Siapa yang mencari ilmu untuk memamerkan diri/menunjukkan kebolehan di hadapan cendekiawan, atau untuk berbantah-bantahan dengan yang jahil, maka dia di neraka” (Q.s. At-Thabarany dari Ummi Salamah).
Tidak etis melupakan peranan Allah atau menutup-nutupinya dalam setiap peristiwa alam, apalagi mengingkarinya. Ketika benih tumbuh, jangan berkata bahwa alam menumbuhkannya atau karena unsur ini dan kondisi itu, -kalaupun harus berkata demikian, jangan tutupi atau tidak mengingatkan peranan Allah, karena yang demikian dapat merupakan salah satu bentuk kedurhakaan terhadap Allah. Hukum sebab dan akibat, jangan pisahkan ia dari penyebab pertamanya yakni Allah SWT, karena jika dipisahkan, ia merupakan pengingkaran dan kekufuran paling sedikit dalam arti mengkufuri nikmat-Nya.
Suatu ketika Rasulullah Saw mengimani sahabat-sahabat beliau shalat subuh di Hudaibiyah, setelah pada malamnya hujan turun. Seusai shalat beliau mengarah kepada hadirin dan bersabda, “Tahukah kamu apa yang dikatakan Tuhan (Pemelihara) kamu?”. Mereka berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”, “Allah berfirman – sabda Rasul menjelaskan – ‘pagi (ini) ada hamba-Ku yang percaya pada-Ku dan kafir dan ada juga yang kafir pada-Ku dan percaya (pada selain-Ku). Adapun yang berkata: “Kami memperoleh curahan hujan atas anugerah Allah dan rahmat-Nya, maka itulah yang percaya pada-Ku serta kafir terhadap bintang’, sedangkan yang berkata, “kami memperoleh curahan hujan oleh bintang ini dan itu, maka itulah yang kafir pada-ku dan percaya pada bintang”. (H.R. Al-Bukhari melalui Zaid bin Khalid Al-Juhani).
Dahulu ketika para arsitektur muslim membangun rumah-rumah tempat tinggal, mereka membangunnya dengan memperhatikan nilai-nilai agama. Memang bahan-bahan yang mereka gunakan, pengetahuan yang mereka terapkan dapat diketahui oleh muslim dan non muslim, tetapi yang meneladani Allah dalam ilmu-Nya, membangun rumah dengan memperhatikan nilai-nilai yang diamanatkan oleh Allah Penganugerah Ilmu. Sehingga sambil memperhatikan ventilasi udara, pencahayaan, keamanan dan kenyamanan penghuni dan tetangga, mereka juga sangat mengindahkan privasi dan terhalangnya pandangan yang bukan mahram melihat apa yang dilarang Allah untuk dilihat. Demikian, wa Allah A’lam.
M Quraish Shihab (Menyingkap Tabir Illahi)
Kalo perilaku al alim apa sihhh
hahah
Kalo perilaku al khabir dalam asmaul husna apa sih
perilaku as samii apa
apa yang berkaitan dengan al khabir
aku sayang rizki
salh
MANFAAT AL ‘ALIM tuh apaan sih??